Banyak orang yang bertanya-tanya tentang globalisasi dan sikap kita terhadapnya.
Ada yang berpendapat bahwa globalisasi adalah menghilangkan sekat atau jarak antar bangsa, antar tanah air, dan antar kebudayaan sehingga semuanya mendekat kepada kebudayaan, pasar, dan keluarga yang bersifat global. Karena itu, sebagian mereka mendefinisikan globalisasi sebagai merubah dunia menjadi desa global.
Barangkali pengertian globalisasi secara lahiriah adalah berdekatan dengan makna unversalitas (alamiyyah) yang dibawa oleh Islam. Alquran menegaskan hal tersebut dalam surat-surat makkiyah-nya seperti dalam firman-Nya,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Tidaklah Kami mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta”.[1]
تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا
Mahasuci Allah yang telah menurunkan kitab suci (yang berfungsi sebagai pembeda) atas hamba-Nya agar ia menjadi peringatan bagi seluruh alam.[2]
إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ لِلْعَالَمِينَ . وَلَتَعْلَمُنَّ نَبَأَهُ بَعْدَ حِينٍ
Alquran ini tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam dan kamu akan mengetahui (kebenaran) berita Alquran setelah beberapa waktu. [3]
Hanya saja dalam kenyataan terdapat perbedaan besar antara esensi universalitas (alamiyyah) yang dibawa Islam dan esensi globalisasi yang diserukan oleh Barat secara umum sekarang ini, khususnya oleh Amerika.
Universalitas dalam Islam tegak di atas dasar memuliakan seluruh manusia.
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آَدَمَ
“Kami memuliakan manusia.”[4]
Allah mengangkat mereka sebagai khalifah di muka bumi serta menundukkan untuk mereka seluruh yang terdapat di langit dan di bumi juga di atas landasan persamaan di antara manusia dalam hal kemuliaan, beban, dan tanggung jawab. Seluruh mereka sama-sama sebagai hamba Allah dan sebagai keturunan Adam sebagaimana disebutkan oleh Rasul saw di hadapan banyak manusia saat haji wada,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلَّا بِالتَّقْوَى
Wahai manusia, Tuhan kalian satu, ayah kalian satu. Tidak ada kelebihan antara orang Arab atas luar Arab, dan orang luar Arab atas orang Arab. Tidak ada kelebihan kulit berwarna atas kulit hitam dan kulit hitam atas kulit berwarna kecuali dengan takwa.[5]
Dengan ini beliau menegaskan apa yang ditetapkan oleh Alquran saat berbicara kepada sekuruh manusia,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Wahai manusia, Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu beragam suku bangsa supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.[6]
Akan tetapi, Alquran dalam ayat yang menegaskan adanya persamaan di antara seluruh manusia tidak menafikan karakteristik khusus setiap bangsa. Ia mengakui bahwa Allah menjadikan mereka beragam suku bangsa agar mereka saling mengenal; bukan untuk membelakangi.
Adapun globalisasi yang tampak oleh kita lewat propagandanya hingga saat ini adalah memaksakan hegemoni politik, ekonomi, budaya, dan sosial Amerika Serikat terhadap dunia; terutama, dunia Timur dan dunia ketiga. Lebih khusus lagi adalah dunia Islam dengan memanfaatkan keunggulan ilmu dan teknologi mereka, berikut kekuatan militer dan potensi ekonomi mereka yang demikian besar seraya bersandar kepada pandangan superioritas yang memandang diri mereka sebagai pemimpin dunia.
Globalisasi sekarang ini bukanlah interaksi antar saudara seperti yang diinginkan Islam, bahkan bukan pula interaksi antar pihak yang setara sebagaimana yang diinginkan oleh seluruh bangsa merdeka dan mulia di seluruh dunia. Tetapi ia merupakan bentuk interaksi antara pemimpin dan budak, antara raksasa dan orang cebol, serta antara para pembesar dan kaum marjinal.
Globalisasi dalam formatnya yang paling jelas sekarang ini adalah westernisasi dunia atau dengan kata lain meng-Amerika-kan dunia. Ia adalah istilah yang membenarkan neo imperialisme yang melepaskan baju lamanya dan meninggalkan corak usangnya guna memasuki era hegemoni baru di bawah payung istilah yang halus (globalisasi). Ia bermakna pemaksaan hegemoni Amerika terhadap dunia. Negara manapun yang membangkang pasti akan terkena embargo ekonomi, intimidasi militer, atau serangan langsung sebagaimana terjadi di Afganistan, Irak, Sudan, Iran dan Libia. Globalisasi juga berarti memaksakan politik ekonomi yang dimaui Amerika lewat organisasi dunia yang memiliki kontrol besar di dalamnya. Misalnya Bank Dunia, IMF, organisasi dagang dunia, dan sebagainya.
Globalisasi juga berarti pemaksaan budaya mereka yang tegak di atas filsafat materialisme, kepentingan, dan liberalisme sampai ke tingkat permisivisme. Mereka mempergunakan berbagai perangkat internasional untuk menjalankan semua itu dalam sejumlah konferensi dunia. Mereka mendorong berbagai bangsa untuk sejalan dengannya lewat ancaman dan intimidasi, atau lewat janji dan tipu daya.
Hal itu tampak pada konferensi kependudukan yang dilangsungkan di Kairo pada musim panas 1994 M yang dimaksudkan untuk membolehkan aborsi secara mutlak, membolehkan keluarga homo dan lesbian, memberikan kebebasan kepada anak-anak dalam berperilaku seksual, mengakui kelahiran di luar nikah, dan berbagai persoalan lainnya yang bertentangan dengan risalah langit dan tradisi yang dikenal masyarakat.
Di sini kita melihat bagaimana Universitas Al-Azhar Mesir, Rabithah Alam Islami di Mekkah, Republik Islam Iran, serta berbagai kelompok Islam berdiri berdampingan dengan Vatikan dan tokoh gereja untuk melawan konsep yang merusak tersebut. Pasalnya, semua lembaga tersebut menyadari bahaya besar yang sedang mengancam keimanan kepada Allah dan risalah-Nya, serta mengancam nilai-nilai akhlak yang Allah jadikan sebagai misi ajaran semua rasul.
Globalisasi tersebut juga tampak pada konferensi wanita di Bejing tahun 1995 M, di New York, dan sebagainya. Semua itu merupakan perpanjangan tangan dari konferensi Kairo, sebagai penguat bagi landasannya, serta penyempurna dari semua arahannya.
Ini merupakan persoalan yang sangat penting (pengakuan akan kekhususan) sehingga tidak saling menzalimi dan menghapuskan identitas yang ada tanpa rida mereka.
Globalisasi yang digulirkan saat ini pada akhirnya adalah untuk kepentingan bangsa yang kuat, untuk keuntungan bangsa yang kaya dalam melawan bangsa yang miskin dan lemah, serta untuk kemaslahatan Utara yang kaya dalam menghadapi Selatan yang miskin.
Membuka pintu lebar-lebar dengan alasan globalisasi dalam bidang perdagangan dan ekonomi, ekspor dan impor, atau dalam bidang budaya dan informasi, hanya menguntungkan kekuatan besar dan negara-negara yang memiliki kendali ilmu, informasi, dan teknologi yang tinggi dan maju. Terutama, negara super power yang paling kuat, paling berpengaruh, serta paling luas jaringannya dalam aspek pengetahuan, yaitu Amerika Serikat.
Adapun negara dunia ketiga sebagaimana istilah mereka, terutama negara-negara Islam, tidak bisa ikut dalam pertarungan internasional, kecuali hanya sebatas sisa dari bangsa kuat itupun jika ada serpihan yang mau mereka berikan pada yang lain.
Catatan Kaki:
[1] Q.S. al-Anbiyâ`: 107.
[2] Q.S. al-Furqân: 1.
[3] Q.S Shâd: 87-88.
[4] Q.S. al-Isrâ`: 70.
[5] H.R. al-Imam Ahmad, no. 22391, dari Abû Nadhrah.
[6] Q.S. al-Hujurât: 13.