Pemerintahan Islam bukanlah pemerintahan teokrasi sebagaimana yang dipahami oleh Barat pada abad pertengahan, akan tetapi ia adalah pemerintahan sipil yang berasaskan Islam.
Pemerintahan Islam
Secara prinsip pemerintahan Islam tegak di atas pilihan bebas umat. Hal itu sudah menjadi kesepakatan seluruh madzhab, termasuk syiah imamiyah meski mereka membatasinya pada apa yang disebut dengan ”masa kekosongan” (ashrul ghaibah). Adapun madzhab-madzhab yang lain berpandangan bahwa pilihan umat untuk menentukan pemimpinnya adalah merupakan pijakan dasar di segala kondisi dan keadaan mencontoh apa yang dilakukan oleh para sahabat dalam memilih khulafa rasyidin.
Pemerintahan Islam mempunyai tujuan dasar yaitu menerapkan syariat Allah.
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
Hendaklah kalian memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah.[1]
Juga untuk menegakkan keadilan di tengah-tengah manusia:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى
Allah memerintahkan untuk berlaku adil dan berbuat baik, serta menyantuni kerabat dekat.[2]
Bahkan Allah swt menjadikan penegakan keadilan sebagai tugas yang diemban oleh para Rasul.
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti yang nyata dan Kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat berlaku adil.[3]
Pemerintahan Islam bersandar kepada sebuah rujukan yang bukan berasal dari diri mereka sendiri dan mereka tidak mempunyai hak merubahnya. Rujukan yang dimaksud adalah kitab Allah dan Sunah Rasul-Nya. Penegaknya bukanlah tokoh-tokoh agama. Akan tetapi, orang yang kuat, yang amanah, bisa menjaga, dan berilmu.
الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ
Orang-orang yang jika Kami beri kedudukan di bumi, mereka melakukan salat, menunaikan zakat, serta menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari yang munkar.[4]
Pengawasan Umat
Pemerintahan Islam menjalankan tugasnya di bawah pengawasan umat dan kontrol mereka. Seorang pemimpin adalah orang yang dipekerjakan ditengah-tengah manusia. Mereka berkewajiban memberi nasehat dan kritikan kepadanya, sekaligus menaati dalam hal yang makruf. Barang siapa memerintah dalam kemaksiatan, ia tidak boleh didengar dan ditaati. Serta, siapa yang menentang seorang pemimpin yang menyeleweng yang memerintahkan kepada kemaksiatan yang karena itu ia terbunuh, maka ia adalah syahid.
سيد الشهداء حمزة بن عبد المطلب ، ورجل قال إلى إمام جائر فأمره ونهاه فقتله
Pemimpin para syahid adalah Hamzah, dan seseorang yang menghadap seorang pemimpin guna menyuruh dan melarang sehingga ia dibunuh.[5]
Musyawarah
Pemerintah Islam menjalankan tugasnya berdasarkan musyawarah.
وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ
Urusan mereka mereka putuskan dengan musyawarah di antara mereka.[6]
وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ
Bermusyawarahlah dengan mereka dalam (memutuskan) suatu perkara.[7]
Tidak dibenarkan seorang ulil amri setelah melakukan musyawarah kemudian memutuskan sesuai dengan kemauannya sendiri. Akan tetapi, musyawarah kadang-kadang menjadi rambu bagi seorang pemimpin terkait dengan sesuatu yang menjadi kekhususan dan kemaslahatan dirinya. Terkadang ia juga menjadi sebuah kewajiban terkait dengan permasalahan yang merupakan kemaslahatan majelis khusus. Jika tidak demikian, maka musyawarah menjadi tidak berfungsi. Juga tidak ada artinya anggota syura disebut sebagai ahlu al-halli wal aqdi.
Pembagian Kekuasaan
Setelah melalui perjalanan dan pengalaman panjang dan pahit, umat manusia akhirnya membagi kekuasaan menjadi tiga bagian: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pembagian seperti ini berhasil meminimalisir kesewenang-wenangan para pemimpin atau bahkan bisa menghilangkan, serta bisa menjamin terjaganya hak-hak manusia dari penguasaan pemimpin yang zalim dalam menghidupkan kebebasan politik, kebebasan media non pemerintah, sarana media independen, partai-partai oposisi, dan kebebasan dalam pemilu. Masyarakat telah mengenal sejumlah perangkat kekuasaan yang terdapat dalam undang-undang yang mengatur pemisahan antar kekuasaan, masa berlakunya, serta yang mengatur kebebasan beraktivitas politik, serta apa saja yang disebut sebagai proses demokrasi. Ia sangat sesuai dengan ruh (spirit) Islam dan tujuan-tujuan pokoknya serta prinsip-prinsip umumnya, meskipun tidak terdapat nash (teks khusus dalam Al-Qur’an dan hadits, red.) secara langsung.
Demokrasi
Sebenarnya menolak sistem demokrasi secara mutlak dengan alasan bahwa ia adalah sistem impor, adalah tidak benar selama unsur-unsurnya bisa menjadi sarana dalam penerapan hukum, dasar-dasar, dan nilai-nilai Islam. Atau paling tidak, tidak bertentangan dengan Islam. Pernyataan bahwa demokrasi adalah hukum masyarakat, sedangkan Islam adalah hukum Allah, dimana keduanya saling bertentangan, adalah pemahaman yang tidak benar. Sebab dengan sarana demokrasi sangat mungkin masyarakat memilih hukum Allah. Sebaliknya, hukum Allah sangat mungkin terwujud lewat kemauan dan kehendak masyarakat dalam bentuk yang jauh lebih baik daripada penguasa tiran. Alquran sendiri mengakui hukum yang ditetapkan oleh masyarakat untuk diri mereka seraya tidak mengakui pemerintahan ala firaun dan pemerintahan yang sewenang-wenang. Allah mencela Firaun, Haman, Qorun, serta melaknat pemimpin otoriter yang menyombongkan diri di atas muka bumi tanpa alasan yang benar.
إِنَّ فِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَجُنُودَهُمَا كَانُوا خَاطِئِينَ
Fir’aun, Haman, dan tentara-tentaranya adalah orang-orang yang keliru.[8]
Pernyataan bahwa sistem suara mayoritas adalah prinsip impor dan bertentangan dengan ajaran Islam adalah pernyataan yang tidak bisa diterima. Terdapat sejumlah dalil yang membenarkan pengambilan suara mayoritas. Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah saw pada waktu perang Uhud, yang dilakukan Umar, serta yang disetujui oleh para sahabat ketika menetapkan enam orang untuk memilih khalifah dengan suara terbanyak. Rasulullah Saw juga memerintahkan untuk mengikuti masyarakat banyak atau suara mayoritas.[9]
Kebebasan Berpolitik
Islam menghormati kebebasan manusia dan hak-hak dasarnya. Islam melarang pemaksaan bahkan sampai pada masalah memeluk agama:
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
Tidak ada paksaan dalam agama. Telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat.[10]
Islam menghormati kebebasan politiknya. Ia memiliki hak untuk memilih siapa yang ia kehendaki serta mencalonkan siapa yang ia kehendaki untuk jabatan apapun selama memenuhi syarat. Iapun berhak untuk mengkritik pemerintah ketika salah. Bahkan, menasehati penguasa merupakan kewajiban syar’i, meskipun membahayakan pelakunya. Khulafa Rasyidin mengakui adanya pandangan politik yang berbeda baik bersifat pribadi maupun kelompok. Mereka juga mengakui hak sahabat untuk menyampaikan sikap dan memperjuangkannya selama dalam batas-batas yang dibenarkan agama. Di antaranya adalah pengakuan Ali bin Abi Thalib terhadap keberadaan Khawarij–meskipun beliau tidak mengakui pola pikir mereka–dan sikapnya yang tetap menjaga hak-hak mereka selama mereka tidak memerangi kaum muslimin.
Multi Partai
Masyarakat sekarang memberikan pengakuan terhadap prinsip kebebasan dan keragaman politik lewat keberadaan multipartai sebagai ganti dari sistem satu partai. Islam tidak menentang keragaman kelompok khususnya ketika yang dimaksud adalah keragaman jenis dan spesialisasi; bukan keragaman yang saling berlawanan dan bertentangan. Islam juga mengakui keragamanan yang saling menyempurnakan dan saling menopang; bukan keragamanan yang saling berselisih dan bersitegang. Islam tidak menentang sistem multipartai selama semuanya menghormati dasar-dasar pokok kehidupan masyarakat dan tidak bekerja sama dengan musuh. Ia terlihat dalam kesepatakan Madinah yang mengatur masalah hubungan antar unsur-unsur politik yang ada–hal itu menyerupai partai-partai sekarang—para muhajirin dari Makah, anshar dari penduduk Madinah, disertai kaum Aus dan Khazraj, lalu Yahudi dengan beragam sukunya. Bahkan menghormati keberadaan multi partai adalah bagian dari tujuan dan kaidah umum syariat.
Kita mengambil sistem demokrasi tanpa disertai dengan filsafat materialisme mereka. Sebab kita memiliki falsafah hidup yang bersumber dari akidah Islam. Kita juga memiliki nilai-nilai agama dan akhlak yang bersumber dari ajaran Alquran dan sunah. Akan tetapi, kita hanya mengambil demokrasi sebagai sarana dan jaminan untuk menghilangkan para pemimpin yang zalim dan sewenang-wenang. Ia adalah hasil dari pengalaman panjang umat manusia yang tidak asing bagi umat Islam. Umat Islam berhak untuk memanfaatkannya guna mencegah berulangnya kembali tiranisme politik yang banyak menodai sisi-sisi terang dari sejarah Islam.
Catatan Kaki:
[1] Q.S. al-Mâ`idah: 49.
[2] Q.S. al-Nahl: 90.
[3] Q.S. al-Hadîd: 25.
[4] Q.S. al-Hajj: 41.
[5] H.R. al-Hâkim dan al-Suyûthî dari Jâbir.
[6] Q.S. Syûrâ: 38.
[7] Q.S. Âli Imrân: 159.
[8] Q.S. al-Qashash: 8.
[9] H.R. Ibn Mâjah dari Anas ibn Mâlik dan Ahmad dari Nu’man ibn Basyir.
[10] Q.S. al-Baqarah: 256.