Yazid bin Muawiyah bin Abu Sufyan, dijuluki Amirul Mu’minin. Panggilannya: Abu Khalid Al-Umawi. Ada beberapa riwayat mengenai tahun kelahirannya: tahun 25, 26, atau 27 H (645, 646, 647 M) saat ayahnya menjabat sebagai Gubernur Syam. Ibunya bernama Maisun binti Bahdal bin Anif Al-Kalbi.
Yazid bin Muawiyah termasuk tabi’in angkatan pertama, Ibnu Katsir berkata: “Abu Zar’ah Ad-Dimasyqi menyebut Yazid pada angkatan tertinggi setelah sahabat. Ia hafal banyak hadits…”
Pendidikan Yazid bin Muawiyah
Muawiyah mendidik anaknya dengan pendidikan Arab dan Islam. Yazid dikirim ke pedalaman di bawah pengasuhan paman-pamannya dari pihak ibu, yaitu Bani Kalb agar tumbuh di lingkungan khas pedalaman yang keras, jantan, kesatria dan bahasa Arab yang murni.
Pada pengepungan pertama Konstantinopel pada tahun 49 H (669 M), Yazid bin Muawiyah ditugasi oleh Muawiyah sebagai pengawas pasukan. Di dalam pasukan itu terdapat Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair, Abu Ayyub Al-Anshari, Abdul Aziz bin Zurarah Al-Kilabi, dan lain-lain.
Ketika Yazid enggan memimpin pasukan penyerbuan ke Konstantinopel, ayahnya bersumpah untuk menggabungkannya pada pasukan di wilayah Romawi Byzantium yang penuh penderitaan.
Yazid juga pernah ditugasi sebagai Amirul Hajj yang merupakan kedudukan terhormat.
Menjadi Khalifah
Muawiyah wafat pada pertengahan Rajab 60 H (April 680 M). Tampuk kekhalifahan pun dilimpahkan kepada Yazid pada hari itu juga. Saat itu ia sedang berada di Damaskus. Maka, Ad-Dhahak bin Qais mewakilinya untuk menerima baiat.
Umat bersepakat membaiat Yazid, kecuali Al-Husain bin Ali dan Abdullah bin Az-Zubair. Sementara itu, para sahabat nabi membaiat Yazid demi soliditas umat, menjaga persatuan, dan menghindari fitnah/tragedi. Mereka adalah: Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar. Muhammad bin Ali bin Abi Thalib (Muhammad bin Al-Hanafiyyah) juga bersikap sama seperti ‘Abdullah bin Umar.
Gaya Kepemimpinan Yazid
Yazid berupaya menerapkan kebijakan politik sebagaimana ayahnya. Ia memuliakan tokoh-tokoh terkemuka negeri Hijaz, terutama dari kalangan Bani Hasyim, seperti Abdullah bin Ja’far, Abdullah bin Abbas, Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Ali bin Husain (Zainal Abidin), dan sebagainya.
Komentar Ibnu Katsir tentang Yazid
Ibnu Katsir (1301 – 1372 M) menyebut Yazid sebagai Amirul Mu’minin: “Yazid memiliki beberapa perangai terpuji: dermawan, pandai menahan marah, fasih, pandai bersyair, pemberani, dan berpandangan bagus tentang kekuasaan. Ia juga rupawan dan pandai bergaul.” (Al-Bidayah wan Nihayah, 8: 230)
Peristiwa Terbunuhnya Al-Husain di Karbala
Al-Husain, cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, berada di Madinah ketika Yazid diangkat menjadi khalifah.
Yazid mengirim utusan kepada walikota Madinah, Al-Walid bin Utbah bin Abu Sufyan, untuk menerima baiat dari Al-Husain dan Abdullah bin Az-Zubair. Namun mereka berdua meminta waktu.
Ibnu Abbas dan Ibnu Umar datang ke Madinah bertemu mereka berdua dan menasehati mereka agar mau berbaiat kepada Yazid demi menghindari perpecahan.
Al-Husain datang ke Makkah. Sesampainya disana datanglah utusan-utusan dari Kufah membawa surat-surat dukungan agar Al-Husain menjadi pemimpin mereka. Merespon hal itu, Al-Husain mengutus Muslim bin Uqail untuk membuktikan kesungguhan orang-orang Kufah tersebut.
Di Kufah, 12.000 orang berbaiat kepada Al-Husain yang diwakili Muslim bin Uqail. Saat mengetahui hal itu, An-Nu’man bin Basyir sebagai gubernur Kufah tidak melakukan tindakan apa-apa. Muslim bin Uqail kemudian mengirim utusan kepada Al-Husain mengabarkan tentang peristiwa pembaiatan ini.
Saat berita ini sampai kepada Yazid, ia pun segera memecat An-Nu’man dan menggantinya dengan Ubaidillah bin Ziyad. Yazid memerintahkan kepada Ubaidillah untuk mengeksekusi Muslim bin Uqail karena dianggap melakukan tindakan pembangkangan kepada pemerintahan yang sah.
Muslim bin Uqail segera bersembunyi di rumah Hani bin Urwah Al-Muradi, lalu Ubaidillah menyergap dan membunuhnya. Sementara penduduk Kufah yang telah berbaiat kepadanya ternyata tidak melakukan pembelaan apa pun.
Saat surat Muslim bin Uqail sampai kepada Al-Husain, ia sudah siap berangkat ke Kufah. Abdullah bin Abbas segera datang menemuinya untuk mencegah, “Aku khawatir mereka (penduduk Kufah) akan menipumu, membohongimu, menyelisihimu, meninggalkanmu…”. Dari selain Bani Hasyim pun, diantaranya Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam Al-Makhzumi, berupaya mencegah Al-Husain. Namun Al-Husain tetap memutuskan untuk berangkat ke Kufah bersama keluarga dan 70 orang pengikutnya.
Sesampainya di Al-Qadisiyah, Al-Husain bertemu dengan Al-Hurr bin Yazid At-Tamimi yang kemudian mengabarkan terbunuhnya Muslim bin Uqail dan menyarankan untuk kembali pulang. Maka, Al-Husain pun kemudian bermaksud kembali pulang, tetapi kerabat Muslim bin Uqail berkata, “Demi Allah, kami tidak akan kembali sebelum membalas dendam atau kami terbunuh.”
Al-Husain melanjutkan perjalanan sampai ke Karbala, sementara itu Ubaidillah bin Ziyad telah mempersiapkan pasukan untuk memeranginya. Panglima pasukannya adalah Umar bin Sa’ad bin Abu Waqqash. Ia memimpin 3.000 tentara. Kamp Umar bin Sa’ad berdekatan dengan kamp Al-Husain. Ketika waktu shalat tiba pasukan Umar bin Sa’ad ikut shalat dan bermakmum kepada Al-Husain.
Al-Husain menyampaikan tawaran pilihan kepada Umar bin Sa’ad: membiarkan Al-Husain pulang; atau membiarkannya menemui Yazid; atau membiarkan Al-Husain pergi ke daerah perbatasan. Lalu Umar bin Sa’ad menyampaikan hal ini kepada Ubaidillah bin Ziyad.
Ternyata Ibnu Ziyad menolak tawaran ini dan bersikeras memaksa Al-Husain berbaiat kepada Yazid melalui dirinya. Hal itu ditolak oleh Al-Husain.
Maka terjadilah bentrokan yang menyebabkan Al-Husain terbunuh pada hari Asyura 10 Muharam 61 H (12 Oktober 680 M). Kepalanya dipenggal dan dikirimkan kepada Yazid oleh Ubaidillah. Dikirimkan pula istri-istri dan saudara-saudara perempuannya dan juga anak lelakinya, Ali bin Al-Husain (Ali Zainal Abidin).
Yazid menyesali Tindakan Ubaidillah bin Ziyad, “Tidaklah seberapa jika aku harus menahan gangguan, dan mempersilahkan Al-Husain datang ke rumahku serta menyerahkan keputusan hukum kepadanya sesuai yang ia inginkan, meskipun itu merugikanku dan membuatnya meremehkan kekuasaanku, demi menjaga hak Rasulullah dan sanak kerabatnya…” (Tarikh Ath-Thabari, 5: 506)
Pemberontakan Warga Madinah dan Pertempuran Al-Harrah
Latar Belakang
Pada tahun 63 H (682 M), warga Madinah memberontak terhadap Yazid bin Muawiyah. Tidak diketahui secara pasti apa yang melatarbelakangi pemberontakan ini.
Sebagian pihak ada yang berpendapat bahwa pemberontakan ini berkaitan dengan peristiwa Karbala dua tahun sebelumnya. Namun pendapat ini tidak dapat diterima karena para tokoh Bani Hasyim dan ahlu bait, seperti Abdullah bin Abbas, Muhammad bin Ali bin Abi Thalib (Ibnul Hanafiyah), dan Ali bin Al-husain sendiri tidak terlibat dan tidak menyukai pemberontakan tersebut. Kalangan sahabat pun, seperti Abdullah bin Umar juga menentang tindakan pemberontakan ini.
Disebutkan bahwa sebelum peristiwa pemberontakan tersebut Yazid bin Muawiyah baru saja mengganti walikota Madinah, Al-Walid bin Utbah, saudara sepupunya, dengan walikota yang baru yaitu Utsman bin Muhammad bin Abu Sufyan. Penggantian walikota ini dilakukan atas desakan pemuka Khawarij, Najdah bin Amir Al-Hanif. Yazid menurutinya demi menjaga suasana kondusif.
Utsman bin Muhammad bin Abu Sufyan berupaya memperlakukan warga Madinah dengan baik. Ia mengirim sejumlah orang Madinah kepada Khalifah Yazid di Damaskus, diantaranya Abdullah bin Hanzhalah bersama delapan putranya: Al-Munzhir bin Az-Zubair bin Al-Awwam, dan pemuka Madinah lainnya. Yazid memuliakan mereka dan memberikan hadiah uang kepada Abdullah bin Hanzhalah 100 ribu dirham; serta 10 ribu dirham kepada masing-masing putranya; juga 100 ribu dirham kepada Al-Mundzir bin Az-Zubair (lihat: Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah, 8/216).
Namun, belum lagi mereka pulang ke Madinah, mereka sudah mengumumkan pembangkangan terhadap Yazid dengan alasan: “Yazid minum khamar. Alat musik dimainkan untuknya. Ia juga meninggalkan shalat dan melanggar hukum Al-Qur’an.” (lihat: Tarikh Al-Khalifah hal. 237 dan Al-Bidayah wa An-Nihayah, 8/233).
Mengajak Muhammad bin Ali bin Abi Thalib
Mereka kemudian mengajak tokoh yang dikenal tidak menyukai Yazid, untuk bergabung bersama mereka melakukan pembangkangan, yaitu Muhammad bin Ali bin Abi Thalib (Muhammad Ibnul Hanafiyah). Namun, Muhammad Ibnul Hanafiyah ternyata menolaknya. Ia berkata, “Menurutku apa yang kalian tuduhkan itu tidak dilakukan Yazid. Aku pernah tinggal di kediamannya. Aku melihat sendiri Yazid rutin mendirikan shalat; gemar berderma; bertanya tentang masalah fikih; dan melazimkan amal sesuai sunnah.”
“Ia sengaja berbuat demikian karena ada engkau”, bantah mereka.
Ibnul Hanafiyah menukas, “Siapakah aku ini sampai-sampai ia takut terhadapku atau berharap dariku, lantas perlu pura-pura khusyu’ di hadapanku? Lagipula bisakah kalian memperlihatkan bukti kepadaku bahwa Yazid minum khamar? Jika kalian dapoat memperlihatkannya, berarti kalian teman minumnya. Jika kalian tidak dapat memoperlihatkannya maka kalian tidak boleh memberikan kesaksian tentang hal yang kalian tidak ketahui.”
“Bagi kami tuduhan itu benar. Walaupun kami belum melihatnya sendiri”, tandas mereka.
Ibnul Hanafiyah menjawab, “Allah menolak saksi macam itu. Aku tidak mau terlibat dalam urusan kalian.”
“Barangkali engkau hanya senang jika engkau menjadi pemimpin kami. Oleh karena itu, kami menguasakan urusan kami kepadamu.” tawar mereka.
Ibnul Hanafiyah menukas, “Aku tidak menghalalkan perang berdasarkan apa yang kalian inginkan, baik sebagai pengikut maupun sebagai pemimpin.”
“Dahulu kami berperang bersama ayahmu (Ali bin Abi Thalib)”, debat mereka.
Ibnul Hanafiyah menjawab, “Hadirkanlah kepadaku orang seperti yang dahulu diperangi ayahku, barulah aku mau memeranginya.”
“kalau begitu, perintahkanlah kedua putramu, Abul Qasim dan Al-Qasim supaya bertempur bersama kami”, tawar mereka.
Ibnul hanafiyah menolak, “Jika mereka berdua kuperintahkan, maka sama saja aku ikut berperang.”
“Kalau begitu, ikutkah bersama kami untuk mendorong masyarakat berperang (melawan Yazid)”, desak mereka.
Ibnul Hanafiyah berucap, “Subhanallah! Bagaimana bisa aku menyuruh masyarakat agar melakukan hal yang tidak aku lakukan dan tidak kusenangi! Jika demikian, berarti aku tidak memberikan nasihat karena Allah kepada hamba-Nya.”
“Kalau begitu, kami tidak menyukai engkau!” ancam mereka.
Ibnul hanafiyah menjawab, “Kalau begitu aku akan menyuruh masyarakat agar bertakwa pada Allah, supaya mereka tidak mencarian keridhoan makhluk dengan cara bermaksiat terhadap Sang Khalik.”
Akhirnya, Ibnul Hanafiyah pergi meninggalkan Madinah menuju Makkah (lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 8/233).
Abdullah bin Umar Menasehati Umat
Kaum pemberontak Madinah mengangkat dua orang pemimpin: Abdullah bin Hanzhalah sebagai pemimpin kaum Anshar, dan Abdullah bin Muthi’ Al-Adawi sebagai pemimpin kaum Quraisy.
Melihat hal itu, Abdullah bin Umar kemudian mendatangi Abdullah bin Muthi’ Al-Adawi, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits berikut.
جَاءَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُطِيعٍ حِينَ كَانَ مِنْ أَمْرِ الْحَرَّةِ مَا كَانَ زَمَنَ يَزِيدَ بْنِ مُعَاوِيَةَ فَقَالَ اطْرَحُوا لِأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ وِسَادَةً فَقَالَ إِنِّي لَمْ آتِكَ لِأَجْلِسَ أَتَيْتُكَ لِأُحَدِّثَكَ حَدِيثًا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُهُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Abdullah bin Umar pernah datang kepada Abdullah bin Muthi’ ketika ia menjabat sebagai pemimpin Harrah di zaman kekhalifahan Yazid bin Mu’awiyah. Abdullah bin Muthi’ berkata, ‘Berilah Abu Abdurrahman (Abdullah bin Umar) bantal.’ Maka Abu Abdurrahman berkata, “Saya datang kepadamu tidak untuk duduk, saya datang kepadamu untuk menceritakan kepadamu suatu hadis yang pernah saya dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Barangsiapa melepas tangannya dari ketaatan, maka ia akan menemui Allah di hari Kiamat dalam keadaan tidak memiliki hujjah, dan barang siapa mati dalam keadaan tidak berbaiat, maka ia mati seperti mati jahiliyyah.“ (HR. Muslim)
Tidak hanya kepada para pemimpin pemberontak, Abdullah bin Umar pun mengingatkan kaum kerabatnya agar tidak terlibat dalam pemberontakan tersebut. Hal ini disebutkan dalam riwayat berikut,
لَمَّا خَلَعَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ يَزِيدَ بْنَ مُعَاوِيَةَ جَمَعَ ابْنُ عُمَرَ حَشَمَهُ وَوَلَدَهُ فَقَالَ إِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ يُنْصَبُ لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَإِنَّا قَدْ بَايَعْنَا هَذَا الرَّجُلَ عَلَى بَيْعِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنِّي لَا أَعْلَمُ غَدْرًا أَعْظَمَ مِنْ أَنْ يُبَايَعَ رَجُلٌ عَلَى بَيْعِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُنْصَبُ لَهُ الْقِتَالُ وَإِنِّي لَا أَعْلَمُ أَحَدًا مِنْكُمْ خَلَعَهُ وَلَا بَايَعَ فِي هَذَا الْأَمْرِ إِلَّا كَانَتْ الْفَيْصَلَ بَيْنِي وَبَيْنَهُ
Dikala Penduduk Madinah mencabut kepatuhan dari Yazid bin Mu’awiyah, Ibnu Umar mengumpulkan kerabat dan anak-anaknya lantas mengatakan: “Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda; ‘Setiap pengkhianat akan ditancapkan sebuah bendera baginya pada hari kiamat.’ Kita telah membaiat laki-laki ini (Yazid) dengan pembaiatan Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak tahu ada pengkhianatan yang lebih besar daripada apabila orang membaiat seseorang dengan pembaiatan Allah dan Rasul-Nya, lantas ia malah memeranginya. Aku juga tidak tahu ada seorang pun dari kalian yang mencabut baiatnya, kecuali itu menjadi dinding pemisah antara aku dan dirinya.” (HR. Bukhari)
Yazid Mengutus An-Nu’man bin Basyir
Yazid berharap dapat meredam pergolakan warga Madinah dengan cara bijak. Ia mengutus An-Nu’man bin Basyir menemui kaum pembangkang dan mengajak mereka agar kembali taat kepada khalifah, bersatu dan tidak menyulut perpecahan. Namun, mereka menolaknya. Mereka malah mengusir walikota Madinah beserta seluruh keluargan Bani Umayyah dari Madinah.
Maka, Yazid mengirimkan pasukan besar yang dipimpin Muslim bin Uqbah. Sebelum pasukan berangkat, Yazid berpesan kepada sang Jenderal: “Ajaklah mereka sebanyak tiga kali. Barangkali mereka mau menerimanya. Namun, jika mereka tidak mau maka perangilah mereka.” (Tarikh At-Thabari, 5/484)
Kaum perlawanan di Madinah kemudian melakukan aksi merusak sumur atau sumber-sumber air yang ada antara Madinah dan Syam agar pasukan Yazid kehausan. Mereka pun membuat parit guna menghalangi laju pasukan yang dikirim Yazid. Ternyata, turunlah hujan lebat, sehingga pasukan Syam tidak perlu menimba air dari sumur sampai mereka tiba di Madinah (lihat: Ibnu Katsir, Al-Biyah wan Nihayah, 8/222).
Muslim bin Uqbah menghimbau para pemberontak sebanyak tiga kali. Namun, mereka tidak menerimanya. Maka meletuslah peperangan antara pasukan khalifah dengan kaum pemberontak Madinah. Pertempuran ini dikenal dengan pertempuran Al-Harrah. Abdullah bin Hanzhalah, pemimpin pemberontakan, dan para pemuka kelompoknya tewas terbunuh. Peristiwa ini terjadi pada 27 Dzulhijjah 63 H / 29 Agustus 683 M (lihat: Tarikh At-Thabari, 5/487).
Tindakan Melampaui Batas Pihak Khalifah
Muslim bin Uqbah mengeluarkan perintah ibahatul Madinah (memperbolehkan pasukannya melakukan apa saja di Madinah) selama tiga hari. Ini adalah kesalahan besar dan tindakan melampaui batas karena melanggar kesucian kota Nabi.
Selain peristiwa terbunuhnya cucu Rasulullah di Karbala, ibahatul Madinah ini menjadi noda hitam dalam catatan sejarah Khalifah Yazid, bahkan sejarah Bani Umayyah secara umum.
Ekspedisi Militer Kedua Uqbah bin Nafi’
Pada masa kekhalifahan Muawiyah, Uqbah bin Nafi berjasa menaklukkan kawasan Al-Maghrib (Tunisia, Aljazair, dan Maroko). Setelah itu, ia dicopot oleh Muawiyah dan digantikan oleh Abul Muhajir, ia dijanjikan akan diangkat kembali menjadi pemimpin wilayah. Janji ini baru terealisasi kembali pada masa Yazid bin Muawiyah (60 – 64 H)
Uqbah melakukan berbagai invasi ke Bejaia, Carthage, Monastir, Az-Zab, Tiaret (Aljazair), Tangier (Maroko), dan Lembah Sous (Maroko). Ringkasnya ia berhasil mengalahkan wilayah-wilayah konsentrasi pasukan Romawi dan Berber.
Uqbah bin Nafi gugur di Tahudzah, ia dijebak dan diserang oleh Kusailah (pemimpin bangsa Berber) yang membawa 50.000 orang pasukan.
Peristiwa ini menjadi malapetaka bagi kaum muslimin, mereka mundur dari Kariouan dan tidak mau mengikuti seruan Zuhair bin Qais untuk berjihad. Zuhair akhirnya mundur ke Barqah (Libya) guna menjaga perbatasan sampai era Khalifah Abdul Malik bin Marwan.
Penduduk Ifriqiyyah bergabung dengan Kusailah, dan sisa-sisa kaum muslimin meminta jaminan keamanan kepadanya. Sirnalah hasil kerja keras kaum muslimin sejak ekspedisi pertama oleh Amr bin Ash. Namun kejadian ini menjadi cambuk bagi Bani Umayyah untuk melanjutkan kembali ekspansi.
Wafatnya Yazid bin Muawiyah
Yazid wafat di Hawarain, sebuah perkampungan di Homs, negeri Syam, pada tanggal 14 Rabiul Awwal 64 H / 12 Nopember 683 M, dalam usia 38 atau 39 tahun. Ia meninggalkan 12 orang putra dan 4 orang putri.
Yazid telah mengangkat Muawiyah putranya sebagai putra mahkota penggantinya. Ia pun dibaiat, tetapi tidak langsung menjalankan tugasnya sebagai khalifah, melainkan justru melepaskannya tanpa mengangkat seorang pun untuk menggantinya.
Akhirnya Bani Ummayah bersepakat membaiat Marwan bin Al-Hakam dalam konferensi Al-Jabiah pada awal Dzulqa’dah tahun 64 H / Juni 684 M.