Antum sebagai nukhbah qiyadiyah (kader kepemimpinan) memiliki kewajiban-kewajiban sebagai berikut:
Pertama, hifzhul jama’ah, menjaga jama’ah; mempertahankan persatuan dan kesatuan jama’ah. Dari mulai basisnya: wihdatul aqidah (kesatuan aqidah), wihdatul fikrah (kesatuan pemikiran), wihdatul minhaj (kesatuan metode), wihdatul harakah (kesatuan gerakan), wihdatul ghayah (kesatuan tujuan), wihdatul jama’ah (kesatuan jama’ah), dan wihdatul qiyadah (kesatuan pemimpin).
Kedua, iqamatud dakwah, menegakkan dakwah. Kalimatnya bukan nasyrud dakwah, tapi iqamatud dakwah. Karena kita sudah dalam fase bermusyarakah, maka bukan lagi sekedar menyebarkan dakwah atau nasyrul fikrah. Bukan saja menjaga eksistensi dakwah, melainkan juga mengaktualisasikan dakwah dalam kehidupan masyarakat dan mengaktualisasikan Islam dalam kehidupan masyarakat. Sebagaimana iqamatush shalah, nilai-nilai shalat bukan hanya ada di masjid, melainkan juga harus ada di pasar dan di parlemen tanpa dibatasi ruang dan waktu.
Ketiga, ri’ayatud du’at, memelihara para da’i. Kita harus meri’ayah du’at kita yang berjuang di jabhah, yakni yang berada di Medan, di Irian dan dimana-mana. Mereka yang berada di daerah terpencil harus kita ri’ayah. Adalah tanggung jawab kita untuk meri’ayah dan mendukung ikhwan dan akhwat yang bergerak di lapangan, di mana-mana dengan kondisi yang penuh keterbatasan.
Dari awal sudah saya katakan bahwa kader ikhwan dan akhwat punya sifat iffah yang tinggi. Oleh karena itu para qiyadah yang harus lebih sensitif menangkap isyarat-isyarat dari senyumannya. Senyum itu bisa manis, bisa pahit atau asam. Kita harus melihat simaahum fi wujuuhihim. Ada tanda-tanda di wajahnya. Jadi kita yang harus pro aktif melakukan pendekatan-pendekatan dan men-cek ulang. Kalau memang sudah mampu semua, jazakumullahu khairan katsira, insya Allah, artinya yang dhuafa sudah menjadi aqwiya. Tapi jangan sampai yang terjadi adalah kebalikannya, yakni lebih karena tidak mampu mendeteksinya. Naudzubillahi min dzalik. Tanggung jawab para qiyadah dalah membantu mereka.
Saya meminta kepada antum semua, karena jangkauan kita sudah luas, seluas tanah air, maka hendaknya semua mempunyai hassasiyah (sensitifitas) yang tinggi untuk menangkap isyarat ikhwan-akhwat yang punya iffah yang tinggi itu.
Keempat, nush-hul ummah, menasehati ummat. Umat ini perlu dinasehati dengan menggulirkan amar ma’ruf nahi munkar. Sehingga dengan amar ma’ruf masyarakat akan tetap dinamis, dan dengan nahyu munkar akan terjadi stabilitas. Jadi gerakan dakwah ini harus menjadi dinamisator dan stabilisator di tengah-tengah masyarakat. Kita membutuhkan masyarakat yang terus bergerak dinamis membangun dirinya, bangsanya, umatnya, negaranya, bahkan membangun kemanusiaan. Shinaa’atul hadharah wa ustadziyatul ‘alam, membangun peradaban dan menjadi soko guru bagi dunia.
Jangan sampai kita menjadi umat yang jamidah atau umat yang jumud. Kalau umat jumud, statis, tidak bergerak, akan yata-asam, terjadi pembusukan potensi. Kalau orang kurang gerak misalnya, maka yang biasanya pertama membusuk adalah mulutnya, kemudian lama-lama sikutnya menerjang sana-sini. Saya sering memberikan contoh bagaimana air yang mengalir dari gunung derasnya begitu jernih diminum setiap hari. Kenapa? Sebab gerak dan proses membuat polutan-polutan mengendap ke bawah. Lihat lautan deburan ombaknya yang luar biasa, walaupun seluruh tumpahan polutan manusia itu di lautan, lautan tidak pernah membusuk karena gerak arus dan ombaknya yang menyebabkan polutan-polutan mengendap dan ternetralisir bahkan menjadi makana-makanan ikan laut. Oleh karena itu penting menjadikan bagaimana agar bangsa ini menjadi bangsa yang dinamis. Umat ini menjadi umat yang dinamis dan bahkan kehidupan kemanusiaan juga turut dinamis.
Hal yang kedua, menjadi stabilisator. Kenapa kita membutuhkan stabilitas? Sebab dakwah itu: la’allahum ta’qiluun, la’allahum tatafakkarun, la’allahum tatadzakkarun. Tidak ada paksaan dan nilai-nilai dakwah akan dicerna oleh akal, pemikiran, dzakirah dan nilai-nilai. Bila kita berada dalam keadaan panik, kacau, terprovokasi, tawuran terjadi di sana-sini dan komplikasi terjadi disana-sini, maka efektifitas dan efisiensi dakwah juga akan menjadi berkurang, karena orang panik susah mencerna, susah menggunakan akal dan pemikirannya. Jadi sekali lagi, kita harus melakukan nush-hul ummah agar umat menjadi dinamis dan stabil.
Kelima, ishlahud daulah, perbaikan negara. Hal ini selalu dimulai dengan langkah awal berupa musyarakah (partisipasi politik), lalu masuk ke ishlahul hukumah (perbaikan pemerintahan), dari hukumah yang baik maka daulah ini akan menjadi baik.
Saya pernah bilang ke SBY, “Pak Bambang, saya tidak akan pernah meminta uang, tidak minta jabatan. Harapan saya dari dulu cuma satu…”.
“Apa Ustadz?”
“Saya ingin punya presiden yang baik”.
“Ya Ustadz, doakan saja”.
Sebab kalau presidennya baik, maka bangsa ini akan menjadi baik. Dan saya memang tidak minta apa pun, malah saya datang ke SBY untuk memberi nasehat, baik diminta ataupun tidak. [ ]