Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, umumnya terkait erat oleh tirani kuasa antara yang kuat kepada yang lemah. Peristilahan ‘kelompok kuat’ bisa merujuk kepada jenis kelamin, kedudukan, kelebihan fisik, hingga sistem sosial.
Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Gunawan Budiyanto menyebut ragam kekerasan itu bisa dalam bentuk kekerasan seksual, perdagangan manusia, pelacuran terselubung, tenaga kerja di bawah umur dan lain sebagainya.
Dalam forum webinar bertajuk “Negara dan Peran Muhammadiyah dalam Upaya Perlindugnan Terhadap Perempuan dan Anak” oleh Pusat Studi Muhammadiyah UMY, Selasa (25/1), Gunawan mengapresiasi fokus negara yang kian besar terhadap penanganan isu tersebut.
Muhammadiyah sendiri menurut Gunawan telah memberikan porsi yang besar kepada kaum perempuan dan anak-anak untuk terhindar dari berbagai macam produk tirani kekuasaan di atas.
Misalnya pengajian perempuan Sopo Tresno pada 1914 yang kelak berubah menjadi organisasi ‘Aisyiyah, hingga peran kadernya Siti Mundjiyah pada Kongres Perempuan pertama di Solo tahun 1928.
Di samping perhatian terhadap perempuan, perhatian terhadap anak misalnya ditampilkan Muhammadiyah lewat pendirian TK ABA (‘Aisyiyah Busthanul Athfal) yang kini menjadi TK pertama dan tertua di Indonesia sejak 1919.
Muhammadiyah juga mendirikan pandu Hizbul Wathan untuk para remaja yang berdiri lebih awal tepatnya pada tahun 1918.
“Ini sebagai bukti bahwa Muhammadiyah memberikan porsi yang cukup kepada perempuan untuk memberdayakan dirinya. Artinya tidak menempatkan perempuan sebagai segala-galanya tapi pada tempat posisi yang strategis sesuai dengan kemampuannya sehingga mengapa ‘Aisyiyah berkembang sama hebatnya dengan Muhammadiyah,” ucap Gunawan.
Bukti kesetaraan perempuan dan laki-laki di Muhammadiyah menurutnya terlihat dalam berbagai dakwah Persyarikatan Muhammadiyah di tingkat daerah. Di tingkat itu, eksistensi dakwah Persyarikatan menurutnya justru banyak ditopang oleh peran perempuan ‘Aisyiyah.
Terkait isu perempuan dan anak, Muhammadiyah disebut Gunawan telah bergerak sejak tahun 1951 dengan menginisiasi berdirinya BKIA atau Balai Kesehatan Ibu dan Anak yang kelak menjadi cikal bakal bagi berdirinya rumah sakit ‘Aisyiyah.
Dari peran kebangsaan yang telah berjalan satu abad itu, Gunawan menilai komitmen Persyarikatan Muhammadiyah tetap sama dari awal berdiri hingga saat ini. Dirinya berharap isu terkait kekerasan perempuan dan anak kian mendapatkan perhatian pemerintah lewat penyempurnaan pasal-pasal Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
“Muhammadiyah tetap konsen mencegah kemunkaran dalam bentuk tindak-tindak asusila. Kekerasan seksual pada perempuan dan anak hanyalah bagian kecil dari konsen Muhammadiyah untuk memberantas tindakan-tindakan asusila. Muhammadiyah selalu mencoba tidak memberikan toleransi pada berbagai penyimpangan perilaku walaupun itu dilakukan tanpa paksaan atau suka sama suka,” pungkasnya. (afn)