Kita meyakini bahwa keluarga adalah pondasi sosial, sementara pernikahan yang sah yang sesuai dengan fitrah yang dikenal oleh para pemeluk agama merupakan pondasi dasar keluarga. Ia merupakan satu-satunya cara untuk membangun keluarga. Kita menolak segala cara yang menyimpang seperti nikah sejenis, dan yang lainnya.
Karenanya Islam mendorong pernikahan, memudahkan sarananya, serta melenyapkan berbagai penghalang ekonomi dan sosial melalui pembinaan dan pemberlakuan hukum secara bersamaan. Di sisi lain, Islam juga menolak berbagai tradisi yang tidak sesuai seperti mahalnya mahar, tingginya beban walimah, berbagai hadiah untuk pengantin yang melampau batas, berlebihan dalam berpakain dan perhiasan serta berfoya-foya dalam hal yang Allah dan Rasul-Nya murkai. Sebab, semua itu dapat memperlambat dan mempersulit pernikahan.
Islam–dalam masalah nikah–mendorong untuk mengutamakan agama dan akhlaq dalam memilih suami atau istri.
فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
Maka pilihlah–calon istri–yang memiliki agama niscaya engkau bahagia.[1]
إِذَا أَتَاكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ خُلُقَهُ وَدِينَهُ فَزَوِّجُوهُ إِلَّا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ
Ketika datang kepadamu orang engkau senangi agama dan akhlaknya maka nikahkanlah. Jika tidak niscaya akan terjadi fitnah dan kerusakan yang besar di muka umi .[2]
Ketika Islam mempermudah pintu-pintu yang halal maka dalam waktu yang sama, ia menutup pintu-pintu yang haram berikut hal-hal yang dapat membangkitkan nafsu birahi seperti pornografi, pornoaksi, terutama yang menjadi tayangan media elektronik yang nyaris sudah masuk ke seluruh rumah serta sampai ke seluruh mata dan pendengaran.
Islam membangun hubungan keluarga melalui cinta dan kasih sayang antara suami istri disertai upaya untuk saling menunaikan hak dan kewajiban, dan pergaulan yang baik.
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Perlakukanlah mereka secara baik. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.[3]
”وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[4]
Perceraian dalam Islam
Pada dasarnya Islam menghendaki pernikahan yang langgeng dan abadi. Tetapi realitas sepanjang sejarah menunjukkan bahwa kadangkala kehidupan keluarga seperti neraka sehingga tidak ada alasan untuk tetap dilestarikan akibat perbedaan dan perselisihan yang ada atau akibat hilangnya pilar-pilar keluarga itu sendiri. Terkait dengan melepas ikatan pernikahan Islam telah memilih jalan yang unik yang tetap memperhatikan tabiat wanita disertai upaya untuk tetap mempertahakan keutuhan rumah tangga semaksimal mungkin. Selain itu, Islam juga memperhatikan tanggung jawab laki-laki serta kemaslahatan anak. Jalan tersebut adalah sebagai berikut:
- Karena perbedaan antara suami istri merupakan hal biasa maka Islam mengajak suami dan istri untuk tetap bersabar, toleran, dan berlaku baik.
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Perlakukanlah mereka secara baik. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.[5]
Ketika perselisihan antara suami dan istri sudak tidak dapat dikendalikan maka Islam mengajak kepada pihak keluarga masing-masing untuk melakukan islah dan menyelesaian perkaranya.
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا
Jika kalian mengkhawatirkan persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru runding dari keluarga laki-laki dan juru runding dari keluarga perempuan. Jika kedua juru runding itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri tersebut.[6]
- Apabila arbitrase yang dimaksud tidak dapat menyelesaikan perselisihan maka suami diberi hak untuk mentalak satu terhadap istrinya. Artinya suami masih diberi peluang untuk kembali kepada istrinya (tanpa melalui penikahan baru) sepanjang masa iddah (penantian). Yaitu selama 3 kali haidh. Sedangkan istri yang telah ditalak tetap berada di rumah suaminya tanda ada hubungan suami istri. Tetapi, bila pada masa penantian itu terjadi hubungan suami istri berarti mereka telah rujuk (memulai kembali hidup baru). Artinya talak satu telah dianggap selesai. Apabila masa penantian berlalu sementara tidak ada pernyataan kembali (rujuk), maka status talak yang dijatuhkan kepada istrinya tersebut menjadi talak bain. Yaitu suami istri harus berpisah total meskipun masih ada kesempatan untuk kembali dengan melalui proses pernikahan baru.
- Sebagaimana Islam telah memberi kewenangan kepada suami untuk mentalak, istri juga diberi kewenangan untuk menyatakan gugat cerai (khuluk). Selain itu, istri juga diberi kewenangan untuk menceraikan dirinya kapan ia hendaki. Serta ia diberi hak untuk mengadukan kezaliman yang menimpa dirinya dan meminta cerai dari suaminya di depan pengadilan.
- Apabila kedua suami istri telah kembali (rujuk) entah hal itu terjadi pada masa iddah atau sesudahnya lalu terjadi perselisihan kembali, maka wajib mengikuti proses sebagaimana yang pertama sampai terjadi talak yang kedua. Status talaknya masih tetap raj’i. Artinya suami dapat kembali kepada istrinya selama masa iddah atau sesudahnya seperti yang terjadi pada perceraian pertama.
- Apabila kedua suami istri rujuk lagi setelah perceraian kedua lalu terjadi perselisihan kembali, maka tetap wajib menjalankan langkah-langkah persuasif sebagaimana sebelumnya hingga suami menjatuhkan talak ketiga kepada istrinya. Perceraian tersebut merupakan perceraian yang terahir dan tidak ada kesempatan lagi untuk kembali kepada sang isteri. Perceraian itu disebut talak bain kubra. Artinya mantan suami tidak berhak rujuk kepada istri yang tertalak sepanjang hidupnya kecuali mantan istri tersebut telah pernah nikah dan hidup bersama laki-laki lain lalu berpisah. Dalam kondisi demikian, mantan suami pertama dapat menikahinya kembali dengan nikah baru disertai kewenangan menceraikan tiga kali. Allah berfirman,
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آَتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ . فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah. Janganlah kamu melanggarnya. Siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya merasa dapat menjalankan hukum-hukum Allah.[7]
Poligami
Poligami tanpa aturan merupakan hal yang lumrah dilakukan oleh bangsa-bangsa sebelum datangnya Islam. Ketika Islam datang, ia memberikan batas-batas dan aturan yaitu bagi yang membutuhkan, mampu, yakin akan bertindak adil dan fakta pribadinya menguatkan hal-hal tersebut.
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, (kawinilah) seorang saja.[8]
Saat ini propaganda persamaan gender merupakan isu yang sangat mengemuka. Berbagai aturan perundangan masa kini memandang poligami sebagai kejahatan yang wajib diberi sanksi, sementara ia membolehkan hubungan lawan jenis di luar nikah.
Tidak diragukan lagi bahwa terdapat sejumlah kondisi pribadi yang membuatnya boleh memiliki lebih dari satu istri. Bahkan kadangkala hal itu mendatangkan kemuliaan untuk istrinya. Misalnya ketika istrinya mandul atau menderita sakit yang tidak mungkin memberikan pelayanan lahir dan batin kepada suami. Atau suami telah tidak dapat mencintai lagi (karena sesuatu hal yang mendasar- pent) sementara upaya keluarga untuk membantunya juga gagal. Dalam kondisi terakhir ini sebetulnya suami berhak menceraikannya. Namun, ketika ia mempertahankan istrinya dan menikah lagi dengan wanita lain hal itu tentu lebih utama sekaligus membuat istri pertama tetap terhormat.
Selain itu, ketika istri kedua bersedia untuk dinikahi oleh laki-laki yang sudah beristri, ia tidak boleh dalam kondisi terpaksa. Poligami yang semacam inilah yang mendatangkan maslahat bagi semua pihak.
Selanjutnya bisa jadi terdapat kondisi sosial di mana jumlah wanita lebih banyak dari laki-laki. Hal itu biasanya terjadi setelah peperangan. Dalam kondisi seperti ini poligami menjadi solusi yang tepat baik secara moral dan kemanusiaan untuk memenuhi kebutuhan wanita terhadap keberadaan suami agar masyarakat terjaga dari berbagai perilaku yang rusak dan tercela.
Data statistik seluruh bangsa tentang jumlah wanita di sepanjang sejarah menunjukan bahwa dalam kondisi normal jumlah wanita sedikit lebih banyak dari jumlah laki-laki. Yaitu biasanya tidak lebih dari 3%. Hal itu menunjukkan bahwa pada dasarnya Allah menciptakan untuk setiap laki-laki seorang wanita. Demikianlah prinsip dasarnya. Sementara, sebagian kecil wanita tetap tidak mendapat suami, kecuali bila ada sebagian laki-laki yang berani menikah lebih dari satu. Jika poligami tidak diperbolehkan maka apa solusinya?
Zat yang telah menciptakan laki-laki dan perempuan itulah yang mensyariatkan poligami. Syariat dari Allah datang untuk menyelesaikan realita persoalan yang Allah ciptakan. Dengan demikian keduanya saling menyempurnakan dan tidak saling berbenturan. Allah berfirman,
أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
Ingatlah mencipta dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.[9]
Ketika seorang muslim terkadang (membuat citra) buruk atas pemberlakuan poligami dengan tidak menjaga syarat-syarat dan batasannya, hal itu dapat diselesaikan dengan mewajibkan mereka untuk memenuhi syarat dan batasan poligami tersebut; bukan dengan cara memberangus pemberlakuannya. Sebab, hal itu akan mendatangkan bahaya yang besar terkait dengan hak wanita dan masyarakat.
Orang tua dan Anak
Islam mengatur hubungan antara orang tua dan anak. Di satu sisi, orang tua mereka wajib membimbing anak-anak mereka secara menyeluruh baik dari sisi materi, psikologi, dan maupun etika. Sementara di sisi lain, anak wajib untuk berbuat baik dan berperilaku terpuji kepada orang tua. Di antara bentuk pendidikan kepada anak adalah memberikan kesempatan belajar sejak usia dini. Yaitu pendidikan yang dapat memberi bekalan kemampuan dan life skill. Salah satu kewajiban masyarakat dan negara adalah memberikan pendidikan kepada kaum ibu dan anak-anak pada usia dini. Khususnya para yatim dan anak-anak terlantar. Al Quran dan Sunnah mendorong untuk berbuat baik kepada yatim dan anak-anak jalan. Mereka berhak mendapatkan bagian dalam zakat, sedekah, dan harta rampasan perang.
Keluarga bukanlah komunitas kecil yang hanya terdiri dari suami istri dan anak-anak mereka. Akan tetapi, dalam pandangan Islam ia lebih luas daripada itu sehingga juga meliputi kerabat dan saudara-saudara dekat. Menjaga hubungan dengan mereka adalah wajib, sementara memutusnya merupakan dosa besar.
وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ
Kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah.[10]
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى
Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak serta karib-kerabat.[11]
Catatan Kaki:
[1] H.R. al-Bukhârî dan Muslim dari Abû Hurayrah ra.
[2] H.R. Ibn Mâjah danal-Tirmidzî dari Abu Hurayrah ra.
[3] Q.S. al-Nisâ`: 19.
[4] Q.S. al-Baqarah: 288.
[5] Q.S. al-Nisâ`: 19.
[6] Q.S. al-Nisâ`: 35.
[7] Q.S. al-Baqarah: 229-230.
[8] Q.S. al-Nisâ`: 3.
[9] Q.S. al-A’râf: 54.
[10] Q.S. al-Anfâl: 75.
[11] Q.S. al-Nisâ`: 36.