Kondisi sektor perikanan semakin berat. Harapan baru nelayan dan sektor perikanan mampu bangkit sebagai pengungkit ekonomi nasional terganjal oleh berbagai regulasi dan kondisi yang memberatkan nelayan dan pelaku usaha perikanan.
“Kontroversi PP 85, kenaikan PNBP, sistem penangkapan terukur membuat gaduh dan mandeknya sektor perikanan. Nampaknya KKP belum memahami psikologi serta denyut nadi nelayan,” papar Ketua DPP PKS Bidang Tani dan Nelayan, Riyono dalam keterangannya, Ahad (31/7/2022).
Sejak menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, Wahyu ST hanya fokus bagaimana meningkatkan pendapatan melalui berbagai aturan yang ujungnya menuai kontroversi dan akhirnya harus direvisi. Berbagai sikap nelayan dari penolakan dan ribut soal PP 85 th 2021 beserta turunannya dalam bentuk permen KP no 85 dan 86 tentang Harga Patokan ikan (HPI) dan PHP(pungutan hasil perikanan) membuktikan bahwa KKP tidak memiliki sense of crisis sekaligus gagal berkomunikasi dengan nelayan. “Tapi kenapa Presiden Jokowi menandatanginya?” tanya Riyono.
Setelah terbitnya PP 85 th 2021 yang ditindaklanjuti dengan PermenKP menjadikan suasana dialog serta komunikasi menjadi kaku. Di satu sisi KKP sudah pasang target 12 Triliun untuk PNBP sampai 2024 dengan harapan di 2022 bisa naik menjadi 1 Triliun. Kondisi pandemi nampaknya belum menjadi pertimbangan serius KKP, angka di atas kertas yang disodorkan BPK soal potensi transaksi perikanan yang mencapai 215 T per tahun menjadi acuan target.
Kini penderitaan nelayan dan dunia perikanan bertambah dengan harga solar yang mencapai Rp 23.000. “Ada hampir 3000 kapal gak bisa melaut karena biaya BBM membengkak sampai 60% dari biasanya. Kenaikan BBM dan juga diiringi kenaikan perbekalan membuat sekarat nelayan,” lanjut Riyono
Kenaikan BBM ini berdampak sangat serius. Ada hampir 7000 kapal di atas 30 GT izin pusat yang terancam bangkrut akibat kenaikan harga solar ini.
“Visi poros maritim tidak mampu hadir pada saat nelayan susah, negara tidak hadir saat kondisi susah,” tutup Riyono.