Katib Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Sarmidi Husna mengungkapkan bahwa Ramadhan adalah bulan literasi. Sebab di dalam bulan yang suci ini, terdapat peringatan Nuzulul Qur’an. Wahyu yang pertama kali turun pada momentum ini adalah QS Al-Alaq ayat 1-5.
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ. خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ. اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ. الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ. عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan; Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah; Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah; Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qalam (pena); Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Menurut Kiai Sarmidi, terdapat dua poin di dalam wahyu Al-Qur’an yang turun itu. Pertama adalah iqra’ yakni perintah untuk membaca. Kedua, qalam yang berarti umat Islam diperintah untuk menulis.
“Jadi Ramadhan bulan literasi, karena ada perintah membaca dan menulis supaya manusia yang tidak tahu menjadi tahu. Konteksnya, biar kita tahu apa itu wakaf,” ungkap Kiai Sarmidi yang juga Sekretaris Badan Wakaf Indonesia (BWI) ini dalam agenda Workshop Jurnalis Wakaf 2022 bertajuk Penguatan Literasi dan Jaringan Jurnalis Wakaf dalam Pemberitaan Media, di Hotel Grand Savero Bogor, Jawa Barat, Sabtu (9/4/2022).
Ia berkisah, Rasulullah pernah menelurkan kebijakan yang sangat revolusioner. Kebijakan ini diungkapkan Nabi Muhammad kepada para tawanan setelah memenangkan perang Badar, pada 17 Ramadhan 2 H.
“Setelah perang badar, Rasulullah memberikan kebijakan yang revolusioner, yaitu para tawanan perang badar diperintah untuk mengajari umat Islam membaca dan menulis, dengan imbalan bebas kalau bisa mengajarkan,” ungkap Kiai Sarmidi.
Kemudian para tawanan benar-benar memberikan pengajaran menulis dan membaca, karena umat Islam pada saat itu masih banyak yang buta huruf. Salah satu sahabat yang mengajari menulis dan membaca adalah Zaid bin Tsabit. Ia menjadi katibul wahyi Qur’an atau penulis wahyu Al-Quran. Sebab sebelumnya, wahyu atau teks Al-Qur’an masih dicatat di kulit, batu, dan tulang-tulang lantaran belum ada kertas.
“Semua yang disampaikan Rasulullah dan dinyatakan itu sebagai wahyu, maka dicatat oleh sahabat Zaid bin Tsabit. Kemudian, mulai ada kodifikasi Al-Qur’an, di zaman Sahabat Utsman. Itu menyeragamkan Al-Qur’an yang sering kita baca ini, sering disebut Mushaf Utsmani. Dari kebijakan revolusioner Rasulullah akhirnya kita bisa menikmati mushaf itu,” ujar Kiai Sarmidi.
Iqra pada Ramadhan telah dipraktikkan baik tekstual maupun kontekstual. Tekstualnya adalah membaca Al-Qur’an. Pada Ramadhan, intensitas umat Islam membaca Al-Qur’an lebih banyak daripada bulan-bulan yang lain.
Bahkan di pesantren-pesantren, tidak hanya Al-Qur’an yang dibaca, tetapi juga mengaji kitab-kitab yang lain seperti kitab hadits, fikih, tasawuf, dan tafsir. Biasanya, kitab-kitab yang kecil akan selesai dikaji selama 15 hari.
“Artinya, intensitas orang untuk belajar dan ngaji itu waktunya lebih lama. Kadang-kadang seharian penuh, kiai mengaji,” jelasnya.
Intensitas membaca secara kontekstual di bulan Ramadhan yang dilakukan umat Islam juga mengalami peningkatan. Di bulan yang penuh keberkahan ini, umat Islam bersemangat untuk bersedekah saat sedang berpuasa. Hal ini sebagai wujud kepedulian kepada kaum lemah atau orang yang membutuhkan.
“Inilah yang saya sebut Ramadhan sebagai bulan literasi. Jadi tepat, kita bahas peningkatan literasi di bulan Ramadhan. Mudah-mudahan kita mendapatkan berkahnya Ramadhan, sehingga literasi wakaf segera meningkat. Karena literasinya masih sangat rendah,” pungkasnya.