Latar Belakang Perang
Pasca peristiwa Fathu Makkah, sirnalah keraguan manusia terhadap risalah yang diemban Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun memeluk Islam berbondong-bondong. Sementara kaum muslimin mulai tenang mempelajari dan mengamalkan Islam di negeri-negeri mereka sendiri.
Tetapi, nun jauh di utara, di luar bumi Hijaz; satu kekuatan besar mengancam perkembangan agama yang baru bersemi ini. Kekuatan Imperium Romawi!
Sebuah kekuatan imperium yang menguasai belahan bumi bagian barat. Negara yang sudah memiliki strata peradaban maju untuk ukuran kala itu. Jauh melampaui negara-negara Arab yang ada. Bahkan, kekuatan kabilah Arab yang ada seperti Quraisy, tidak ada artinya di hadapan kekuatan imperium Romawi.
Namun kebesaran Romawi tak menyurutkan dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selepas Perjanjian Hudaibiyah, beliau mengirimkan beberapa surat kepada para raja, antara lain ditujukan ke kekuasaan Romawi. Beliau pun mengutus Harits bin Umair al-Azdi. Namun dalam perjalanan, utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dibunuh oleh Syurahbil bin Amr al-Ghassani.
Membunuh utusan bukan hanya pelanggaran HAM tingkat tinggi tapi juga penghinaan besar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun segera mengirimkan ekspedisi sehingga pertempuran sengit di Mu’tah. Perang melawan pasukan Romawi ini menyebabkan gugurnya para panglima pasukan muslimin; Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib dan Abdullah bin Rawahah. Meski ketiga panglima itu gugur, tapi umat Islam bisa menyelamatkan diri dengan pimpinan Panglima tersohor Khalid bin Walid yang belum genap empat bulan keislamannya saat itu.
Kemenangan pasukan Islam di Mu’tah tidak pernah diperhitungkan oleh Heraklius, raja Romawi ketika itu. Sehingga dia tidak merasa perlu melakukan perjanjian damai dengan kaum muslimin untuk menjaga keamanan wilayah kekuasaannya.
Sebaliknya, bagi kabilah Arab lainnya yang menjadi jajahan Romawi, peristiwa Mu`tah telah memberi pengaruh begitu dalam. Satu demi satu mereka melepaskan diri dari kekuasaan Romawi dan perlahan memeluk Islam.
Setelah melihat kondisi inilah Heraklius baru menyadari betapa perlunya menyiapkan pasukan untuk menumpas gerakan kaum muslimin agar tidak mengganggu kekuasaan Romawi. Maka Heraklius pun segera memobilisasi rakyatnya.
Sampailah berita persiapan tentara Romawi untuk menyerang kaum muslimin ke kota Madinah. Berita ini cukup mengguncangkan para sahabat di Madinah. Keguncangan ini antara lain tampak dari dialog antara Umar bin Khaththab dengan seorang sahabat Anshar.
Saat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang “memboikot” istri-istrinya selama satu bulan dan menyendiri di sebuah loteng (tingkat atas) rumah beliau. Waktu itu, Umar bin Khaththab dan sahabat Anshar saling bergantian hadir di majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Suatu ketika sahabat Anshar itu datang mengetuk pintu Umar dengan kerasnya. Umar langsung membuka pintu dengan bergegas dan berkata, “Ada apa? Apakah pasukan Ghassan (Romawi) sudah menyerang?”
“Bukan. Ada yang lebih dahsyat dari itu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceraikan istri-istri beliau,” kata sahabat tersebut.
Dialog ini menunjukkan betapa gentingnya keadaan saat itu. Sampai-sampai ketika ada berita yang datang, mereka mengira kabar tentang datangnya serangan pasukan Romawi, bukan yang lainnya.
Persiapan Menuju Tabuk
Pertahanan yang paling baik adalah menyerang. Itulah yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bertekad menyerang Romawi lebih dulu meskipun ketika itu musim panas begitu hebat. Keadaan perekonomian sedang mengalami masa-masa sulit.
Berbeda dengan perang-perang sebelumnya, kali ini beliau sengaja menampakkan rencana perang ini kepada kaum muslimin. Padahal biasanya, apabila hendak berangkat berperang, beliau selalu menampakkan seolah-olah bukan untuk berperang. Tapi dalam perang ini tidak. Bahkan beliau mengajak kabilah-kabilah Arab dan orang-orang badui agar berangkat bersama beliau. Maka terkumpullah pasukan cukup besar, yaitu sekitar 30.000 orang.
Walaupun keadaan serba sulit, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap mendorong kum muslimin bersiap-siap untuk berperang. Beliau membangkitkan semangat orang-orang yang berharta agar berinfak di jalan Allah. Maka berlomba-lombalah para hartawan mengeluarkan hartanya untuk membiayai Jaisyul ‘Usrah (Pasukan yang kesulitan) tersebut.
Imam az-Zuhri menceritakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya kalau ingin berangkat berperang, melakukan serangkaian taktik. Misalnya dengan membuat kiasan atau kata-kata sandi. Tetapi dalam perang Tabuk ini, beliau justru menyampaikan terang-terangan tujuan dan sasarannya agar kaum muslimin bersiap-siap. Beliau sampaikan bahwa yang dituju adalah Romawi.”
Seruan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini direspon dengan sikap berbeda-beda. Suatu hari dalam situasi persiapan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Jadd bin Qais, salah satu keluarga kabilah Bani Salimah. “Hai Jadd, apakah tahun ini engkau ada keinginan terhadap orang-orang kulit Banil Ashfar (orang bule)?”
Jadd menukas, “Ya Rasulullah, izinkanlah saya (tidak ikut berperang). Jangan Anda jerumuskan saya dalam fitnah. Demi Allah, kaumku semua tahu bahwa tidak ada laki-laki yang paling besar kekagumannya kepada wanita daripada aku. Saya khawatir kalau saya melihat wanita bule itu, saya tidak dapat bersabar.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun meninggalkannya sambil berkata, “Saya beri izin untukmu.”
Tentang Jadd inilah turun firman Allah:
وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ ائْذَنْ لِي وَلَا تَفْتِنِّي أَلَا فِي الْفِتْنَةِ سَقَطُوا وَإِنَّ جَهَنَّمَ لَمُحِيطَةٌ بِالْكَافِرِينَ
“Di antara mereka ada orang yang berkata: “Berilah saya keizinan (tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus ke dalam fitnah.” Ketahuilah, bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah. Dan sesungguhnya Jahannam itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir.” (QS at-Taubah: 49).
Ada pula dari kalangan kaum munafikin yang mengatakan, “Janganlah berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini.” Mereka merasa tidak membutuhkan jihad serta meragukan kebenaran dan menimbulkan keguncangan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah menurunkan firman-Nya,
فَرِحَ الْمُخَلَّفُونَ بِمَقْعَدِهِمْ خِلَافَ رَسُولِ اللَّهِ وَكَرِهُوا أَنْ يُجَاهِدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَقَالُوا لَا تَنْفِرُوا فِي الْحَرِّ قُلْ نَارُ جَهَنَّمَ أَشَدُّ حَرًّا لَوْ كَانُوا يَفْقَهُونَ
“Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang) itu, merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah dan mereka berkata, “Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini.” Katakanlah, “Api neraka Jahannam itu lebih sangat panas (nya)”, jikalau mereka mengetahui.” (QS at-Taubah: 81).
Nabi terus memotivasi para sahabatnya untuk berangkat atau membiayai perang. Beliau bersabda, “Siapa saja yang mempersiapkan pasukan ‘usrah maka surga baginya.” Maka berinfaqlah para shahabat, seperti Utsman bin Affan.
Abdurrahman bin Hubab menceritakan tentang infaq Utsman bin Affan, “Aku menyaksikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memotivasi para shahabat dalam Jaisy al-‘Usrah, maka Utsman bin Affan berdiri dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku akan memberikan 100 unta lengkap dengan muatan dan pelananya di jalan Allah!’
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memotivasi lagi, dan Utsman kembali berdiri dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku akan memberikan 200 unta lengkap dengan muatan dan pelananya di jalan Allah!’
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memotivasi lagi, dan Utsman kembali berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku akan memberikan 300 unta lengkap dengan muatan dan pelananya di jalan Allah!’.
Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam turun dari mimbar dan berkata, ‘Tidak ada bagi Utsman sesuatu yang akan menimpanya setelah ini, tidak ada bagi Utsman sesuatu yang akan menimpanya setelah ini’. (HR Tirmidzi 5/626).
Tak hanya hewan tunggangan, Utsman juga memberikan dana cash. Abdurrahman bin Samurah berkata, “Utsman bin Affan datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa 1000 dinar dalam kantong pakaiannya, ketika itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah mempersiapkan pasukan dalam Jaisy al-‘Usyrah, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerimanya dan berkata, ‘Tidak ada yang dapat membahayakan Ibnu ‘Affan setelah hari ini (yaitu jaminan surga atas Utsman, pen)’, beliau mengulang-ulang perkataan ini.” (Musnad Imam Ahmad 5/63).
Umar bin Khaththab bershadaqah dengan separuh hartanya. Ia mengira itu bisa mengalahkan Abu Bakar. Ternyata Abu Bakar datang membawa semua yang ia miliki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?” Abu Bakar menjawab, “Aku tinggalkan untuk mereka, Allah dan Rasul-Nya.” Umar pun berkata, ‘Tidak akan pernah aku mengalahkan Abu Bakar selama-lamanya.’ (Sunan Abi Daud 2/312 dan 313, no. 1678).
Abdurrahman bin Auf juga berinfaq dengan 2000 dirham, dan itu adalah separuh dari harta yang ia miliki saat itu, untuk keperluan perang Tabuk (Lihat As Sirah fi Dhau’ Al Mashadir Al Ushuliyah hal. 616).
Juga diriwayatkan bahwa shahabat lainnya berinfaq dalam jumlah yang besar, seperti Abbas bin Abdul Muthalib, Thalhah bin Ubaidillah, Muhammad bin Maslamah, dan Ashim bin Adi (Lihat Al-Maghazi Al-Waqidi 3/391).
Tak ketinggalan, para shahabat yang berasal dari golongan fuqara’ juga menyumbangkan apa yang mereka miliki. Hal ini menjadi bahan ejekan kaum munafiqin.
Dikisahkan, Abu Uqail datang membawa setengah sha’ kurma, kemudian kaum munafiqin datang membawa infaq yang lebih banyak, dan berkata, “Sungguh Allah tidak butuh shadaqah sesedikit itu, tidaklah orang berinfaq sedemikian rupa melainkan hanya untuk riya’”
Kemudian turun ayat,
الَّذِينَ يَلْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ
“(Orang-orang munafik itu) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya,” (QS at-Taubah: 79)
Setelah turun ayat tersebut, mereka ganti berkata, “Tidaklah (Abdurrahman) Ibn Auf bersedekah melainkan karena riya.”
Begitulah karakter orang munafik. Mereka menyebut shadaqah orang-orang kaya sebagai riya’, dan mengejek shadaqah orang-orang faqir.
Para fuqara’ dari kalangan mukminin sedih karena mereka tidak memiliki harta yang dapat digunakan untuk berjihad. Adalah Ulbah bin Zaid, ia shalat malam dan menangis dalam shalatnya berkata, “Ya Allah sungguh, Engkau telah perintahkan aku untuk berjihad, dan aku sangat ingin untuk itu, namun tidak Engkau jadikan di sisiku ini apa yang dapat membantuku dalam memperkuat kedudukan Rasul-Mu.”
Hal ini pun sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mengabarkan bahwa Ulbah telah diampuni. (Diriwayatkan dari jalur yang lemah, namun terdapat beberapa syahid yang shahih, lihat al-Mujtama’ al-Madani lil ‘Umari hal. 235).
Ada pula sebagian shahabat yang menyumbangkan tenaga. Kaum ‘Asy’ariyun dipimpin oleh Abu Musa al-Asy’ari meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sejumlah unta dan kendaraan agar dapat turut serta dalam jihad. Namun tidak ada unta yang dapat dinaiki dan berselang beberapa waktu, akhirnya mereka memperoleh tiga ekor unta. (lihat Al Mujtama’ Al Madani hal. 236).
Mengenai segolongan kaum mukminin yang lemah, sakit, dan tidak mampu berangkat jihad, Allah berfirman:
لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلَا عَلَى الْمَرْضَى وَلَا عَلَى الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ مَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ مِنْ سَبِيلٍ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ وَلَا عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لَا أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوْا وَأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَنًا أَلَّا يَجِدُوا مَا يُنْفِقُونَ
“Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. dan tiada (pula) berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: “Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu”. lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.” (QS at-Taubah: 91-92).
Nabi bersabda tentang kelompok yang tertahan dari jihad,
إِنَّ بِالْمَدِينَةِ أَقْوَامًا مَا سِرْتُمْ مَسِيرًا وَلَا قَطَعْتُمْ وَادِيًا إِلَّا كَانُوا مَعَكُمْ
“Sungguh di Madinah terdapat kaum yang tidak ikut berperang, tidak ikut mendaki bukit, menuruni lembah, namun mereka bersama kalian (dalam pahala, pen).”
Maka para shahabat bertanya,
يَا رَسُولَ اللَّهِ وَهُمْ بِالْمَدِينَةِ
“Wahai Rasulullah, mereka ada di Madinah?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَهُمْ بِالْمَدِينَةِ حَبَسَهُمْ الْعُذْرُ
“Mereka ada di Madinah, tertahan karena ada udzur.” (HR Bukhari dalam Kitab al-Maghazi, no. 4423).
Dengan segala perlengkapan yang sangat terbatas itulah, pasukan Islam berangkat menuju Tabuk. Bagaimana peristiwa selanjutnya?
(Bersambung)