Sekembali dari Tabuk, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin memang selamat dari ancaman pasukan Romawi. Namun selanjutnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadapi musuh lain yang tidak kalah bahayanya yakni ancaman dari kaum munafik. Pada perang terakhir yang terjadi di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, mereka melakukan segala upaya. Seperti dituturkan Syaikh Munir Muhammad Ghadhban dalam al-Manhaj al-Haraki-nya, berbagai program dilakukan. Sejak awal persiapan perang, mereka berusaha meruntuhkan semangat kaum muslimin agar tidak berangkat. Karena itu, dalam masa-masa perang Tabuk inilah turun surat at-Taubah yang membeberkan watak asli kaum munafik.
Ada pula di antara mereka yang ikut serta sampai di Tabuk, ternyata berusaha menyebarkan keraguan dalam hati kaum muslimin. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kehilangan unta, seorang munafik mengatakan, “Kalau memang Muhammad mengaku nabi dan menyampaikan kepada kamu berita dari langit, mengapa dia tidak mengetahui di mana untanya berada?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendengar mereka mengucapkan kata-kata itu tapi dari malaikat Jibril beliau tahu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda kepada para sahabatnya antara lain Umarah, “Ada yang mengatakan, ‘Kalau memang Muhammad mengaku nabi dan menyampaikan kepada kamu berita dari langit, mengapa dia tidak mengetahui di mana untanya berada?’ Demi Allah, saya memang tidak mengetahui apa-apa kecuali yang diberitahukan oleh Allah. Allah telah menerangkan kepada saya di mana unta tersebut. Unta itu di lembah anu, di jalan anu, dan talinya tersangkut sebatang pohon.”
Beberapa sahabat berangkat hendak mencarinya. Umarah pun kembali ke tendanya dan berkata, “Demi Allah, sungguh ajaib yang diceritakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi, tentang perkataan seseorang yang diberitakan oleh Allah kepada beliau.”
Mendengar ucapan Umarah ini, salah seorang yang tidak mendengar langsung perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Demi Allah, yang diucapkan oleh Rasulullah itu perkataan Zaid bin Lushaid, sebelum engkau datang.”
Umarah marah. Dia mencekik leher Zaid bin Lushaid dan mengusirnya dari tenda itu dan melarangnya menyertai dirinya lagi.
Ucapan berbahaya ini masih ringan. Kaum munafik tidak berhenti sampai di situ. Mereka pun berencana membunuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketika bertolak menuju Madinah beberapa orang munafik mengadakan tipu daya untuk membunuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara mendorong beliau jatuh dari puncak tebing di jalan tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Hudzaifah Ibnul Yaman dan Ammar bin Yasir agar berjalan bersama beliau. Lalu beliau memerintahkan Ammar memegang tali kekang unta, sedangkan Hudzaifah menuntunnya.
Pada waktu itu, tiba-tiba terdengar suara di belakang mereka. Rupanya, orang-orang munafik berusaha menyusul beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar Hudzaifah menjauhkan mereka. Karena melihat kemarahan di wajah Rasulullah, Hudzaifah segera berbalik sambil membawa sebatang tongkat yang berkeluk kepalanya. Kemudian, dia menghadang kendaraan mereka dan memukulnya dengan tongkat.
Hudzaifah melihat kaum munafik menutup wajah mereka untuk menyembunyikan identitas yang sesungguhnya. Demikianlah keadaan kaum munafik, mereka menutupi diri, bersembunyi. Mereka ketakutan melihat Hudzaifah dan mengira tipu daya mereka sudah diketahui. Akhirnya, mereka segera bergabung dengan pasukan, sementara Hudzaifah berbalik menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Hudzaifah, “Tahukah engkau siapa rombongan pengendara tadi?”
Kata Hudzaifah, “Saya mengenal kendaraan si Fulan dan si Fulan. Waktu itu malam sangat gelap dan mereka menutupi wajah mereka.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Tahukah engkau apa yang mereka inginkan?”
“Tidak. Demi Allah, wahai Rasulullah.”
“Mereka berencana hendak ikut berjalan bersamaku, dan kalau sudah tiba di jalan yang berbukit, mereka akan mendorongku sampai jatuh.”
“Kalau begitu, mengapa Anda tidak memerintahkan agar kami penggal leher mereka?”
“Saya tidak suka orang akan mengatakan bahwa Muhammad membunuh sahabatnya,” jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau menyebut nama-nama mereka dan berkata kepada Hudzaifah dan Ammar , “Rahasiakanlah oleh kamu berdua.”[1]
Sejak saat itu Hudzaifah dikenal sebagai pemegang rahasia nama-nama kaum munafik lengkap dengan ciri-ciri mereka. Sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat mengetahui seseorang itu munafik, apabila Hudzaifah tidak mau menyalatkan jenazahnya.
Suatu kesempatan, dalam perjalanan melelahkan, terdengar pula sebuah ucapan dari salah seorang prajurit, “Kita belum pernah melihat qurra` (ahli baca Quran) kita seperti mereka ini,” yang dimaksudkannya adalah pribadi Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, “paling gendut perutnya, tidak (pernah kita lihat) yang paling dusta ucapannya, dan tidak (pernah kita lihat) yang paling takut ketika bertemu (musuh).”[2]
Ketika hal itu dilaporkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ditanya, mereka mengatakan, “Kami hanya bergurau.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menjawab dengan membacakan firman Allah:
أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ
“Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” (QS at-Taubah: 65).
Dengan tegas pula Allah Ta’ala menyatakan bahwa berolok-olok dengan Allah Ta’ala, ayat-ayat-Nya serta Rasul-Nya adalah kekafiran:
لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
“Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.”
Demikianlah watak orang-orang munafik. Mereka menghalangi berperang, memecah belah pasukan dan bahkan berusaha membunuh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka juga memperolok-olok beliau. Ketika diketahui, mereka mengelak dengan alasan hanya bercanda.
Selain melancarkan berbagai program untuk membungkam gerakan Islam, orang-orang munafik juga berbagi tugas. Ada yang menghalangi umat Islam untuk berangkat ke Tabuk. Ada yang berusaha memecah belah pasukan Islam saat di Tabuk. Ada juga yang berusaha membunuh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat pulang dari Tabuk. Dan, ada juga program yang sudah mereka siapkan di Madinah, menanti kepulangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke kota itu. Mereka inilah yang bekerja sama dengan Abu Amir al-Fasiq.
Abu Amir dan Masjid Dhirar
Sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, ada seorang tokoh dari Khazraj digelari Abu Amir ar-Rahib (si Pendeta). Di masa jahiliyah, dia memeluk Kristen dan membaca ilmu ahli kitab. Dia rajin beribadah dan mempunyai kedudukan mulia di kalangan Khazraj.
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah dan kaum muslimin bersatu mendukung beliau, dan Allah memenangkan mereka dalam perang Badar, Abu Amir merasa menelan pil pahit. Ia pun menampakkan permusuhan dan bergabung dengan orang-orang kafir Makkah, menghasut mereka agar memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia juga yang menggali lubang jebakan dalam peperangan hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jatuh di salah satu lubang jebakan tersebut.
Abu Amir juga membujuk orang-orang Anshar agar mendukung dan membelanya. Tetapi dia justru menerima cercaan dari orang-orang Anshar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah mengajaknya kepada Islam dan membacakan al-Qur’an, namun dia menolak. Akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakannya mati sebatang kara terusir dari tanah airnya.
Ketika melihat kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin menjulang, Abu Amir lari ke Syam bergabung dengan Heraklius, meminta bantuan memerangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Heraklius menjanjikan dan mengizinkannya tinggal di negerinya. Kemudian Abu Amir menulis surat kepada beberapa orang yang masih mendukungnya dari kalangan Anshar yang munafik. Dia menjanjikan bahwa akan ada bantuan untuk memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mengembalikan kedudukannya di tengah-tengah kaumnya.
Untuk memuluskan rencananya, Abu Amir memerintahkan pendukungnya untuk membuat satu markas untuk mengamati keadaan kaum muslimin jika bantuan itu datang. Akhirnya mereka pun segera membangun sebuah masjid yang berdekatan dengan Masjid Quba. Masjid itu selesai sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat menuju Tabuk.
Mereka pun datang meminta agar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mau shalat di masjid tersebut sebagai bukti bahwa beliau telah merestui. Mereka memberi alasan bahwa masjid itu dibangun untuk menampung kalau ada yang sakit dan kesulitan di malam musim dingin serta orang-orang yang lemah.
Allah Ta’ala menjaga beliau agar tidak shalat di sana. “Kami sedang dalam perjalanan. Kalau kami sudah kembali Insya Allah (kami akan shalat di sana),” ujar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perjalanan kembali dari Tabuk, tinggal sehari atau dua hari lagi sebelum masuk ke Madinah, turunlah Jibril menerangkan keadaan masjid dhirar tersebut. Bahwasanya mereka mendirikan masjid tersebut di atas kekafiran, memecah belah kaum mukminin di masjid mereka. Akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim beberapa orang untuk meruntuhkan masjid itu menjelang kedatangan beliau di Madinah.
Allah Ta’ala berfirman menerangkan keadaan masjid ini:
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِّمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِن قَبْلُ ۚ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَىٰ ۖ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mu’min), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mu’min serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain kebaikan.” Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).” (QS at-Taubah: 107)
Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa ada empat perkara yang mendorong mereka mendirikan masjid tersebut, yaitu:
- Upaya menimbulkan mudharat bagi orang lain
- Kekafiran kepada Allah dan membanggakan diri terhadap kaum muslimin
- Memecah belah kaum mukminin
- Memata-matai untuk mereka yang memerangi Allah dan Rasul-Nya, sebagai bantuan buat musuh-musuh Allah.
Allah Ta’ala menggagalkan usaha mereka dan membuat tipu daya mereka sia-sia dengan memerintahkan Nabi-Nya agar meruntuhkan serta memusnahkan masjid tersebut. Allah juga melarang Rasul-Nya dan kaum mukminin shalat di masjid tersebut dengan larangan yang sangat keras. Allah Ta’ala berfirman:
لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا ۚ لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا ۚ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ
“Janganlah kamu menegakkan shalat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (QS at-Taubah: 108).
Dengan hancurnya masjid dhirar, semakin sempitlah ruang gerak kaum munafik. Jati diri mereka pun semakin jelas bagi kaum muslimin. Apalagi ketika dedengkot mereka, Abdullah bin Ubay bin Salul meninggal dunia. Secara legal dan berkelompok, keberadaan orang-orang munafik nyaris punah. Tersisa beberapa personal yang dikabarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Hudzaifah yang tidak kita ketahui jati dirinya hingga hari ini.
Namun demikian, meskipun dedengkot munafik di masa Nabi sudah punah, tapi orang-orang yang berkarakter munafik hingga kini masih banyak. Merekalah yang mengacaukan program umat Islam, menggunting dalam lipatan, pura-pura berpihak pada umat Islam padahal punya kepentingan pribadi yang diagendakan. Sosok seperti ini justru sangat berbahaya. Lebih berbahaya daripada orang kafir sekalipun.
(Bersambung)
Catatan Kaki:
[1] HR. Ahmad (5/453), pentahqiq Zadul Ma’ad mengatakan rawi-rawinya tsiqat (terpercaya) dan ada penguatnya dalam Shahih Muslim (2779) (11).
[2] Artinya, mereka orang-orang yang sangat gendut perutnya karena kebanyakan makan, tidak ada pekerjaan lain kecuali makan, selalu berbicara dusta, dan sangat takut jika bertemu musuh serta pasti melarikan diri. (Syarah Riyadhis Shalihin, asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah, 1/124).