Sekembali dari Tabuk, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukan memasuki Madinah, orang-orang yang tidak ikut perang berduyun-duyun datang menemui beliau. Masing-masing menyatakan uzurnya. Sebagian dari mereka diterima oleh beliau dan urusan batinnya diserahkan kepada Allah.
Namun di antara mereka, ada orang-orang yang tidak mungkin berdusta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka memang tidak ada halangan syar’i yang membolehkan tidak ikut perang. Di antara mereka ini, ada yang sengaja mengikat tubuhnya di tiang-tiang masjid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat mereka dan bertanya, “Siapa yang mengikat dirinya di tiang ini?”
Sahabat lain menjawab, “Itu Abu Lubabah dan teman-temannya, karena mereka tidak ikut perang bersama Anda, wahai Rasulullah. Mereka ingin Anda sendiri yang melepaskan mereka.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Demi Allah, saya tidak akan melepaskan dan tidak pula menerima uzur mereka, sampai Allah sendiri yang melepaskan mereka. Mereka tidak suka ikut bersamaku, dan tidak mau berperang bersama kaum muslimin.”
Ketika sampai perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat-sahabat tersebut, mereka berkata, “Kami pun tidak akan melepaskan diri kami hingga Allah sendiri yang melepaskan kami.”
Kemudian turunlah firman Allah:
وَآخَرُونَ اعْتَرَفُوا بِذُنُوبِهِمْ خَلَطُوا عَمَلًا صَالِحًا وَآخَرَ سَيِّئًا عَسَى اللَّهُ أَن يَتُوبَ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampuradukkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At-Taubah: 102).
Setelah ayat ini turun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menemui mereka, melepaskan tali yang membelit dan menerima uzur mereka. Tak lama, mereka datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil membawa harta dan berkata, “Wahai Rasulullah, inilah harta kami. Bersedekahlah dengan harta ini dan mintakanlah ampunan untuk kami.”
Beliau menjawab, “Saya tidak diperintah mengambil harta kalian.” Lalu turun ayat:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.” (At-Taubah: 103)
Kemudian, datang pula tiga sahabat yang mulia; Ka’ab bin Malik, Hilal bin Umayyah, dan Murarah bin Ar-Rabi’. Mereka tidak ikut mengikat diri mereka bersama Abu Lubabah dan teman-temannya. Mereka merasa tidak punya alasan yang memberatkan hingga tertinggal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka hanya menyampaikan bahwa mereka tidak ikut serta. Akhirnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan urusan mereka kepada Allah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan untuk tidak mengajak mereka bicara, tidak menjawab salam mereka, bahkan memerintahkan agar menjauhi istri mereka.
Satu bulan lebih, wahyu tidak juga turun. Itulah salah satu rahasia hikmah Allah dalam setiap urusan besar, sehingga kaum muslimin benar-benar merasa rindu kepada wahyu itu.
Seusai shalat Shubuh di hari kelima puluh, ketika Ka’ab sedang berada di atas loteng rumahnya, persis seperti diterangkan Allah, “Jiwa terasa sesak, dan bumi pun terasa sempit, padahal dia begitu luasnya,” Ka’ab mendengar suara teriakan di atas bukit cadas, “Wahai Ka’b bin Malik, bergembiralah!”
Ka’ab pun menyungkur sujud. Ia tahu, telah datang kelapangan dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan adanya taubat dari Allah atasnya ketika shalat Shubuh. Kaum muslimin berduyun-duyun memberi ucapan selamat kepadanya serta kepada Hilal bin Umayyah dan Murarah bin Ar-Rabi’. Ada seseorang datang dengan berkuda, ada pula dari Bani Aslam berjalan cepat ke arahnya, mendaki gunung. Sedangkan suara lebih cepat dari kuda. Setelah pemilik suara itu datang, Ka’ab melepaskan bajunya dan memberikannya kepada orang itu sebagai hadiah atas berita gembira tersebut. Padahal, ia tidak punya baju selain itu.
Orang-orang pun berduyun-duyun mengucapkan selamat, “Selamat, karena taubatmu diterima oleh Allah.” Hal itu berlangsung sampai saya masuk ke dalam masjid. Ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah dikelilingi oleh para sahabat lain.
Demikianlah keadaan mereka, yaitu orang-orang yang mencintai untuk saudaranya apa yang dicintainya untuk dirinya. Mereka tidak iri atau dengki atas kelebihan yang Allah limpahkan kepada saudara mereka, yaitu turunnya wahyu yang agung menerangkan bahwa taubat mereka diterima. Bahkan, mereka mengucapkan selamat sampai Ka’ab masuk ke dalam masjid.
Ka’ab mengatakan, “Setelah saya mengucapkan salam kepada Rasulullah, beliau berkata dengan wajah berseri-seri, ‘Bergembiralah dengan sebaik-baik hari yang telah engkau lewati sejak engkau dilahirkan ibumu’.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam benar, karena Allah telah menurunkan taubatnya dan taubat kedua temannya dalam Al-Qur’an yang dibaca. Rabb semesta alam yang mengucapkannya dan menurunkannya kepada Muhammad, terpelihara dengan perantaraan Jibril dan terjaga sampai hari kiamat.
Tidak seorang pun selain para nabi, atau orang-orang yang disebut oleh Allah dalam Al-Qur’an yang kisahnya terpelihara seperti kisah Ka’ab dan dua sahabatnya. Kisah ini abadi dan senantiasa dibaca dalam Kitab Allah, di mimbar-mimbar, dan di mana pun. Siapa yang membaca kisah ini, dia memperoleh sepuluh kebaikan dari setiap huruf Al-Qur’an yang dibacanya.
Ka’ab melanjutkan, “Wahai Rasulullah, apakah ini dari engkau atau dari sisi Allah?”
Kata beliau, “Dari sisi Allah.” Dan kalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam gembira, wajahnya bersinar laksana kepingan bulan purnama.
Setelah duduk di hadapan beliau, Ka’ab berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya sebagai bukti taubat, saya menyerahkan harta saya untuk sedekah kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Tahanlah sebagian hartamu, tentu itu lebih baik.”
“Sesungguhnya, saya menahan bagian yang saya peroleh dari Khaibar.”
Kemudian Ka’ab berkata lagi, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah menyelamatkan saya tidak lain karena kejujuran. Termasuk taubat saya juga, saya tidak akan berbicara kecuali yang benar selama saya masih hidup.”
Menurut Ka’ab, ia tidak melihat ada seorang muslim yang Allah beri ujian dalam hal kejujuran—sejak menyebutkan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam—yang lebih baik daripada yang diberikan kepadanya.
Belum pernah pula ia sengaja berdusta sejak mengatakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sungguh, ia berharap Allah memeliharanya dalam sisa-sisa umurnya.
Tak lama, Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَّقَد تَّابَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِن بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٍ مِّنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّهُ بِهِمْ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ وَعَلَى الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّىٰ إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَن لَّا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلَّا إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka, dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (At-Taubah: 117—119)
Masih menurut Ka’ab, “Demi Allah, tidak pernah Allah memberi nikmat kepadaku yang lebih besar bagi diri saya—sesudah memberi saya hidayah kepada Islam—daripada kejujuran kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; saya tidak akan berdusta kepada beliau, yang akibatnya saya binasa sebagaimana binasa mereka yang berdusta. Sungguh Allah berfirman tentang orang-orang yang berdusta itu, karena menurunkan wahyu lebih buruk daripada kepada yang lain.”
Allah berfirman:
سَيَحْلِفُونَ بِاللَّهِ لَكُمْ إِذَا انقَلَبْتُمْ إِلَيْهِمْ لِتُعْرِضُوا عَنْهُمْ ۖ فَأَعْرِضُوا عَنْهُمْ ۖ إِنَّهُمْ رِجْسٌ ۖ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ يَحْلِفُونَ لَكُمْ لِتَرْضَوْا عَنْهُمْ ۖ فَإِن تَرْضَوْا عَنْهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَرْضَىٰ عَنِ الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ
“Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari mereka; karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka Jahannam; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu ridha kepada mereka. Tetapi jika sekiranya kamu ridha kepada mereka, maka sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang fasik itu.” (At-Taubah: 95—95)
Dan kefasikan adalah sebab tidak diperolehnya keridhaan Allah.
Kata Ka’ab, “Dahulu kami bertiga ditunda dari mereka yang diterima oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mereka bersumpah kepada beliau, lalu beliau membai’at serta memintakan ampunan untuk mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunda persoalan kami sampai Allah memutuskannya. Itulah firman Allah Subhanahuwata’la:
وَعَلَى الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا
“Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka….” Maknanya bukan tertinggal dari peperangan, tapi ketertinggalan kami dan penundaan beliau terhadap urusan kami dari mereka yang telah bersumpah kepada beliau dan mengajukan alasan lalu beliau terima.”
Ada banyak hikmah yang bisa kita petik dari kisah Ka’ab bin Malik dan dua sahabatanya ini. Antara lain, seorang Muslim boleh menceritakan dosanya sesudah taubat agar membangkitkan semangat orang lain untuk bertaubat, apalagi bila dosa itu tersebar dan diketahui orang banyak. Adapun dosa yang sifatnya rahasia atau yang terang-terangan tapi belum bertaubat, tidak boleh diceritakan agar tidak mendorong orang lain berbuat seperti itu, dan diapun menjadi golongan orang-orang yang mujaharah (terang-terangan berbuat dosa).
Selain itu, seorang mukmin seharusnya merasakan kepedihan ketika menelantarkan sebuah kewajiban. Seharusnya muncul rasa penyesalan karena tidak bisa melaksanakan perintah Allah. Ini bisa jadi menunjukkan kadar keimanan seseorang. Yakni, manakala ia sedih saat melalaikan kewajiban. Jika ada orang yang mengaku Mukmin, tapi ketika suatu saat lantaran uzur tidak bisa menjalankan kewajiban dan ia biasa-biasa saja, kita harus mencurigai keimanannya.
Seorang mukmin juga tidak boleh mengejek saudaranya, tetapi harus membelanya, seperti yang dilakukan Mu’adz bin Jabal terhadap Ka’ab. Ketika seorang Muslim melakukan kekeliruan, kita tidak boleh memojokkannya, menghinanya seraya melupakan semua kebaikannya selama ini.
Betapa banyak kejadian hari ini, seorang tokoh Muslim, misalnya, yang dikenal banyak melakukan kebaikan, suatu ketika tersandung berbuat salah, kita habisi nasibnya, kita sebarkan aibnya. Seandainya benar dia melakukan kesalahan, kita tidak boleh menghujatnya. Apalagi jika kesalahan itu belum jelas atau tidak melanggar syariat sama sekali. Ia hanya melakukan perbuatan yang mungkin tidak lazim dilakukan masyarakat, kita tak boleh menghinanya. Jika kita tak sanggup membelanya, maksimal kita diam, tawakuf dan menyerahkan urusannya kepada Allah Ta’ala.