Selama tiga belas tahun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah di Mekkah dengan hikmah dan nasehat yang baik. Beliau tidak meminta upah dari mereka dan tidak mengharap sesuatupun dari mereka selain supaya mereka mengatakan, ”Tuhan kami adalah Allah.”
Akan tetapi, kaum beliau berasal dari kalangan Quraisy. Di sekeliling beliau terdapat orang-orang musyrik yang menentang dakwah Rasulullah dengan menyakiti, mengintimidasi, memfitnah, memutus hubungan, menyiksa, dan mengusir Rasulullah dari Mekkah.
Kaum muslimin datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kepala berdarah dan terluka, meminta agar diijinkan menggunakan senjata untuk membela diri. Akan tetapi, Rasulullah menyuruh mereka bersabar dan bertahan menerima siksaan.
كُفُّوا أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ
Tahanlah tanganmu (dari perang) dan dirikanlah salat.[1]
Kaum muslimin terus berjihad selama periode Mekkah. Akan tetapi, bukan jihad mengangkat pedang dan senjata, melainkan jihad dengan dakwah, penjelasan, penyampaian risalah dakwah, dan itulah yang disebut Alquran sebagai jihad besar.
فَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا
Janganlah engkau menaati orang-orang kafir dan berjihadlah menghadapi mereka dengannya lewat jihad yang besar.[2]
Ia adalah jihad dengan bersabar atas cobaan dan intimidasi. Di antaranya berupa boikot sampai kaum muslimin makan daun-daunan, dan berhijrah ke Habasyah dua kali. Dalam hal ini turun firman Allah yang berbunyi,
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آَمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
Apakah manusia mengira mereka dibiarkan begitu saja mengucapkan: kami telah beriman, sedangkan mereka tidak diuji?[3]
Seorang muslim selamanya adalah mujahid dalam kehidupannya. Ia memerangi hawa nafsu dan setan, memerangi kejahatan, memerangi kerusakan yang ada di lingkungannya, berjuang dengan lisan dan pena dalam menyampaikan dakwahnya. Hanya saja, tidak selamanya ia berperang.
Karena peperangan tidak wajib dalam setiap kondisi. Akan tetapi kewajibannya dikarenakan ada sebab. Rasulullah dan para sahabat senantiasa berjihad selama fase Makkah. Namun, mereka tidak berperang kecuali setelah hijrah.
Mereka dalam keadaan seperti itu sampai mereka hijrah. Lalu turunlah ayat pertama yang mengijinkan mereka untuk berperang sebagai bentuk pembelaan diri dan kehormatan. Allah berfirman,
أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ . الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَنْ يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ
Diijinkan bagi orang-orang yang diperangi, karena mereka dizalimi. Allah Maha Kuasa menolong mereka. Yaitu orang-orang yang diusir dari negeri mereka tanpa alasan yang benar kecuali karena mereka berkata, ‘Tuhan kami adalah Allah.’ [4]
Selama berada di fase Madinah–sepuluh tahun–Rasulullah melakukan perlawanan kepada pihak-pihak yang terang-terangan menyatakan permusuhan terhadap dakwah Islam. Ada kubu arab penyembah berhala, kelompok yahudi, negara Romawi Baizantum. Hal itu memaksa Rasulullah melakukan peperangan sebanyak 27 kali dan mengirim pasukan sebanyak lima puluh tujuh kali. Dari sekian jumlah peperangan, tidak pernah Rasulullah menjadi pihak yang memulai atau menantang kelompok lain. Akan tetapi, semua dilakukan sebagai bentuk balasan terhadap peperangan yang terjadi dan mungkin akan terjadi. Ini diakui oleh para sejarawan yang obyektif dalam menilai sejarah peperangan Rasulullah, dari perang Badar sampai Tabuk. Bahkan, sebagian perang terjadi di wilayah tempat tinggal kaum muslimin seperti perang Uhud dan Khandak. Oleh karenanya para peneliti dari kalangan ulama mengatakan, sesungguhnya jihad (perang) tidak disyariatkan kecuali sebagai bentuk pembelaan terhadap kehormatan. Itulah yang ditunjukkan oleh ayat-ayat dan hadits-hadits.
Cukuplah bagi kita firman Allah tentang kaum musyrik:
فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوكُمْ وَأَلْقَوْا إِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيلًا
Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta menawarkan perdamaian kepadamu (menyerah), maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh mereka).[5]
Ayat ini menjelaskan tentang haramnya memerangi mereka. Dan kebalikan dari ayat ini, Allah berfirman:
فَإِنْ لَمْ يَعْتَزِلُوكُمْ وَيُلْقُوا إِلَيْكُمُ السَّلَمَ وَيَكُفُّوا أَيْدِيَهُمْ فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأُولَئِكُمْ جَعَلْنَا لَكُمْ عَلَيْهِمْ سُلْطَانًا مُبِينًا
Karena itu jika mereka tidak membiarkankamu dan tidak mau menawarkan perdamaian kepadamu, serta tidak menahan tangan mereka (dari memerangimu), maka tawanlah merka dan bunuhlah mereka dimana saja kamu temui, dan merekalah orang yang kami berikan kepadamu alasan yang nyata (untuk memerangi, menawan dan membunuh) mereka. (QS. An-Nisa’: 91)
Pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini dan ayat lain yang serupa hukumnya mansukh (terhapus) dengan ayat perang adalah tertolak. Sebab, tidak masuk akal dan tidak sesuai dengan syariat jika kita menafikan kalam Allah yang mempunyai hukum pasti mutawatir dan yakin dengan pendapat ulama yang menyatakan hukum tersebut mansukh.
Selain itu, mereka juga tidak sepakat, ayat mana yang dianggap sebagai ayat pedang. Kebanyakan mengatakan bahwa ia adalah,
فَإِذَا انْسَلَخَ الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ
Apabila telah bulan-bulan haram telah berlalu, perangilah orang-orang musyrik di mana saja kalian temui. Tangkaplah dan kepunglah mereka. Awasilah di tempat pengintaian.[6]
Yang dimaksud dengan orang-orang musyrik dalam ayat ini adalah mereka yang disebutkan dalam permulaan surat ini.
بَرَاءَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
(Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya kepada orang-orang musyrik yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka).[7]
Mereka bukan hanya orang-orang musyrik, tapi mereka adalah kaum musyrik yang Allah dan Rasul-Nya berlepas dari mereka karena tindakan mereka yang telah melanggar perjanjian serta karena perlakuan buruk mereka terhadap Islam, Rasul, dan dakwahnya selama fase Mekkah dan Madinah.
Islam dan perdamaian
Islam tidak mengharapkan terjadinya peperangan dan tidak menginginkan pertumpahan darah. Bahkan ketika krisis antara kaum muslimin dan musuh mereka berakhir tanpa pertumpahan darah, Alquran mengomentari lewat ayat seperti berikut.
وَرَدَّ اللَّهُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِغَيْظِهِمْ لَمْ يَنَالُوا خَيْرًا وَكَفَى اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ الْقِتَالَ
Allah menghalau orang-orang kafir yang keadaan mereka penuh kejengkelan, karena mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. Cukuplah Allah (yang menolong) menghindarkan orang-orang mukmin dalam peperangan.[8]
Betapa kalimat tersebut sangat menukik dan sangat tepat dalam mengungkapkan spirit perdamaian Islam.
وَكَفَى اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ الْقِتَالَ
Cukuplah Allah (yang menolong) menghindarkan orang-orang mukmin dalam peperangan
Ketika perang Hudaibiyah berakhir dengan perjanjian damai dengan orang-orang Quraisy, dan genjatan senjata antara dua belah pihak, maka turun surat al-Fath.
إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُبِينًا
Kami telah memberikan kepadamu kemengangan yang nyata[9]
Sebagian sahabat bertanya, “Apakah hal tersebut merupakan kemenangan wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ya, itu adalah kemenangan.”[10] Mereka tidak bisa membayangkan bagaimana sebuah kemenangan diraih tanpa peperangan.
Dalam surat ini pula Allah memberikan karunia kepada kaum mukminin. Allah berfirman,
وَهُوَ الَّذِي كَفَّ أَيْدِيَهُمْ عَنْكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ عَنْهُمْ بِبَطْنِ مَكَّةَ مِنْ بَعْدِ أَنْ أَظْفَرَكُمْ عَلَيْهِمْ
Dialah yang mencegah tangan mereka sehingga tidak bisa membinasakan kalian dan mencegah tangan kalian dari membinasakan mereka di tengah kota Makkah setelah Allah memenangkan kalian atas mereka.[11]
Lihatlah bagaimana Allah menganugerahkan kepada orang-orang beriman perlindungan-Nya dari orang-orang kafir.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang paling pemberani tidak menyukai peperangan. Beliau berkata kepada sahabatnya,
لَا تَتَمَنَّوْا لِقَاءَ الْعَدُوِّ وَسَلُوا اللَّهَ الْعَافِيَةَ فَإِذَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاصْبِرُوا
Janganlah kalian berharap bertemu musuh dan mohonlah keselamatan kepada Allah. Namun, jjika kalian bertemu dengan musuh bersabarlah.[12]
Beliau juga bersabda,
وَأَحَبُّ الْأَسْمَاءِ إِلَى اللَّهِ عَبْدُ اللَّهِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ وَأَقْبَحُهَا حَرْبٌ وَمُرَّةُ
Sebaik-baik nama disisi Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman. Sementara, seburuk-buruk nama adalah harb (perang) dan murrah (pahit).[13]
Bahkan istilah perang sekalipun tidak disukai oleh Rasulullah, dan tidak disukai untuk dijadikan nama seseorang sebagaimana yang dilakukan oleh bangsa arab jahiliyah. Misalnya nama Harb bin Umayah.
Oleh sebab itu, kita meyakini bahwa Islam menyeru kepada kedamaian sekaligus menyambutnya. Bahkan, kalimat salam (kedamaian) dijadikan sebagai doa penghormatan bagi umat Islam di dunia dan akhirat:
تَحِيَّتُهُمْ يَوْمَ يَلْقَوْنَهُ سَلَامٌ
Penghormatan mereka (orang-orang mukmin itu) ketika mereka menemuni-Nya ialah “salam”.[14]
Di antara nama Allah adalah as-Salam. Jadi Dia adalah Al-Malik, al-Quddus, as-Salam. Di antara nama yang masyhur di kalangan kaum muslimin adalah “Abdussalam”. Selanjutnya, di antara nama surga adalah Dar as-Salam (negeri perdamaian).
لَهُمْ دَارُ السَّلَامِ عِنْدَ رَبِّهِمْ
Bagi mereka (disediakan) tempat yang damai (sorga) di sisi Tuhannya.[15]
Islam dan Jihad
Islam menyerukan peperangan, serta pengorbanan jiwa dan harta terbaik, jika perang memang harus dilaksanakan oleh kaum muslimin dalam kondisi terpaksa. Misalnya ketika kehormatan mereka dinjak-injak, tanah mereka dirampas, dan wilayah mereka diduduki seperti bunyi ayat berikut.
أَلَا تُقَاتِلُونَ قَوْمًا نَكَثُوا أَيْمَانَهُمْ وَهَمُّوا بِإِخْرَاجِ الرَّسُولِ وَهُمْ بَدَءُوكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ أَتَخْشَوْنَهُمْ فَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَوْهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ قَاتِلُوهُمْ يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ بِأَيْدِيكُمْ وَيُخْزِهِمْ وَيَنْصُرْكُمْ عَلَيْهِمْ وَيَشْفِ صُدُورَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ
Mengapa kalian tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), padahal mereka telah bertekad keras mengusir Rasul dan merekalah yang pertama mulai memerangi kalian? Mengapa kalian takut kepada mereka padahal Allah-lah yang berhak untuk kalian takuti, jika kalian benar-benar orang yang beriman. Perangilah mereka, niscaya Allah akan menghancurkan mereka dengan (perantaraan) tangan-tangan kalian sekaligus menghinakan, menolong kalian terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman.[16]
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Diwajibkan atas kalian berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagi kalian. Akan tetapi, boleh jadi kalian tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagi kalian dan boleh jadi kalian menyukai sesuatu padahal itu tidak baik bagi kalian. Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui[17]
Ada sebagian orang yang mempunyai persepsi bahwa Islam menyerukan Jihad di jalan Allah, tidak menginginkan perdamaian, dan enggan menyerukan perdamaian. Ini adalah pemahaman yang salah.
Sebab-sebab Jihad
Allah mensyariatkan Jihad karena sejumlah sebab:
- Mencegah terjadinya fitnah. Yaitu intimidasi dalam hal agama.
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ
Perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah, dan serta agar agama hanya bagi Allah semata.[18]
Islam menganggap bahwa fitnah lebih kejam dari pembunuhan, karena pembunuhan merupakan kejahatan terhadap keberadaan manusia secara fisik, sementara fitnah adalah kejahatan yang bersifat maknawi. Mencegah fitnah berarti menjaga kebebasan agama untuk semua, dan peperangan di sini adalah untuk membela manusia dan kebebasannya.
- Menolong orang-orang lemah dari jurang kehinaan dan kezaliman.
وَمَا لَكُمْ لَا تُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ
Mengapa kalian tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang yang lemah[19]
- Menangkal upaya menjatuhkan kehormatan, tempat-tempat suci agama, dan tanah air.
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا
Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu. Namun, janganlah kalian melampaui batas.[20]
Tidaklah dicela orang yang membalas permusuhan dengan cara yang sama.
وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً
Perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana mereka memerangi kalian semua.[21]
Meskipun demikian, Islam tidak menutup pintu perdamaian dan perjanjian, selama sebab-sebabnya terpenuhi.
وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ
Tetapi jika mereka condong kepada perdamaian, maka terimalah dan bertawakallah kepada Allah. [22]
Di antara sebab utama yang mendukung perdamaian adalah permintaan damai, penghentian penjajahan, dan pengembalian hak-hak kepada pemiliknya.
Jihad harus dikontrol oleh akhlak yang kuat dan mengikat. Tidak boleh membunuh perempuan, anak-anak, orang tua, pendeta, petani, dan pedagang. Tidak boleh membatalkan perjanjian, tidak boleh melakukan mutilasi, tidak boleh menebang pohon, menghancurkan bangunan, meracuni sumur, dan tidak boleh mengikuti konsep yang ditujukan untuk merusak segala yang tersisa. Inilah yang terdapat dalam nash-nash sahih, yang diterapkan oleh khulafa’ Rasyidun dan kaum muslimin setelah mereka.
Ini pula yang disaksikan oleh para ahli sejarah Barat terkait dengan kemenangan kaum muslimin yang sebenarnya sebagai bentuk pembebasan umat manusia dari belenggu kekuasaan imperalisme lama (Romawi dan Persia). Para ahli sejarah mengatakan, tidak diketahui dalam sejarah suatu kemenangan yang paling adil dan penuh kasih sayang selain kemenangan yang diraih oleh bangsa Arab; yakni kaum muslimin.
Peperangan–terlebih pada zaman kita sekarang–tidak terbatas pada aspek militer saja. Akan tetapi, disana ada banyak jenis peperangan: perang ekonomi, perang media, perang pemikiran, bahkan perang agama dan keyakinan. Setiap jenis peperangan tersebut memiliki senjata dan pejuangnya sendiri.
Perlawanan untuk Membalas Serangan
Kita kaum muslimin pada hari ini dihadapkan dengan suatu peperangan dari berbagai penjuru. Kewajiban kita adalah melawan dengan segala kemampuan yang kita miliki. Kita persiapkan kekuatan untuk menghindarkan umat dari bahaya perang. Kita persiapkan tentara-tentara terlatih untuk membela mereka. Kita harus melakukan perlawanan dengan senjata-senjata seperti yang mereka pergunakan karena kita hendak melindungi hak-hak kita. Kita meyakini hak setiap bangsa untuk merdeka, untuk menolak agresi, dan menentukan sistem pemerintahannya. Ia merupakan hak alami manusia, sebagaimana yang ditetapkan oleh syariat Ilahiyah, dan perjanjian internasional. Di antaranya pemberlakuan hak-hak azasi manusia.
Oleh karena itu, perlawanan yang terjadi di negeri kaum muslimin terhadap penjajahan asing adalah sebagai bentuk jihad di jalan Allah. Khususnya, yang terjadi di Palestina, bumi isra’ dan mi’raj. Kita menyeru kaum muslimin, baik sebagai bangsa maupun pemerintahan, untuk bersungguh-sungguh memberikan bantuan dalam rangka membebasan negeri mereka dari segala bentuk penjajahan. Kita membantah jika perlawanan ini dianggap sebagai terorisme, karena justru penjajahan itulah yang sebenarnya merupakan bentuk terorisme itu sendiri dan karena perlawanan terhadapnya dengan menggunakan semua sarana yang memungkinkan adalah hak yang dibenarkan, bahkan merupakan kewajiban agama. Siapa yang melalaikannya tanpa ada udzur maka ia berdosa.
Akan tetapi pada waktu yang sama, kita harus membedakan antara pemerintah dan masyarakat. Di samping melawan pemerintahan-pemerintahan yang mendukung permusuhan dan penjajahan, kita juga mengapresiasi masyarakat Barat yang menghormati hak-hak asasi manusia, yang menuntut pemerintahannya untuk menghentikan peperangan di negeri kaum muslimin, dan kita sampaikan kesiapan dan keinginan kita untuk bekerjasama dengan mereka dalam rangka menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dalam hubungan antara umat manusia.
Catatan Kaki:
[1] Q.S. al-Nisâ`: 77.
[2] Q.S. al-Furqân: 52.
[3] Q.S. al-Ankabût: 2.
[4] Q.S. al-Hajj: 39-40.
[5] Q.S. al-Nisâ`: 90.
[6] Q.S. al-Taubah: 5.
[7] Q.S. al-Taubah: 1.
[8] Q.S. al-Ahzab: 25.
[9] Q.S. al-Fath: 1.
[10] H.R. Abû Dâwud, al-Thabrâni, dan al-Hakim.
[11] Q.S. al-Fath: 24.
[12] H.R. al-Bukhârî dan Muslim dari Abdullah ibn Abî Aufâ.
[13] H.R. Abû Dâwud
[14] Q.S. Alzâb: 44.
[15] Q.S. al-An’âm: 127.
[16] Q.S. al-Taubah: 13-14.
[17] Q.S. al-Baqarah: 21.
[18] Q.S. al-Baqarah: 193.
[19] Q.S. al-Nisâ`: 75.
[20] Q.S al-Baqarah: 190.
[21] Q.S. al-Taubah: 36.
[22] Q.S. al-Anfâl: 61.