Kemenangan dan kekalahan hanyalah variabel yang menjalankan fungsi bernama seleksi. Dalam putaran itulah Allah memisahkan hamba-Nya yang beriman dan munafik. Kekalahan ibarat perasan untuk memisahkan air gula dan serabut tebu. Itu salah satu pelajaran penting dari Perang Uhud.
Meski para ulama masih memperdebatkan kekalahan umat Islam di medan Uhud, namun jika dilihat dari ‘skor pertandingan’ itu, korban di kalangan umat Islam jauh lebih banyak. Menurut Ibnu Hisyam jumlah yang terbunuh dari kaum Muslimin pada perang Uhud mencapai 70 orang. Hal ini sesuai dengan riwayat Bukhari dan Tirmidzi dari Ubay bin Ka’ab. Adapun jumlah yang gugur dari kaum musyrikin sebanyak dua puluh dua orang.[1]
Kekalahan itu benar-benar telak. Yang membuat dada kaum kaum Muslimin amat menyesak adalah lantaran kekalahan itu tak perlu dianalisa oleh kalangan ilmuan. Kekalahan itu benar-benar nyata akibat ‘pembangkangan’ atas nasihat Nabi saw. Beliau menginstruksikan kepada 50 pasukan panah pimpinan Abdullah bin Jubair agar tetap berada di lereng bukit Rumat apa pun yang terjadi: kalah atau menang. Namun ketika kemenangan itu hampir berada di depan mata, mereka lalai. Justru yang melalaikan mereka adalah tergiur harta rampasan perang yang sudah diingatkan Allah usai Perang Badar sebelumnya.
Bagi kaum Muslimin, kekalahan itu ibarat obat. Ia ibarat jamu. Pahit memang, tapi mengandung khasiat ampuh yang menyehatkan. Pelajaran itu tak hanya bagi para sahabat Rasulullah saw, tapi juga kaum Muslimin saat ini.
Di antara pelajaran berharga itu adalah:
Pentingnya Musyawarah
Dalam Perang Uhud ini, tampak jelas Rasulullah saw mengedepankan prinsip syura. Begitu jelas keberpihakan Rasulullah saw kepada hasil musyawarah. Walaupun pendapat Rasulullah saw pribadi cenderung menunggu musuh di Madinah, tapi keputusan awal jualah yang diambil, yaitu menyongsong musuh di luar Madinah.
Ini menunjukkan bahwa suatu masalah yang sudah diputuskan secara syura, tak boleh digugat lagi. Apalagi kalau hal tersebut berkaitan dengan masalah yang menuntut ketegasan dan kepastian sikap. Mereka yang semula tidak setuju, seharusnya mengikuti hasil keputusan syura.
Dalam konteks kekinian, pelajaran ini menjadi penting. Hasil keputusan rapat, tak boleh hanya tertulis di atas kertas dan menjadi dokumen yang akan dievaluasi pada rapat-rapat yang akan datang. Apalagi kalau keputusan itu berkaitan erat dengan hajat orang banyak yang menuntut pelaksanaan sesegera mungkin.
Bahaya Kaum Munafik
Dalam peperangan ini, orang-orang munafik menunjukkan belangnya. Hal ini juga menjadi pelajaran penting bagi umat Islam. Pembelotan Abdullah bin Ubay dan tiga ratus orang teman-temannya yang merupakan bukti kemunafikan menjadi nyata bagi para sahabat, yang sebelumnya tidak kelihatan. Kekalahan kaum Muslimin di akhir perang, juga membantu memperjelas identitas orang-orang munafik.
Namun, kemunafikan selalu saja ada dalam setiap zaman. Setiap masa selalu muncul manusia-manusia “bermuka ganda”. Karenanya, kekalahan kadang tak hanya berfungsi untuk menguji keimanan, tapi juga membersihkannya dari sifat-sifat nifaq. Kekalahan menjadikan jati diri orang-orang munafik tampak jelas.
Berbagai kekalahan yang saat ini menimpa umat Islam, sesungguhnya menyimpan hikmah tersendiri yang kadang tak disadari. Tragedi demi tragedi melanda kaum Muslimin. Di Afghan umat Islam diburu dan dituduh sebagai pelaku kejahatan. Di Palestina, mereka diusir dari tanah air sendiri. Di Chechnya kaum Muslimin dianggap pemberontak yang harus dibasmi.
Namun di balik segala kekalahan itu, tersimpan hikmah yang sangat bermanfaat. Umat Islam jadi sadar, mereka punya musuh yang harus dilawan. Semarak kajian keislaman di Dunia Islam, tak bisa dilepaskan begitu saja korelasinya dengan tragedi yang dialami kaum Muslimin di berbagai belahan bumi.
Tak Boleh Minta Bantuan dari Orang Kafir
Dalam perang ini Rasulullah saw tidak meminta bantuan dari orang-orang kafir. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi mengutip sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Saad, “Kami tidak akan pernah meminta bantuan dari orang-orang musyrik untuk menghadapi orang-orang musyrik.”
Walaupun secara fisik, jumlah kaum Muslimin saat itu masih sedikit, tapi Rasulullah saw tidak mau menerima bantuan kaum musyrikin. Ini menunjukkan, dalam menghadapi orang-orang musyrik, kaum Muslimin tak boleh bekerja sama dengan mereka. Sebab, hal ini akan berdampak pada masa depan kaum Muslimin . Akibatnya akan berbalik kepada kaum Muslimin sendiri. Jika kemenangan bisa diraih, ia bukan hasil murni umat Islam. Dalam Islam antara kebatilan dan kebenaran tak boleh dicampur. Allah berfirman, “
Namun, sebagian ulama, di antaranya Imam Syafii, membolehkan meminta bantuan dari orang kafir, dengan syarat orang kafir itu mempunyai pandangan yang bagus dan jujur.[2]
Kecanggihan Strategi Perang Rasulullah saw
Tak bisa dipungkiri, strategi perang yang dipraktikkan Rasulullah saw dalam Perang Uhud sungguh luar biasa. Penempatan pasukan panah dan pengaturan pasukan sedemikian rupa, benar-benar merupakan benteng pertahanan sekaligus strategi canggih untuk mengalahkan lawan. Kepiawaian Khalid bin Walid, Abu Sufyan bin Harb dan para tokoh Quraisy menemukan batunya. Jumlah mereka yang tiga kali lebih banyak dari jumlah kaum Muslimin , tak bisa berbuat banyak. Kalau bukan karena kelalaian pasukan panah yang melalaikan instruksi Rasulullah saw, hampir dapat dipastikan kemenangan akan berada di pihak kaum Muslimin .
Kecanggihan Rasulullah saw mengatur strategi tak hanya nyata dalam Perang Uhud. Sebelumnya, ketika hijrah ke Madinah dan dikejar oleh kafir Quraisy, Rasulullah saw juga menunjukkan kematangan strateginya. Beliau tahu musuh akan mengejarnya ke arah Madinah. Karenanya, bersama Abu Bakar, Rasulullah saw berbalik ke arah selatan yang berlawanan dengan arah Madinah, dan selanjutnya bersembunyi di Gua Tsur.
Kecanggihan mengatur strategi inilah yang mesti diteladani kaum Muslimin. Ibarat permainan asah otak, umat Islam harus berpikir tiga langkah ke depan, dan harus pandai-pandai membaca siasat lawan. Berbagai strategi yang dipraktikkan Rasulullah saw ini sangat tampak pada pasca Perang Uhud. Beliau berhasil mengembalikan wibawa kaum Muslimin yang kalah. Bahkan, ia mampu membuat pasif musuh-musuhnya dalam waktu yang bisa dia perhitungkan.
Kesalahan Kecil Berakibat Fatal
Jika kita perhatikan rentetan peristiwa dalam Perang Uhud ini, kita dapat menarik sebuah kaidah “tingkat ketaatan kaum Muslimin terhadap al-Qur’an dan Sunnah berbanding lurus dengan tingkat kekalahan mereka”. Semakin tinggi tingkat kepatuhan mereka, semakin rendah tingkat kekalahannya. Semakin rendah tingkat kepatuhan mereka, semakin tinggi risiko kekalahannya.
Rasulullah saw sangat mewanti-wanti agar kaum Muslimin tidak melakukan kesalahan. Sebab, dampaknya tak hanya melanda sang pelaku tapi juga orang lain. Kesalahan yang dilakukan pasukan panah telah menimbulkan bencana tragis yang menimpa banyak orang, bahkan ikut menimpa Rasulullah saw. Ini adalah hal yang sangat alami.
Bandingkan dengan keadaan kaum Muslimin saat ini. Manakah yang lebih besar, kesalahan yang dilakukan pasukan pemanah dibandingkan kesalahan yang dilakukan umat Islam pada hari ini dalam berbagai aspek. Allah Maha Penyayang yang masih menjaga kita di tengah menggunungnya kesalahan yang kita lakukan.[3]
Hikmah bagi yang Kalah:
Berbeda dengan ayat-ayat Qur’an yang turun setelah Perang Badar yang berisi banyak kritikan, firman Allah yang diwahyukan setelah Perang Uhud justru bersifat hiburan dan sanjungan kepada kaum Muslimin. Begitulah semestinya kita memperlakukan kaum yang kalah. Allah SWT punya cara tersendiri untuk mengajari hamba-Nya bagaimana menghadapi kekalahan. Maka, berbicaralah Allah dalam QS surah Ali Imran: 121-179. Berikut sebagian uraiannya:
Mengembalikan Rasionalitas Umat
Mengawali “komentar-Nya” tentang kekalahan kaum Muslimin pasca Perang Uhud ini, Allah SWT tidak mengungkit-ungkit peringatan yang pernah diturunkan sebelumnya. Allah mengenyampingkan semua kesalahan kaum Muslimin itu dan mengalihkan perhatian mereka kepada satu sudut: rasionalitas. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah[4] Karena itu berjalanlah kamu di permukaan bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul),” (QS Ali Imran: 137).
Dalam ayat ini Allah SWT ingin menghibur kaum Muslimin . Dia ingin mengingatkan tentang sunnatullah dalam peperangan, bahwa kalah dan menang adalah hal yang wajar. Bagi kaum Muslimin , kalah dan menang bukanlah tujuan. Sebab, kalau Allah berkehendak ia akan memberikan kemenangan kepada kaum yang inginkan dan menimpakan kekalahan kepada mereka yang Dia kehendaki. Dalam ayat lain Allah SWT berfirman, “Katakanlah, “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki,” (QS Ali Imran: 26).
Di sinilah letak kearifan Allah SWT dalam memahami kondisi hamba-Nya. Ketika dilanda kekalahan, manusia umumnya akan merasa galau, putus asa dan tidak mustahil menyalahkan teman atau mungkin dirinya sendiri. Bahkan, tak sedikit yang kehilangan akal sehat. Karenanya, yang pertama kali disentuh adalah rasionalitas mereka dengan menjelaskan bahwa kekalahan ini adalah hal yang sangat wajar dan telah menimpa umat-umat sebelumnya.
Karena itu, menghadapi berbagai keterpurukan dan kekalahan saat ini, bukan saatnya bagi kaum Muslimin untuk saling menyalahkan dan mencari-cari orang-orang yang bersalah. Kalau tidak, berbagai kekalahan yang dialami umat Islam di beberapa belahan bumi hanya akan membuat putus asa. Akan muncul anggapan, umat Islam akan selalu kalah dan tak berdaya menghadapi musuh. Sebaliknya, umat harus disadarkan bahwa segala yang terjadi atas kehendak Allah, dan apa pun keadaan umat Islam, mereka tetap lebih baik daripada musuhnya jika mereka beriman.
Lebih dari itu, dalam benak umat Islam hendaknya selalu ditanamkan bahwa mereka pasti akan menang. Kemenangan bukan tujuan, tapi sarana meraih ridha Allah.
Allah SWT juga memerintahkan kaum Muslimin untuk memperhatikan sekitarnya dan banyak belajar dari hukuman yang menimpa orang-orang yang mendustakan para rasul. Allah SWT sengaja menggunakan kata fanzhuruu kaifa kaana ‘aaqibatul mukadzdzibiin. Allah SWT tidak menggunakan kata fanzhuruu ‘aaqibatal mukadzdzibiin tetapi kaifa kaana untuk menunjukkan “proses akibat” yang menimpa pendustaan orang-orang terdahulu.
Selanjutnya Allah mengingatkan pada ayat berikutnya, “Al-Qur’an ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa,” (QS Ali Imran: 138).
Al-Qur’an adalah penjelas dan penerang (بيان للناس ) bagi manusia secara umum. Dalam penggalan ayat ini Allah menggunakan للناس (bagi manusia). Tapi lanjutan ayat Allah menggunakan هدى وموعظة للمتقين (petunjuk dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa).
Maksudnya, al-Qur’an merupakan penjelas dan penerang bagi manusia semesta, namun menjadi petunjuk dan pelajaran hanya bagi orang-orang bertakwa.
Memulihkan Kepercayaan Diri Kaum Muslimin
Setelah mengembalikan rasionalitas kaum Muslimin, Allah memulihkan kepercayaan diri mereka dengan firman-Nya: “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman,” (QS Ali Imran:139).
Pada ayat ini Allah ingin mengembalikan kepercayaan diri kaum Muslimin . Secara psikologi, di antara kemungkinan yang akan melanda orang-orang kalah adalah pesimisme. Apalagi kalau melihat kelemahan dirinya dan kebesaran kekuatan lawan. Karena itu, di antara hal yang harus segera dipulihkan bagi orang-orang kalah adalah rasa percaya diri. Bahwa bagaimana pun keadaan kaum Muslimin , baik kalah maupun menang, mereka tetap berada pada derajat yang paling tinggi, sebagai hasil dari keimanan mereka.
Jadi, bagi Allah, kalah dan menang dalam sebuah peperangan tidak penting. Yang penting adalah beriman atau tidak. Rasa percaya diri inilah yang menyebabkan Rasulullah saw dan kaum Muslimin tetap kukuh “menantang” lawan. Tanpa rasa percaya diri ini, tak mungkin Rasulullah saw menyongsong musuh kembali di Hamraul Asad dan menantang pasukan Quraisy. Tanpa rasa percaya diri ini juga tak mungkin berbagai gejolak yang muncul pasca Perang Uhud bisa dipadamkan.
Ketika umat Islam sedang dirundung kekalahan, kepercayaan diri menjadi sebuah keniscayaan untuk ditumbuhkan. Kekuatan dan keangkuhan musuh-musuh Islam ketika menginjak-injak hak asasi kaum Muslimin jangan sampai membuat kita patah semangat.
Dalam ayat ini juga Allah menjelaskan dua hal: pertama, memberikan semangat, kepercayaan diri, dan menghidupkan kembali gairah kaum Muslimin . Kedua, memberikan hiburan bahwa derajat mereka tetap lebih tinggi.[5]
Menurut Muhammad asy-Syaukani dalam tafsirnya Fathul Qadir, salah satu makna pernyataan ayat “Padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman,” menerangkan bahwa kaum Muslimin setelah Perang Uhud ini lebih hebat daripada mereka (musuh-musuh kaum Muslimin pada Perang Uhud) dan orang-orang selain mereka. Buktinya, setelah Perang Uhud, kaum Muslimin selalu menang.[6] Ini juga yang dimaksud dengan ungkapan Rasulullah saw setelah perang Khandaq, “Sekarang kitalah yang akan menyerang mereka, bukan mereka yang akan menyerang kita. Kitalah yang akan mendatangi mereka.”[7]
Bersambung pada tulisan berikutnya: Hikmah Ilahiyah bagi yang Kalah: Belajar dari Perang Uhud
Catatan Kaki:
[1] Ibnu Hisyam: II/122-129, Fathul Bari: VII/351
[2] Fiqhus Sirah, Muhammad Said Ramadhan al-Buthi 224.
[3] Fiqhus Sirah, Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, 227-228.
[4] Ibnu Katsir menyebutkan, hal ini (kekalahan) telah juga menimpa para pengikut para Nabi sebelumnya. Akibatnya bagi mereka, dan bergulir juga atas orang kafir, Tafsir Ibnu Katsir, II/409.
[5] Zaadul Maad, II/100
[6] Fathul Qadir, I/484
[7] HR Bukhari I:411, Kitab Maghazi II, 590