Kekuatan Romawi yang dahsyat, bukannya membuat semangat jihad para shahabat kendor. Mereka justru berlomba-lomba menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta agar dibawa serta dalam jihad. Namun, sebagian terpaksa harus kembali sambil bercucuran air mata, karena tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan untuk berjihad.
Dengan kekuatan 30.000 personil, bertolaklah jaisyul ‘usrah menjemput tentara Romawi ke arah Tabuk. Pasukan berangkat di bawah terik matahari yang membakar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sempat menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai wakil beliau mengurus keluarga beliau. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengangkat Muhammad bin Maslamah al-Anshari sebagai pengganti beliau di Madinah.
Melihat Ali tertinggal, beberapa kaum munafik mencemoohnya, “Dia ditinggal karena memberatkan.”
Mendengar ejekan tersebut, Ali bergegas mengambil senjatanya dan menyusul Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ketika itu sudah tiba di Jurf, sekitar 30 mil dari Madinah. Ali menceritakan bahwa orang-orang munafik mengejeknya karena tidak ikut dalam perang Tabuk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mereka dusta. Kamu aku tinggalkan karena orang-orang yang ada di belakangku. Kembalilah, gantikan aku dalam mengurus keluargaku dan keluargamu. Tidakkah engkau ridha, kedudukanmu di sisiku seperti Harun dengan Musa. Hanya saja, tidak ada lagi nabi sesudahku.”[1]
Lalu, dengan patuh, Ali radhiyallahu ‘anhu kembali ke Madinah.
Kondisi berat. Jumlah tentara yang mencapai angka 30 ribu orang tidak seimbang dengan hewan tunggangan yang ada. Sehingga setiap 18 orang hanya mendapatkan jatah satu ekor unta. Kondisi ini sebenarnya wajar saja jika sebagian orang tertinggal. Tapi, itulah serangkaian ujian karena mereka telah menyatakan beriman dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Sehingga mau tidak mau, halangan apapun, harus mereka singkirkan dan mendahulukan seruan Allah dan Rasul-Nya untuk berjihad.
Belajar dari Kekuatan Azzam Abu Khaitsamah
Beberapa hari setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat, Abu Khaitsamah pulang menemui keluarganya. Dia dapati kedua istrinya sedang berada di kebun. Masing-masing istrinya mempersiapkan tempat berteduh dan menyediakan makanan serta air yang sejuk untuk mereka.
Ketika Abu Khaitsamah masuk, dia tertegun di ambang pintu tenda. Dia memandang kedua istrinya dan memerhatikan apa yang mereka lakukan. Sambil bergumam, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang kepanasan di bawah terik matahari, diterpa angin gurun. Sementara Abu Khaitsamah berada di bawah naungan yang teduh, makanan yang terhidang, istri-istri cantik dan di tengah-tengah hartanya? Sungguh, ini tidak adil.”
Memang, alangkah tidak adilnya seandainya seseorang membiarkan kekasihnya dalam keadaan menderita sementara dia bersenang-senang. Terlebih lagi kekasih itu adalah manusia paling utama, dimana ketaatan kepadanya adalah kunci kebahagiaan dunia dan akhirat.
Abu Khaitsamah tidak rela melihat sikapnya seperti itu terhadap kekasih dan junjungannya. Dengan tegas dia berkata, “Demi Allah. Aku tidak akan masuk tenda salah seorang dari kamu berdua sampai aku berhasil menyusul Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka siapkan bekalku.”
Kedua wanita yang taat dan mencintai suaminya itu segera menyiapkan kebutuhan sang suami. Akhirnya, Abu Khaitsamah berangkat menyusul Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di tengah perjalanan, Abu Khaitsamah bertemu dengan Umair bin Wahb al-Jumahi yang juga ingin menyusul Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun berangkat bersama.
Menjelang Tabuk, Abu Khaitsamah berkata kepada Wahb, “Aku telah berdosa. Maka tidak ada salahnya engkau membiarkanku sehingga aku bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Wahb pun menerimanya.
Ketika mendekati tempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang singgah di Tabuk, sebagian pasukan berseru, “Ada kendaraan di tengah jalan menuju kemari.”
Mendengar itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itu tentu Abu Khaitsamah.”
“Demi Allah, dia memang Abu Khaitsamah, wahai Rasulullah!”
Setelah menambatkan untanya, Abu Khaitsamah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memberi salam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “(Ini) lebih utama bagimu, wahai Abu Khaitsamah.”
Kemudian, Abu Khaitsamah menceritakan keadaan dirinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mendoakan kebaikan untuknya.[2]
Kita mungkin sering berada dalam posisi seperti Abu Khaitsamah. Bimbang antara dua pilihan. Maju atau mundur menghadapi ujian. Dan, Abu Khaitsamah berhasil mengalahkan godaan duniawi itu; harta, istri dan kenikmatan dunia.
Melewati Sisa Kaum Tsamud
Sebelum tiba di Tabuk, rombongan pasukan melintasi daerah Hijr, wilayah pemukiman bangsa Tsamud. Sambil menutupkan kain ke wajahnya dan memacu kendaraannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
لَا تَدْخُلُوا عَلَى هَؤُلَاءِ الْمُعَذَّبِينَ إِلَّا أَنْ تَكُونُوا بَاكِينَ، فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا بَاكِينَ فَلَا تَدْخُلُوا عَلَيْهِمْ، لَا يُصِيبُكُمْ مَا أَصَابَهُمْ
“Janganlah kamu memasuki negeri orang-orang yang disiksa ini, kecuali dalam keadaan menangis. Kalau kamu tidak menangis, janganlah memasukinya, agar kamu tidak terkena azab seperti yang telah menimpa mereka.”[3]
Beliau juga mengingatkan:
سَتَهُبُّ عَلَيْكُمُ اللَّيْلَةَ رِيحٌ شَدِيدَةٌ، فَلَا يَقُمْ فِيهَا أَحَدٌ مِنْكُمْ، فَمَنْ كَانَ لَهُ بَعِيرٌ فَلْيَشُدَّ عِقَالَهُ. فَهَبَّتْ رِيحٌ شَدِيدَةٌ فَقَامَ رَجُلٌ فَحَمَلَتْهُ الرِّيحُ حَتَّى أَلْقَتْهُ بِجَبَلَيْ طَيِّئٍ
“Akan berembus angin kencang malam ini. Maka janganlah seorang pun dari kalian berdiri. Siapa yang mempunyai unta, hendaklah dia kencangkan ikatannya.”
Bertiuplah angin kencang itu. Ada seseorang yang berdiri, maka dia diterbangkan angin itu sampai jatuh di dua bukit Thayyi’.[4]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berpesan kepada pasukan agar jangan menggunakan air dari sumur yang ada, baik untuk berwudhu maupun makan. Tapi hendaknya menggunakan air yang dulu menjadi tempat minum unta Nabi Shalih. Kalau ada yang hendak pergi buang hajat, hendaknya berangkat disertai temannya.
Ini juga memberikan pelajaran bahwa kita tidak boleh larut menikmati sisa-sisa orang-orang yang pernah dihancurkan. Sisa-sisa orang yang pernah dilaknat bukanlah tempat wisata. Justru Nabi saw memerintahkan para sahabatnya bergegas melewati tempat tersebut.
Sebelum tiba di Tabuk, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sempat berpesan:
“Sesungguhnya besok, kamu akan mendekati mata air Tabuk, insya Allah. Kamu tidak akan memasukinya kecuali sampai masuk waktu dhuha. Maka siapa di antara kamu yang sampai padanya, janganlah dia menyentuh airnya sedikit pun, hingga aku datang.”
Tapi ada dua orang yang mendahului kami sampai di tempat itu, sedangkan airnya menetes sangat sedikit.
Kata perawi: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada keduanya: “Apakah kamu berdua sudah menyentuh air ini?”
Keduanya berkata: “Ya.” Mendengar ini, Rasulullah saw mencela keduanya sedemikian rupa dan mengucapkan kata-kata menurut apa yang Allah kehendaki. Kemudian mereka menciduk air itu dengan tangan mereka sedikit demi sedikit hingga terkumpul dalam satu wadah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun membasuh kedua tangan dan wajahnya, lalu mengembalikannya ke tempat itu. Seketika memancarlah air yang berlimpah atau sangat banyak. (Abu Ali ragu-ragu mana yang disebutkan perawi). Akhirnya pasukan itu memperoleh air minum.
Kemudian beliau berkata: “Wahai Mu’adz, andaikata panjang usiamu, sungguh akan engkau lihat di sini akan penuh dengan kebun-kebun.”[5]
Itulah sebagian mukjizat beliau dan sekarang menjadi kenyataan. Tempat yang disebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut kini subur dan menjadi perkebunan.
Menanti Musuh di Tabuk
Pasukan Islam tiba di Tabuk. Mereka siap bertempur melawan musuh. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berorasi memberikan semangat kepada pasukannya. Namun pasukan Romawi tak kunjung muncul.
Ternyata pasukan Romawi tidak berani muncul. Mereka berpencar di batas wilayah mereka masing-masing. Pasukan Romawi lebih senang tinggal di dalam wilayah Syam untuk berlindung di benteng-bentengnya ketika sampai kepada mereka berita tentang kekuatan pasukan muslimin.
Apa pun alasannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetap di Tabuk selama 20 hari, dan mengirim beberapa pasukan kecil ke sekitar daerah Tabuk. Tindakan yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menambah kekuatan dan wibawa Islam di wilayah utara jazirah Arab dan membuka jalan ke arah penaklukan daerah Syam sesudah itu.
Ibnul Qayyim menuturkan, ketika sampai di Tabuk, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi penguasa Ailah yang menawarkan perdamaian dan jizyah. Beliau juga didatangi oleh Penduduk Jarba dan Adzrah , mereka memberikan jizyah.[6]
Untuk mengamankan wilayah Tabuk, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Khalid bin Walid. Beliau mengutusnya ke Ukaidir Dumatul Jandal bersama 420 penunggang kuda. Nama aslinya Ukaidir bin Abdul Malik. Ia berasal dari Kandah dan bertindak sebagai raja. Ia seorang yang beragama Nashrani.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Khalid, “Sesungguhnya engkau akan menemukannya sedang berburu sapi.”
Khalid berangkat hingga mendekati bentengnya. Dengan pandangan matanya di bawah temaram sinar purnama yang cerah, Ukaidir saat itu bersama istrinya di atas benteng. Tiba-tiba beberapa sapi dengan tanduk-tanduknya berusaha menjebol pintu istana.
Istrinya bertanya kepadanya, “Apakah engkau pernah melihat (kejadian) seperti ini?” Ukaidir menjawab, “Sungguh, sama sekali tidak pernah.”
Istrinya bertanya, “Lalu siapa gerangan yang membiarkannya?”
Ukaidir turun dan meminta kudanya berikut penerangan. Ikut bersamanya segolongan dari anggota keluarganya termasuk saudaranya yang bernama Hissan. Mereka mengendarai kuda dan berangkat. Ketika keluar, mereka disambut pasukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka bertempur hingga saudaranya Hissan terbunuh. Ia mengenakan mahkota dari sutra yang bersulam emas. Khalid menjadikannya salab (harta rampasan dari musuh yang terbunuh untuk pembunuhnya), dan mengirimkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum kepulangan pasukannya.
Anas bin Malik menuturkan, saya melihat mahkota Ukaidir saat dibawa kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kaum muslimin mengelus dan kagum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apakah kalian kagum dengan ini? Demi Dzat diriku di tangan-Nya, sapu tangan milik Saad bin Muadz di surga (nanti) jauh lebih bagus dari ini.”[7]
Kemudian Khalid membawa Ukaidir ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau melindungi nyawanya dan memberikan opsi kepadanya untuk menyerahkan jizyah, kemudian membebaskannya dan dia kembali ke kampungnya. Shafiyur Rahman al-Mubarakfuri menambahkan, Ukaidir menebus dirinya dengan menyerahkan 2000 ekor unta, tebusan senilai 800 orang, 400 baju besi, 400 tombak dan siap membayar jizyah.
Berbagai kabilah yang tadinya tunduk kepada Romawi berbalik mendukung umat Islam. Dengan demikian, di era Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kaum Muslimin sudah membentang dan wilayahnya sudah langsung berbatasan dengan kekuasaan Romawi. Belakangan, di akhir pemerintahan Abu Bakar ash-Shiddiq, hanya berselang tak lebih dari lima tahun, pasukan Islam benar-benar berhadapan dengan kekuatan Romawi. Di Yarmuk, di bawah kendali Khalid bin Walid, 39 ribu pasukan Islam—hanya beda sembilan ribu dengan pasukan Islam di Tabuk—berhadapan dengan 240 ribu tentara Romawi. Pasukan Islam menang dan berhasil menundukkan kekuatan Romawi!
Kaum Muslimin berangkat ke Tabuk pada Rajab 9 Hijriyah. Mereka kembali ke Madinah pada bulan Ramadhan Hijriyah. Peperangan ini memakan waktu sekitar 50 hari. Lamanya kaum Muslimin bermukin di Tabuk sekitar 20 hari, 30 hari dihabiskan dalam perjalanan.
Walaupun tidak terjadi pertempuran hebat, ada sahabat yang meninggal dunia. Abdullah bin Mas’ud menceritakan. Suatu malam yang sunyi dia terjaga dari tidurnya dan melihat ada selarik api di bagian agak jauh dari pasukan. Ia berusaha mendekati cahaya api tersebut. Ternyata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr dan Umar sedang mengurus jenazah Abdullah Dzul Bijadain (kain hitam yang tebal) al-Muzani.
Rupanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama kedua sahabatnya itu sudah menggali kuburan untuk jenazahnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam liang kubur itu, sementara Abu Bakar dan Umar mendekatkan jenazah itu kepada beliau yang berkata, “Kemarikan jenazah saudara kamu itu.”
Setelah meletakkannya di dalam kubur tersebut, beliau berdoa, “Ya Allah sesungguhnya aku meridhainya, maka ridhailah dia.” Mendengar doa itu, Abdullah bin Mas’ud berkata dalam hati, “Duhai, kiranya akulah yang dikuburkan itu.”
(Bersambung)
[1] Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari (8/86) dan Muslim (No. 2404), Zadul Ma’ad 3/530.
[2] Sirah Ibnu Hisyam (2/520-521), dalam Zadul Ma’ad (3/530-531).
[3] HR. Imam Al-Bukhari (8/288) dan Al-Imam Muslim (no. 2980), dalam Zadul Ma’ad (3/532).
[4] Diriwayatkan oleh Muslim (4/1785), lihat Zaadul Ma’ad (3/531).
[5] HR. Muslim
[6] Zaadul-Maad 3/5370
[7] HR Bukhari 6/319.