Kita meyakini bahwa perbedaan dalam cabang-cabang agama—entah dalam bidang akidah ataupun amal ibadah—adalah sesuatu yang pasti terjadi dan ia tidak akan menimbulkan efek yang buruk dan berbahaya jika disertai adab-adab berbeda pendapat. Bahkan, ia merupakan sebuah keniscayaan, rahmat, dan kelapangan.
Keinginan ilahi menghendaki adanya perbedaan pemahaman manusia terhadap agama. Perbedaan tersebut beranjak dari tuntutan bahasa. Pasalnya, bahasa yang dipergunakan sebagai sumber acuan agama ini mengandung hakikat dan kiasan, ekplisit dan implisit, umum dan khusus, mutlak dan terikat, dan sebagainya. Di dalamnya terdapat perbedaan pemahaman.
Ia merupakan fitrah manusia karena Allah tidak menciptakan manusia dalam bentuk salinan yang berulang-ulang. Akan tetapi, masing-masing memiliki pemikiran, kecenderungan, dan kehendak yang berbeda. Ada yang dungu, ada yang pintar, ada yang jenius. Ada pula yang mudah dan lapang yang cenderung memudahkan. Sementara, ada pula yang sulit dan keras yang cenderung mempersulit.
Perbedaan ini juga merupakan rahmat terhadap manusia. Seandainya syariat hanya berupa satu pandangan, tentu akan menyulitkan umat. Ia hanya akan bisa diterima oleh sekelompok manusia, dan sulit untuk diterima oleh pihak lain.
Perbedaan ini menjadi khazanah kekayaan pemahaman, suburnya syariat, dan kelapangan bagi umat. Bisa jadi ada satu pendapat yang cocok untuk masa tertentu; tetapi tidak cocok untuk masa yang lain. Bisa jadi ada yang sesuai untuk satu negeri sementara ia tidak sesuai untuk negeri yang lain. Bisa pula ia tepat untuk satu kondisi, namun tidak tepat untuk kondisi yang lain. Keragaman pandangan membuka ruang untuk memilih dalil yang paling kuat, jalan yang paling tepat, serta yang paling sesuai untuk mewujudkan sejumlah tujuan syariat dan kemaslahatan makhluk.
Karena itu, upaya untuk melenyapkan perbedaan, membuat berbagai aliran madzhab, serta menyatukan semua orang di atas satu pendapat merupakan upaya yang tidak mungkin dan tidak berguna. Kita telah melihat bagaimana dada umat demikian lapang menerima berbagai madzhab, aliran, dan perbedaan pandangan.
Dari sini kita tidak boleh merasa gelisah dengan perbedaan yang ada. Namun, kita berusaha sekuat tenaga untuk menjadikannya sebagai perbedaan yang mengarah kepada kekayaan dan variasi; bukan perbedaan yang mengarah kepada konflik dan pertentangan. Kita semua juga harus komitmen dengan etika berbeda pendapat dan mengetahui fiqih ikhtilaf atau yang disebut oleh sebagian orang pada masa kini dengan fiqih I’tilaf (fiqih persatuan). Maksudnya pandangan boleh berbeda tetapi hati kita tidak boleh berbeda. Dalam menghadapi berbagai persoalan umat yang besar ini kita harus berdiri dalam satu barisan seperti satu bangunan yang kokoh yang saling menguatkan. Kita tidak boleh membiarkan satu celah untuk musuh yang sedang menunggu kesempatan untuk masuk guna menceraiberaikan persatuan kita dan memecah belah kita. Terutama, dalam kurun waktu yang sulit ini di mana umat ini dihadapkan pada makar yang paling hebat dan agamanya sedang dihadapkan pada bahaya. Bahkan mereka ingin merubah dari akar-akarnya dengan cara merubah budayanya, konsep berpikirnya, dan identitasnya, serta bahkan pendidikan agamanya. Mereka ingin campur tangan di dalamnya guna membentuk satu umat yang tidak memiliki risalah yang tunduk pada seluruh rancangan mereka dan merespon seluruh keinginan mereka.
Persatuan Islam dibutuhkan selalu. Namun, ia paling dibutuhkan pada saat ini di mana umat baru bisa terlepas dari bencana ketika mereka saling memelihara dan menjaganya.
Persatuan tersebut harus diawali di antara para ulama yang memimpin umat lewat hukum-hukum syariat di atas landasan, ”Kita bekerja sama dalam hal yang disepakati dan berdialog dalam hal yang masih diperselisihkan.”
Yang kita tuju adalah adanya dialog yang konstruktif yang bertujuan memperlihatkan kebenaran dan membuka pintu kerja sama dalam kebaikan. Dialog tersebut pertama-tama harus terwujud di antara para ulama dan pemikir dalam suasana persaudaraan serta di bawah kerangka ilmiah dan sikap objektif; jauh dari lontaran pemikiran yang membabi buta.
Kedua, kita meyakini bahwa hubungan antara muslim dan saudaranya sesama muslim berdasarkan prasangka baik terhadapnya serta bagaimana mengantarnya menuju kepada kebaikan. Ia tidak memposisikannya sebagai orang yang berdosa, fasik, dan ahli bid’ah kecuali dengan dalil yang qath’i. Dan hal terburuk yang dilakukan oleh seorang muslim terhadap muslim lainnya adalah ketika ia menganggap saudaranya melakukan kekufuran terbesar serta mengeluarkannya dari agama Islam tanpa ada hujjah dan bukti dari Allah—yakni tanpa keberadaan nash yang jelas dan pasti baik dari sisi kedudukan maupun petunjuknya dengan tidak mengandung keraguan dan perdebatan.
Adapun yang masih diperdebatkan dan diperbincangkan maka ia harus ditafsirkan bagi kebaikan muslim. Siapa yang keislamannya sudah diyakini, maka keyakinan tersebut tidak bisa dihapuskan dengan keraguan.
Hadis-hadis sahih yang demikian berlimpah mengingatkan kita untuk tidak mengafirkan antar kaum muslimin. Hal ini tak boleh dipandang remeh sedikitpun sehingga setiap kelompok merasa boleh mengafirkan orang-orang yang berbeda pandangan dengannya. Nabi saw. bersabda,
وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللَّهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ
Siapa yang menyebut seseorang sebagai kafir atau mengatakan, ”Musuh Allah!” padahal tidak demikian, maka kondisi tersebut kembali kepadanya.[1]
أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ
Jika seseorang berkata kepada saudaranya, ”Wahai orang kafir!” maka kekafiran melekat kepada salah satu dari keduanya jika ia memang seperti yang dikatakan. Namun, jika tidak ia kembali kepada yang mengucapnya.[2]
Sikap mengafirkan adalah dosa agama, kesalahan ilmiah, dan sebuah kejahatan sosial. Sebab, ia menyebabkan perpecahan umat dan bisa memicu munculnya kondisi yang diperingatkan oleh Rasulullah saw.,
لَا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ
”Janganlah sesudah kepergianku kalian kembali saling membunuh.”
Meskipun tindakan mengafirkan diperbolehkan jika disertai dengan bukti-bukti nyata, namun ia harus ditujukan kepada jenis perbuatannya bukan kepada orangnya. Misalnya dengan berkata, ”Siapa yang mengucap ini dan itu berarti ia telah kafir. Siapa yang berbuat demikian berarti ia kafir. Siapa yang mengingkari ini berarti ia kafir.” Jadi, tidak boleh menyebutkan orangnya dengan berkata, ”Fulan kafir,” kecuali setelah ada interogasi, penelitian, dan pemeriksaan tanpa disertai keraguan sedikitpun. Ini hanya dapat dilakukan oleh peradilan.
Dari sini kita dapat berkata bahwa memberikan hak kepada semua orang untuk menilai murtad seseorang seraya menganggap orang tersebut layak dihukum mati sangatlah berbahaya bagi darah, harta, dan kehormatan manusia. Sebab berarti orang biasa–yang tidak memiliki ilmu seperti yang dimiliki para mufti, tidak memiliki kebijaksanaan seperti yang dimiliki oleh para hakim, dan tidak memiliki tanggung jawab seperti yang dimiliki para eksekutif—menggenggam tiga kekuasaan sekaligus. Yaitu memberi fatwa—dengan kata lain menuduh, menghakimi, dan mengeksekusi.
Ketiga, kita meyakini adanya persatuan di antara mereka yang memiliki kiblat sama apapun jenis perbedaan yang ada dan di manapun kaum muslimin mereka adalah tetap merupakan satu umat sesudah mereka ridha Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai nabi dan rasul, serta Alquran sebagai pemimpin dan pedoman hidup. Allah befirman,
إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ
Sesungguhnya umat ini adalah umat yang satu dan Aku adalah Tuhanmu. Maka, sembahlah Aku.[3]
Dengan melihat kepada kesamaan akidah, syariat, dan tujuan, mereka dikumpulkan oleh persaudaraan atas landasan iman. Islam memberikan kepada persaudaraan ini sejumlah hak yang tetap dalam hal pembelaan, solidaritas, dan perlindungan.
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ
Muslim yang satu dengan muslim yang lain tidak boleh menzalimi dan membiarkan dizalimi.
الْمُسْلِمُونَ يَسْعَى بِذِمَّتِهِمْ أَدْنَاهُمْ وَيُجِيرُ عَلَيْهِمْ أَقْصَاهُمْ وَهُمْ يَدٌ عَلَى مَنْ سِوَاهُمْ
Kaum muslimin, orang yang paling dekat dari mereka dapat memberikan keamanan, dan yang paling jauh bisa memberikan perlindungan. Mereka satu tangan atas yang lain.[4]
Amal yang paling utama di sisi Allah adalah berusaha merekatkan di antara kaum muslimin, memerbaiki hubungan di antara mereka, menghilangkan sebab-sebab perpecahan antara kelompok dan golongan mereka.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Karena itu, perbaikilah hubungan antara kedua saudaramu itu dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mendapat rahmat.[5]
Dalam hadis disebutkan,
أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَفْضَلَ مِنْ دَرَجَةِ الصِّيَامِ وَالصَّلَاةِ وَالصَّدَقَةِ قَالُوا بَلَى قَالَ إصلَاحُ ذَاتِ الْبَيْنِ فَإِنَّ فَسَادَ ذَاتِ الْبَيْنِ هِيَ الْحَالِقَةُ
”Maukah kutunjukkan kepada kalian kedudukan yang lebih utama daripada shalat, puasa, dan sedekah?” ”Tentu,” jawab mereka. Maka, beliau bersabda, ”Mendamaikan orang yang sedang bermusuhan. Rusaknya hubungan menjadi pemutus.”[6]
Kaum muslimin adalah bersaudara. Mereka disatukan oleh akidah yang sama, kiblat yang sama, iman kepada kitab suci yang sama, rasul yang sama, dan syariat yang sama. Mereka harus menghilangkan seluruh faktor yang bisa memecah belah kesatuan mereka. Entah itu berupa sikap fanatisme ras dan teritorial, sikap mengekor kepada konsep impor baik yang berhaluan kiri maupun kanan, menampakkan loyalitas kepada pihak yang memusuhi umat baik Barat maupun Timur, sikap mengikuti hawa nafsu dan egoisme yang menginjak-injak kepentingan umat yang besar ini guna meraih keinginannya yang kecil dan keuntungan sementara.
Mereka juga harus memindahkan solidaritas Islam dari sebatas wacana kepada amal yang nyata. Mereka harus mendukungnya dan memperluas cakupannya hingga ke dalam bentuk politis yang berupa persatuan atau keberadaan blok di dunia kita pada saat ini di mana yang kecil berada dalam perlindungan pihak yang besar. Ia hanya bisa berhasil jika berupa negara-negara atau blok yang yang besar. Umat Islam layak menjadi sebuah blok terbesar jika mereka mau merespon seruan Tuhan,
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
Berpegang teguhlah kalian semua kepada tali Allah dan jangan berpecah belah.[7]
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ
Janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah belah dan bertikai setelah datang sejumlah petunjuk kepada mereka.[8]
وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ
Janganlah kalian saling bertikai! Jika demikian, pasti kalian gagal dan kehilangan kekuatan.[9]
Kaum muslimin harus bahu-membahu untuk membebaskan negeri Islam dari para perampasnya sesuai dengan orientasi untuk meraih kemaslahatan Islam yang paling tinggi, serta kebutuhan dan tuntutan di bidang militer, ekonomi, dan kemanusiaan. Aktivitas mereka dalam hal ini merupakan jihad yang paling utama dalam Islam. Siapa yang tak mampu seorang diri untuk melawan agresor dan memerdekakan negerinya, maka seluruh kaum muslimin berkewajiban menolongnya semampu mungkin.
Palestina khususnya, menjadi tempat jihad kaum muslimin pada saat ini. Ia adalah tanah air kenabian, tempat Isra Nabi saw., serta negeri tempat Masjidil Aqsa. Ia adalah persoalan setiap muslim. Karena itu, umat Islam seluruhnya harus membantu apa yang dibutuhkan oleh penduduknya agar negeri mereka yang terampas bisa merdeka, agar rakyatnya bisa mendapatkan haknya kembali, serta agar mereka bisa menegakkan negara yang merdeka di tanah airnya.
Catatan Kaki:
[1] H.R. Muslim dan Ahmad dari Abû Dzarr al-Ghifari ra.
[2] H.R. al-Bukhârî dan Muslim dari Ibn Umar.
[3] Q.S. al-Anbiyâ`: 92.
[4] H.R. Abu Dawud dari Ibn Umar, Ibn Mâjah dari Ibn Abbâs, dan Ahmad dari Abdullah ibn Amr.
[5] Q.S. al-Hujurât: 10.
[6] H.R. al-Tirmidzî dan Ahmad dari Abû al-Dardâ`.
[7] Q.S. Ali Imran: 103.
[8] Q.S. Ali Imran: 105.
[9] Q.S. al-Anfâl: 46.
3 comments
Izin share tulisan ini🙏
Jazaka Allahu Khairan Kathira
Logikanya begitu, namun kita sulit menghadapi orang yang hatinya “TAASSUB” terhadap golongan/alirannya. Mereka mengklaim, bahwa golongannya lah yang paling benar. Kelompok ini mayoritas di Indonesia