Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
Tiga Nama untuk Satu Perang
Rajab 9 tahun setelah hijrah. Panas menyengat kota Madinah. Pasir dan bebatuan bagaikan bara api. Tetapi saat itu buah-buahan sedang ranum-ranumnya. Suatu kondisi yang menggoda hati untuk tidak beranjak menikmati teduhnya naungan, menanti panen.Dalam kondisi inilah Perang Tabuk terjadi.
Nama perang ini dinisbatkan kepada sebuah tempat yaitu mata air Tabuk. Asal nama ini terdapat dalam Shahih Muslim, diriwayatkan dari Mu’adz bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Besok kalian insya Allah akan menuju mata air Tabuk. Sungguh kalian tidak akan mendatanginya hingga matahari meninggi. Barangsiapa yang sampai di sana janganlah membasuh dengan air (maksudnya berwudhu untuk shalat Zhuhur) hingga aku sampai.” (HR Muslim 4/1784).
Selain Tabuk, ada penamaan lain untuk perang ini yaitu perang ‘Usrah. Nama ini ditetapkan dalam QS at-Taubah melalui berfirman Allah, “Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang Anshar yang mengikuti Nabi dalam masa ‘usrah (kesulitan), setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka,” (QS at-Taubah: 117).
Imam Bukhari juga meriwayatkan dengan sanad yang sampai kepada Abu Musa al-Asy’ari yang berkata, “Sahabat-sahabatku mengutusku menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta sejumlah hewan tunggangan karena mereka telah mengambil bagian dalam perang ‘Usrah, yaitu perang Tabuk…” Dalam kitab, bahkan Imam Bukhari memberi judul “Bab Perang Tabuk yaitu Perang ‘Usrah”. (Shahih Al Bukhari 5/150 no 4415).
Disebut dengan perang ‘usrah karena berbagai macam kesulitan dijumpai oleh kaum muslimin; cuaca buruk, jarak tempuh yang sangat jauh, perjalanan yang sulit karena sedikitnya bekal dan ransum yang dibawa oleh kaum muslimin menuju medan tempur, sedikitnya air selama safar yang panjang. Padahal mereka menghadapi cuaca yang sangat terik, juga sedikitnya harta yang dibawa oleh pasukan, atau yang diinfakkan untuk mereka. Dalam tafsir Abdur Razzaq dari Ma’mar bin ‘Uqail, ia berkata, “Mereka keluar dengan penampakan jumlah pasukan yang sedikit, cuaca yang sangat terik, hingga pasukan terpaksa menyembelih unta-unta, kemudian membelah perutnya untuk mengambil cadangan air dalam perut unta tersebut. Itulah krisis air yang terjadi waktu itu.”
Umar bin Khaththab sendiri menceritakan beratnya rasa haus yang dialami kaum muslimin waktu itu, “Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju medan Tabuk, dalam cuaca terik yang teramat sangat. Kami merasa teramat haus hingga mengira leher-leher kami akan putus, sampai-sampai jika salah seorang dari kami ingin pergi untuk membuang hajat dan ia tak kunjung kembali, kami mengira lehernya telah putus, dan sampai-sampai seseorang menyembelih untanya untuk membelah perutnya kemudian minum cadangan air dalam perutnya tersebut.”
Ada penamaan ketiga untuk perang ini, yaitu al-Fadhahah. Imam az-Zarqaniy meriwayatkan dalam kitabnya Syarh al-Mawahib, dinamai demikian karena perang ini menyingkap hakikat kaum munafikin, membongkar kedok mereka, membuka rencana permusuhan, makar, dan kedengkian mereka, dan membuka jati diri mereka yang keji.
Secara geografis, Tabuk adalah daerah di pinggiran wilayah Syam, dari Madinah sekitar 750 km. Menurut Yaqut al-Hamawi daerah ini terletak antara Wadil Qura dan negeri Syam. Saat itu, daerah ini termasuk jajahan Bizantium Romawi sebagaimana wilayah Syam secara umum.
Selanjutnya baca: