Kepergian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya menuju Tabuk menyelipkan begitu banyak hikmah. Di antaranya ada yang bisa dicerna secara langsung, ada juga yang memerlukan perenungan mendalam. Baik mata air yang tak pernah kering, hikmah itu terus mengalir bahkan hingga kini. Di antara hikmah itu sebagian dipaparkan oleh Prof. Dr Muhammad Ali Ash-Shalabi, antara lain:
Sebagai Ajang Latihan Fisik bagi Kaum Muslimin
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menempuh perjalanan yang sangat jauh, dalam kondisi cuaca sulit karena saat itu sedang musim panas menyengat. Hampir semua buku sejarah menyebutkan, Perang Tabuk membutuhkan 50 hari; 30 hari perjalanan pulang pergi, dan 20 hari masa menaklukkan musuh di sekitar Tabuk.
Saat itu minim air hingga mereka hampir mati kehausan. Mereka juga tidak memiliki banyak bekal. Wajar kalau al-Qur’an menyebut pasukan ini dengan Jaisyul ‘Usrah (Pasukan Kesulitan). Semua ini jelas merupakan latihan keras yang hanya mampu dilakukan oleh orang-orang tanggu dan bertekad kuat.
Berkenaan dengan pelajaran ini, Ustadz Mahmud Syait Khaththab dalam karyanya ar-Rasul al-Qa’id memberi penjelasan: pasukan-pasukan modern saat ini melakukan latihan sangat keras, seperti melintasi tempat-tempat dan halangan-halangan sulit, menempuh jarak jauh di berbagai kondisi cuaca berbeda, tidak boleh makan dan minum dalam jangka waktu tertentu dan lainnya sebagai persiapan bagi prajurit untuk mengadapi situasi-situasi paling sulit yang akan dihadapi saat perang. Pasukan perang Tabuk juga memikul berbagai beban berat yang tidak kalah sulit dari latihan-latihan keras tersebut.
Ustadz Mahmud Syait Khaththab menambahkan, mereka meninggalkan Madinah saat buah-buahan ranum siap dipetik. Mereka menempuh jarak yang begitu jauh dan berat di padang pasir jazirah Arab di musim panas, menahan lapar dan haus dalam jangka panjang. Perang Tabuk merupakan latihan keras bagi kaum Muslimin. Tujuan Rasulullah saw dari perang ini adalah mempersiapkan mereka untuk memikul risalah demi melindungi penyebaran Islam di luar semenanjung jazirah Arab. Perang Tabuk merupakan perang terakhir yang terjadi di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan demikian beliau harus yakin akan kemampuan pasukan sebelum beliau wafat.
Latihan nyata ini membantu para shahabat di masa Khulafaur Rasyidin. Mereka berhasil menaklukan Syam dan Persia dengan kekuatan iman dan kepercayaan kepada Sang Pencipta. Latihan keras itu membantu mereka untuk menjaga kekuatan fisik, mengenal cara menggunakan pedang, tombak dan berbagai macam persenjataan. Dalam setiap duel jelang perang besar, baik Perang Yarmuk melawan Romawi atau Perang Qadisiyah melawan Persia, selalu dimenangkan tentara Islam. Kemenangan saat duel jelang perang ini amat besar pengaruhnya bagi perang selanjutnya.
Dalam konteks hari ini, kekuatan fisik tetap diperlukan. Meski zaman sudah begitu canggih dan menggunakan berbagai sarana modern, tapi kekuatan fisik tak bisa diabaikan. Apalagi bagi seorang kader dakwah yang tak hanya memikul beban harus mencari nafkah bagi keluarga. Ia juga punya beban dakwah, politik dan sosial. Pernahkah kita membayangkan, ada seorang kader dakwah yang diamanahi menjadi anggota dewan, membina beberapa halaqah, mempunyai anak lebih dari orang kebanyakan, memimpin majelis taklim dan yayasan sosial. Jika ia tak memiliki kekuatan fisik yang memedai, takkan mungkin mampu menjalankan semua amanah itu.
Runtuhnya Wibawa Romawi
Hal ini tak hanya bagi bangsa Arab yang muslim tapi juga masyarakat yang masih kafir. Sebab, kekuatan Romawi menurut perkiraan bangsa Arab sebelumnya adalah kekuatan yang tidak bisa ditandingi dan dikalahkan. Sekadar menyebut Romawi saja mereka sudah gentar. Apalagi jika berhadapan. Kalaupun bicara tentang kekalahan Romawi, mereka tak pernah bermimpi umat Islamlah pelakunya.
Perang Mu’tah yang terjadi beberapa tahun sebelumnya, menguatkan memori di otak bangsa Arab di masa jahiliyah, bahwa Romawi adalah kekuatan yang tidak terkalahkan. Tapi itu tidak berlaku bagi umat Islam. Semangat bahwa mereka akan menaklukkan Romawi itu bahkan sudah digaungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di era Makkiyah. Bahkan, ketika terjadi Perang Khandaq, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulang-ulang lagi bahwa Konstantinopel yang menjadi pusat kekuatan Romawi akan mereka taklukkan. Dengan demikian, mobilisasi besar-besaran pasukan muslim ini diperlukan untuk melenyapkan kekalahan psikis dalam jiwa bangsa Arab itu.
Kemenangan psikis itu penting. Kemenangan psikis adalah pemantik untuk kemenangan fisik. Inilah yang menjelaskan mengapa kalangan sekular dan Barat tidak akan pernah memberikan restu untuk kemenganan tentara Islam.
Motif Utama di Balik Kemenangan
Kemenangan pasukan Islam yang bersifat lokal dan mampu menantang kekuatan terbesar di dunia saat itu, bukan karena motif fanatisme, rasisme, atau untuk mewujudkan obsesi pemimpin saat itu. Motifnya hanya satu; untuk memerdekakan. Lantaran humanisme menyerukan untuk memerdekakan jiwa, maka tak ada pergelutan perang melawan Romawi, mereka lebih memilih untuk melarikan diri ke arah utara. Dengan demikian, pasukan muslim berhasil meraih kemenangan tanpa peperangan karena mereka meninggalkan kawasan-kawasan tersebut untuk daulah Islam. Sebagai hasilnya, akhirnya kaum Nasrani yang sebelumnya memiliki hubungan yang sangat loyal terhadap negara Romawi seperti pemerintahan Daumatul Jandal dan pemerintahan Ailah (Kota Uqbah saat ini di teluk Uqbah) tunduk pada Daulah Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat berisi ketetapan hak dan kewajiban mereka.
Tak hanya itu, kabilah-kabilah Arab lain di Syam yang sebelumnya belum tunduk pada kekuasaan Islam di Tabuk akhirnya sangat terpengaruh oleh Islam. Sebagian besar kabilah-kabilah tersebut mulai mengevaluasi sikap dan membanding-bandingkan keuntungan terus loyal pada Romawi atau beralih memberikan loyalitas kepada daulah Islam yang sedang berkembang. Itu semua terjadi setelah penaklukan Islam di negara Syam.
Meski sebelumnya sudah ada beragam usaha, namun efek yang ditimbulkan tidak sekuat seperti yang ditimbulkan Perang Tabuk. Perang ini merupakan indikasi permulaan aksi-aksi berkelanjutan untuk menaklukan berbagai negeri, juga penaklukan-penaklukan yang diteruskan oleh para khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau wafat.
Hal ini dikuatkan lagi, sebelum wafat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyiapkan pasukan yang dipimpin Usamah bin Zaid bin Haritsah untuk memimpin pasukan yang beliau arahkan menuju Romawi, sebagai pelopor pasukan penakluk. Pasukan ini diikuti sebagian besar sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya saja Usamah bin Zaid bin Haritsah baru bisa melaksanakan misi ini setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.
Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meletakan batu pertama dan rencana-rencana terbaik untuk menaklukan negeri Syam dan berbagai penaklukan Islam lainnya. Para shahabat, terutama di masa Umar bin Khaththab melanjutkan rencana itu. Sehingga, di era pemerintahan Umar, hampir seluruh wilayah Syam takluk.
Menyatunya Jazirah Arab di Bawah Kekuasaan Islam
Kabilah-kabilah Arab sangat terpengaruh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Dakwah Islam karena berbagai stimulan, seperti penaklukan Makkah, Khaibar, Perang Tabuk dan lainnya. Dengan demikian, setiap kabilah langsung menyatakan diri masuk Islam setelah kekuasaan kaum Muslimin terbentang luas hingga perbatasan Romawi. Setelah itu dilanjutkan perjanjian damai yang dibuat Najran di tepi selatan agar mereka membayar jizyah, sehingga tidak ada tindakan apa pun yang bisa dilakukan oleh kabilah-kabilah Arab selain memeluk Islam dan bergabung dengan kafilah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mendengar dan taat.
Musuh dalam Perang Tabuk memang Romawi. Namun efek kemenangan yang muncul bukan tumbangnya Romawi tapi menyatunya bangsa Arab dalam pangkuan Islam. Sungguh benar ijtihad Umar bin Khaththab di era pemerintahannya yang mengatakan, “Kita takkan bisa menaklukkan Romawi dan Persia sebelum menyatukan bangsa Arab.” Dan, Perang Tabuk adalah simpul penyatuan itu.
Selanjutnya, ketika simpul persatuan sudah diikatkan, penerus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal melanjutkan. Apalagi secara psikologi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menggaungkan bahwa mereka akan menaklukkan Romawi. Impian itu menemukan realitanya di era pemerintahan Bani Umayyah. Puncaknya, pada tahun 1453 M, Muhammad al-Fatih dari Turki Utsmani mewujudkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: menaklukkan Konstantinopel!
Dengan berakhirnya kisah perang yang mendapat berkah ini, berakhir pula kisah peperangan yang secara langsung dipimpin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sungguh kehidupan beliau yang penuh berkah itu sarat berbagai pelajaran dan teladan yang mendidik generasi umat di kemudian hari.