Pertama, manusia dalam pandangan Islam adalah makhluk yang dimuliakan.
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آَدَمَ
Kami telah memuliakan manusia.[1]
Ia dijadikan sebagai khalifah di muka bumi untuk memakmurkannya,
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
Ingatlah ketika Tuhan berkata kepada malaikat, ”Aku akan menjadikan khalifah di muka bumi.”[2]
Karena manusia dimuliakan dan diangkat sebagai khalifah, Allah posisikan ia sebagai pimpinan bagi seluruh makhluk serta Dia tundukkan semua untuk melayaninya,
أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ
Tidakkah kalian melihat bahwa Allah telah menundukkkan untuk kalian apa yang terdapat di langit dan di bumi.[3]
وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ
Dia menundukkan untuk kalian apa yang terdapat di langit dan di bumi yang seluruhnya dari-Nya.[4]
Allah menganugerahkan kepada manusia sejumlah hak yang membantunya untuk menjaga kemuliaannya dan menunaikan perannya. Dia menyuruh manusia untuk memelihara hak tersebut sekaligus menjadikannya sebagai kewajiban utamanya. Yang paling pertama adalah kebebasan manusia dalam meyakini apa yang ia kehendaki. Islam sangat menjaga kebebasan akidah ini dengan menyuruh kaum muslimin berperang guna mempertahankannya serta guna melawan mereka yang mencederai agama.
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ
Perangilah mereka agar tidak timbul fitnah.[5]
Kedua, di antara hak manusia dalam Islam adalah menjaga akal, memeliharanya, serta mengeluarkan semua potensinya dalam mengkaji dan menelaah. Islam berupaya membangun rasionalitas ilmiah yang berlandaskan perenungan dan pengamatan terhadap cakrawala dan dirinya sendiri.
أَوَلَمْ يَنْظُرُوا فِي مَلَكُوتِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ
Apakah mereka tidak merenungkan kerajaan langit dan bumi serta apa saja yang Allah ciptakan.[6]
وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
Mereka merenungkan penciptaan langit dan bumi.[7]
Siapa yang berpendapat bahwa berpikir merupakan kewajiban Islam tidaklah keliru. Demikian Alquran menegaskan.
قُلْ إِنَّمَا أَعِظُكُمْ بِوَاحِدَةٍ أَنْ تَقُومُوا لِلَّهِ مَثْنَى وَفُرَادَى ثُمَّ تَتَفَكَّرُوا
Katakanlah, “Aku hendak mengingatkanmu satu hal saja; yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) secara berdua atau sendiri. Kemudian cobalah engkau berpikir.”[8]
Belasan kali Alquran menyatakan, ”Apakah kalian tidak berpikir.”
Ia juga memerintahkan untuk memperhatikan dan merenung seraya memotivasi untuk melakukan hal tersebut dalam banyak ayat. Misalnya dalam firman-Nya yang berbunyi,
قُلِ انْظُرُوا مَاذَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
Katakan, ”Perhatikanlah apa yang terdapat di langit dan di bumi.”[9]
أَفَلَا يَنْظُرُونَ
Apakah mereka tidak memperhatikan.[10]
أَفَلَمْ يَنْظُرُوا إِلَى السَّمَاءِ فَوْقَهُمْ كَيْفَ بَنَيْنَاهَا وَزَيَّنَّاهَا وَمَا لَهَا مِنْ فُرُوجٍ
Apakah mereka tidak memperhatikan langit di atas mereka bagaimana Kami membangun dan menghiasnya tanpa ada retak sedikitpun padanya.[11]
Islam mengingkari sikap taklid buta dan sikap jumud yang hanya berpegang pada warisan terdahulu atau pada apa yang diperintahkan oleh pimpinan dan para pembesar.
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آَبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آَبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
Apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab, “(Tidak), tetapi kami hanya mau mengikuti apa yang telah kami dapatkan dari nenek moyang kami.” Apakah mereka akan tetap mengikutinya walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun dan tidak mendapat petunjuk?!”[12]
وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا
Mereka berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah menaati para pemimpin dan pembesar kami. Mereka telah menyesatkan kami dari jalan (yang benar).”[13]
Selain itu, Islam menolak sikap mengikuti prasangka dalam kondisi yang di dalamnya dituntut adanya keyakinan.
وَمَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
Mereka tidak mempunyai pengetahuan apapun tentang itu. Mereka hanya mengikuti prasangka, padahal prasangka tersebut tidak bermanfaat sedikitpun terhadap kebenaran.[14]
Islam juga tidak membolehkan mengikuti hawa nafsu dan emosi yang menyesatkan dari kebenaran,
وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.[15]
Allah mengecam kaum musyrikin dengan firman-Nya,
إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ
Mereka hanya mengikuti prasangka dan hawa nafsu.[16]
Islam tidak menerima dakwaan atau pengakuan apapun jika tidak disertai bukti yang menguatkan kebenarannya.
قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Katakan, ”Berikanlah bukti kalian, jika kalian memang benar.”[17]
Apabila keberadaan bukti menjadi pegangan dalam rasionalitas berpikir, maka penyaksian menjadi pegangan dalam sesuatu yang konkret, ”apakah mereka menyaksikan penciptaan mereka,”[18] otentifikasi menjadi landasan dalam riwayat, ”Bawalah kepada-Ku kitab yang sebelum ini atau peninggalan dari pengetahuan (orang-orang dahulu), jika kamu adalah orang-orang yang benar,”[19] dan kebenaran wahyu menjadi pegangan dalam hal agama. Karena itu, Dia menantang mereka yang mengharamkan hal-hal baik yang Allah halalkan lewat firman-Nya,
نَبِّئُونِي بِعِلْمٍ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
”Terangkanlah kepadaku dengan berdasar pengetahuan jika kamu memang orang-orang yang benar.”[20]
Dia juga menantang orang-orang yang mengaku bahwa perbuatan syirik yang mereka lakukan terjadi atas kehendak Allah yang berarti berdasarkan ridha-Nya. Dia berkata kepada mereka,
قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَخْرُصُونَ
”Apakah kalian mempunyai sedikit pengetahuan sehingga dapat kalian sampaikan kepada kami? Kalian tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka. Dan kalian tidak lain hanyalah berdusta.”[21]
Ketiga, Islam mengajak kepada pengetahuan, mengajak untuk unggul di dalamnya, untuk memergunakan sarana terbarunya, serta mengikuti ketentuannya dalam segala bidang. Islam memandang proses berpikir sebagai bentuk ibadah serta upaya mencari ilmu yang dibutuhkan oleh umat sebagai kewajiban.
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim.[22]
Sementara, tidak mau menuntut ilmu merupakan bentuk kemungkaran dan kejahatan. Islam memandang bahwa unggul dalam lapangan teoritis dan terapan, serta peradaban dan perang merupakan kewajiban agama. Setiap sarana yang mengantarkan kepada terwujudnya kewajiban tersebut, maka penggunaannya juga menjadi wajib. Islam tidak melihat adanya kontradiksi antara akal yang jelas dan naql yang benar. Sebagaimana yang ditetapkan oleh ulama akal adalah landasan naql. Dengan akal keberadaan Allah, kenabian secara umum, dan kenabian Muhammad saw. secara khusus menjadi demikian tegas. Dalam peradaban kita tidak ada kontradiksi antara berbagai hakikat ilmu pengetahuan dan nash-nash Islam yang qath’i. Karena itu, tidak ada ruang bagi konflik di antara keduanya. Tidak pernah terjadi dalam sejarah adanya pertentangan antara ilmu dan agama sebagaimana hal itu pernah terjadi pada agama lain. Agama bagi kita merupakan ilmu. Dan ilmu bagi kita merupakan agama.
Sebagai implikasinya:
Islam bangga dengan warisan peninggalannya sekaligus menjadikannya sebagai petunjuk. Islam memisahkan antara level ilahi yang ma’shum dan baku—yang jumlahnya sedikit sebagai tempat pencarian petunjuk dan cahaya—dengan level insani yang selalu terbaharui—yang jumlahnya paling banyak. Iapun menjadi tempat mencari petunjuk dan rujukan. Ia merupakan menara yang memberi petunjuk; bukan ikatan penghalang. Islam terbuka bagi warisan ilmu dan pemikiran di seluruh dunia. Ia memburu hikmah yang keluar dari tempat manapun. Islam mengambil manfaat dari berbagai pengalaman umat baik di masa dulu maupun sekarang selama tidak bertentangan dengan akidah, syariah, dan nilai-nilainya. Ia mengambil apa yang terbaik darinya tanpa bersikap fanatik terhadap pendapat lama dan menyembah pemikiran baru. Islam tidak terputus dari masa lalu, tidak melepaskan diri dengan masa kini, serta tidak lalai terhadap masa depan.
Islam terbuka bagi pengalaman manusia dan ilmu pengetahuan yang dihasilkan dalam bidang teori, mekanisme, dan jaminan serta yang terkait dengan perlindungan hak-hak rakyat dan kemerdekaan mereka. Islam mengambilnya tanpa syarat apapun karena hikmah pada dasarnya merupakan barang mukmin yang hilang. Karena itu, di manapaun seorang mukmin menemukannya ia paling berhak atasnya.
Berbagai filsafat, sistem, dan pengalaman manusia yang diambil oleh kaum muslimin disyaratkan tidak boleh bertentangan dengan nash yang keberadaannya tidak diragukan dan petunjuknya jelas, serta tidak bertentangan dengan kaidah syariat yang permanen. Bahkan seorang muslim berupaya untuk menambahnya dengan spirit, nilai, dan hukum Islam sehingga membuatnya menjadi bagian dari tatanan Islam. Di samping itu, ia bisa memasukkan ke dalamnya berbagai perubahan dan penambahan yang membuatnya terlepas dari warna aslinya untuk kemudian diberi warna Islam.
Keempat, di antara hak manusia dalam Islam adalah menjaga kesehatan jasmani, jiwa, dan akal.
فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
Tubuhmu memiliki hak yang harus kau penuhi.[23]
Di antara hak tubuh yang harus dipenuhi pemiliknya adalah memberinya makan ketika lapar, memberinya kesempatan beristirahat ketika lelah, membersihkannya ketika kotor, menguatkannya ketika lemah, serta mengobatinya ketika sakit. Sebab, Allah tidak menurunkan penyakit kecuali juga menurunkan obatnya. Ada yang mengetahui dan ada pula yang tidak mengetahui.
Islam juga sangat memperhatikan pendidikan jasmani dan menjadikannya sebagai sarana; bukan tujuan. Ia adalah pendidikan yang membiasakan tubuh berada dalam kondisi lentur, tegap, dan kuat. Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih Allah cintai daripada mukmin yang lemah.
Islam juga menuntut adanya nutrisi yang cukup dan sesuai untuk setiap manusia, terutama orang miskin yang anjuran untuk memberinya makan dipandang sebagai kewajiban sementara mengabaikannya termasuk tanda mendustakan agama.
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ . فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ . وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ
Tahukah engkau orang yang mendustakan agama. Yaitu orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan untuk memberi makan orang miskin.[24]
Lewat aturan syariat dan pengarahannya, Islam memerangi perbuatan zina dan penyimpangan seksual serta sarana menuju kepada keduanya. Ia juga melawan segala yang memabukkan, narkoba, rokok, serta semua racun yang berbahaya bagi tubuh, jiwa, dan akal. Pasalnya, tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain. Tidak boleh seorang muslim menimpakan bahaya pada dirinya baik secara langsung maupun tidak langsung.
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Janganlah kalian membunuh diri kalian. Allah Maha Penyayang kepada kalian.[25]
Seorang muslim juga tidak boleh membahayakan dirinya dengan lapar berkepanjangan secara sengaja atau dengan kenyang yang berlebihan. Sebab, mengkonsumsi hal yang mubah dalam syariat dibatasi oleh sikap tidak berlebihan.
كُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Makanlah, minumlah, dan janganlah berlebihan. Sebab, Dia tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.[26]
Kelima, Islam lewat pesan-pesan agamanya, bimbingan moralnya, dan aturan konstitusinya berupaya menjaga lingkungan dengan segala unsurnya. Islam melarang tindakan merusak lingkungan dengan segala bentuk, baik berupa penghancuran maupun penelantaran. Semua itu dianggap sebagai tindakan merusak di muka bumi yang dilarang oleh risalah langit dan ditegaskan oleh Alquran,
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا
Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya.[27]
وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ
Allah tidak menyukai kerusakan.[28]
Pemeliharaan lingkungan dalam Islam tegak di atas beberapa hal:
Pertama, reboisasi dan penghijauan. Dalam hal ini, cukup sebagai dalilnya hadis yang berbunyi,
إِنْ قَامَتْ السَّاعَةُ وَبِيَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا يَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَفْعَلْ
”Jika kiamat akan terjadi, sementara di tangan salah seorang di antara kalian terdapat benih tanaman, jika sebelum kiamat itu terjadi ia masih mampu menanamnya, hendaknya hal itu dilakukan.”[29]
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيمَةٌ إِلَّا كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ
”Tidaklah seorang muslim menanam benih atau tanaman lalu ada burung, manusia, atau binatang yang memakan darinya, melainkan dengan itu ia mendapatkan pahala sedekah.”[30]
Kedua, pemakmuran dan pengembangan. Allah befirman,
هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا
”Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu sebagai pemakmurnya.”[31]
Memakmurkan bumi termasuk salah satu tujuan penciptaan sebagaimana ibadah.
Ketiga, kebersihan. Allah befirman,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
”Allah mencintai orang-orang yang suka bertobat dan mencintai orang-orang yang membersihkan diri.”[32]
Karena itu kebersihan badan dan jiwa menjadi syarat sah salat. Islam juga berpesan untuk memerhatikan kebersihan tubuh, rumah, jalan, masjid, dan yang lainnya.
Keempat, memelihara berbagai sumber kekayaan yang merupakan karunia Allah atas manusia. Ia wajib dijaga dan disyukuri. Ketika dijaga dengan baik iapun layak untuk ditambah.
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ
“Jika kalian bersyukur, tentu akan Kami tambah untuk kalian.”[33]
Sumber kekayaan di sini mencakup kekayaan hewani, kekayaan nabati, kekayaan air dan laut, kekayaan tambang, dan berbagai kekayaan lainnya. Semua sumber kekayaan tersebut tidak boleh ditelantarkan, diabaikan, disia-siakan, atau dirusak. Sebab hal itu berarti merusak harta seluruh umat dan hak mereka atasnya. Ada sejumlah hadis yang isinya mengancam orang yang membunuh burung dengan sia-sia, yang menebang pohon, yang membiarkan kulit bangkai tanpa disamak dan dimanfaatkan, yang membiarkan makanan jatuh ke tanah tanpa ada yang mengambilnya.
Kelima, berbuat baik terhadap lingkungan. Allah mewajibkan berbuat baik dalam segala hal. Ia memerintahkan berbuat adil dan berbuat ihsan. Berbuat baik kepada lingkungan mencakup berbuat baik kepada seluruh yang terdapat di dalamnya. Seperti berbuat baik kepada manusia, berbuat baik kepada binatang, berbuat baik kepada tumbuhan, berbuat baik kepada bumi dan tanahnya, berbuat baik kepada air yang menjadi sumber kehidupan segala makhluk, berbuat baik terhadap udara yang dihirup manusia dan semua makhluk. Siapa yang berbuat baik kepada itu semua maka hampir dapat dipastikan ia termasuk golongan yang berbuat baik yang Allah cintai sebagaimana bunyi firman-Nya,
وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Berbuat baiklah. Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”[34]
Keenam, menjaga lingkungan dari tindakan pengrusakan; entah pengrusakan itu karena marah dan murka, perbuatan sia-sia, atau karena tidak peduli.
مَنْ قَطَعَ سِدْرَةً صَوَّبَ اللَّهُ رَأْسَهُ فِي النَّارِ
“Siapa yang memotong pohon (dengan sia-sia) Allah benamkan kepalanya di neraka.”[35]
Ketujuh, menjaga keseimbangan lingkungan. Allah Swt. menciptakan segala sesuatu di alam ini dengan ukuran tertentu. Dia menetapkan ukurannya dengan cermat. Jadi, semuanya berdasarkan ukuran dan neraca. Allah befirman,
وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ وَمَا نُنَزِّلُهُ إِلَّا بِقَدَرٍ مَعْلُومٍ
“Tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya. Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu.[36]
Terdapat neraca keseimbangan alam yang diketahui oleh mereka yang berilmu. Ia tidak boleh timpang. Ia hanya timpang akibat tindakan, kelalaian, dan kecerobohan manusia. Allah befirman,
وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ .أَلَّا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ . وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ
Allah meninggikan langit dan meletakkan neraca. Supaya kamu jangan melampaui batas terhadap neraca itu. Tegakkanlah timbangannya dengan adil dan janganlah kamu menguranginya.[37] Muncul bahaya ketika sumber daya tersebut dipergunakan bukan pada tempatnya, ketika dipergunakan secara keliru, dan ketika dipergunakan secara berlebihan. Akhirnya akan muncul bahaya ketika keseimbangan lingkungan dan alam timpang. Ia bisa mengancam alam jika manusia terus mengeksploitasinya secara keliru.
Lalu akan muncul bahaya ketika sumber kekayaan dipergunaan secara eksploitatif, berlebihan, dan tidak tepat.
Terakhir adalah bahaya hilangnya keseimbangan lingkungan dan alam yang mengancam dunia jika manusia terus mempergunakan sumber kekayaan tadi secara keliru.
Catatan Kaki:
[1] Q.S. al-Isrâ`: 70.
[2] Q.S. al-Baqarah: 30.
[3] Q.S. Luqmân: 20.
[4] Q.S. al-Jâtsiyah: 13.
[5] Q.S. al-Anfâl: 39.
[6] Q.S. al-A’râf: 185.
[7] Q.S. Ali Imrân: 191.
[8] Q.S. Saba`: 46.
[9] Q.S. Yûnus: 101.
[10] Q.S. al-Ghâsyiyah: 17.
[11] Q.S. Qâf: 6.
[12] Q.S. al-Baqarah: 170.
[13] Q.S. al-Ahzab: 67.
[14] Q.S. al-Najm: 28.
[15] Q.S. Shâd: 26.
[16] Q.S. al-Najm: 24.
[17] Q.S. al-Baqarah: 111.
[18] Q.S. al-Zukhruf: 19.
[19] Q.S. al-Ahqâf: 4.
[20] Q.S. al-An’âm: 143.
[21] Q.S. al-An’âm: 148.
[22] H.R. Ibn Mâjah. Hadits hasan.
[23] H.R. al-Bukhârî dan Muslim dari Abû Salmah.
[24] Q.S. al-Mâ’ûn: 1-3.
[25] Q.S. al-Nisâ`: 29.
[26] Q.S. al-A’râf: 31.
[27] Q.S. al-A’râf: 56.
[28] Q.S. al-Baqarah: 205.
[29] H.R. Ahmad dari Anas. Para perawinya dapat dipercaya.
[30] H.R. al-Bukhârî dan Muslim dari Anas ibn Mâlik.
[31] Q.S. Hûd: 61.
[32] Q.S. al-Baqarah: 222.
[33] Q.S. Ibrâhîm: 7.
[34] Q.S. al-Baqarah: 195.
[35] H.R. Abu Dawud dari Abdullah ibn Habasyi dan H.R. al-Bayhaqi. Perawinya dapat dipercaya.
[36] Q.S. al-Hijr: 21.
[37] Q.S. al-Rahmân: 8-9.