Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
Tak Gentar karena Gertakan
Jika diperhatikan peristiwa setelah Perang Khandaq , kita dapat membayangkan kepayahan yang diderita Nabi saw. Orang yang bisa menggunakan akalnya dapat merasakan: setiap pekerjaan selalu didahului kondisi sulit.
Hampir semua peraturan Allah, selalu menghajatkan perjuangan. Tegasnya, yang dicita-citakan belum tercapai tapi kesulitan yang merintangi kelihatan bertubi-tubi. Peristiwa itu bagi orang yang berakal sehat, tidaklah dipandang sebagai rintangan. Ia menganggapnya sebagai “gertakan”.
Gertakan itu ialah kondisi yang menakut-nakuti tapi pada hakikatnya tidak membahayakan jika kita yakin bisa mengatasinya. Persis seperti anak kecil yang digertak oleh seekor anjing dengan gonggongan yang menyalak. Jika anak kecil itu lari ketakutan, maka anjing itu akan dengan cepat mengejarnya dan menggigitnya. Namun jika ia tidak takut bahkan memungut batu atau bahkan pura-pura memungut batu, anjing justru akan lari sebelum batu dilemparkan.
Jika ragu-ragu dan takut, maka ia kalah gertak. Akibatnya, ia menjadi mangsanya, ditangkap dan ditekan begitu saja. Tetapi, bagi orang yang mengerti bahwa suara itu hanya “gertakan” saja, tentu tidak diacuhkan. Justru diusahakan supaya lenyap dari hadapannya.
Bagi yang menggunakan akal dan punya pendirian teguh, walaupun seribu kali digertak, takkan takut. Bahkan, ia tambah berani, karena merasa (dipermainkan oleh si penggertak). la menyadari dirinya sendiri, memercayai kekuatan dan daya yang dianugerahkan Allah kepadanya. Dengan demikian, ia bisa meneguhkan pendiriannya dan sanggup mengatasi kesulitan yang akan menghalanginya. la tidak akan berhenti jika belum tercapai. la penuh keyakinan bahwa pada hakikatnya di dalam perjuangan hidup manusia itu tak ada yang sukar dikerjakan asal disertai kemauan keras yang dibentengi pendirian teguh.
Ketika itu kaum Muslimin dipimpin Nabi saw. Mereka membela kebenaran dan mempertahankan hak yang telah dipercayai, tidak gentar dan tidak takut sedikit pun dengan gertakan musuh. Meskipun pasukan Ahzab berjumlah lebih dari tiga kali lipat, mereka tak gentar. Pasukan Ahzab itu hanyalah menggertak! Menghadapi gertakan tak boleh ciut. Jika sedikit saja gentar, musuh akan makin berani.
Kaum Muslimin justru makin berani membela kebenaran dan mewujudkan cita-cita mereka: menegakkan kebenaran di muka bumi. Dengan demikian, mereka pantang mundur dalam menghadapi rintangan yang bagaimana pun keadaannya. Perkataan “mundur” tidak ada bagi mereka, yang ada hanya perkataan “maju”. Perkataan “kalah” pun tidak pernah terdengar bagi dari mereka, tapi perkataan “menanglah” yang selalu terdengar. Mereka bertindak demikian karena ingat firman Allah yang telah diturunkan kepada Nabi.
Di antara firman Allah yang dibacakan Nabi saw dan didengarkan sungguh-sungguh oleh mereka kala itu, ialah ayat-ayat yang diturunkan usai terjadi Perang Badar Kubra dan Perang Uhud, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi tentara (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agat komuberurtfung,”(QS al-Anfaal: 45).
Ayat ini mengandung pelajaran amat dalam dan luas bagi segenap kaum Muslimin. Ayat ini dengan tegas dan jelas menyatakan bahwa Allah akan memberi suatu pimpinan kepada orang beriman. Yakni, apabila mereka bertemu atau bertempur dengan segolongan musuh, supaya mereka tabah dan banyak mengingat Allah. Dengan demikian, mereka akan memperoleh kemenangan.
Tabah hati dalam menghadapi musuh dengan penuh keyakinan bahwa musuh pasti kalah dan tentu binasa. Mereka bertempur melawan musuh untuk membela kebenaran dan menegakkan kalimah Allah, bukan karena siapa-siapa selain-Nya. Selain itu, mereka juga mengingat Allah dalam menghadapi musuh dengan penuh kepercayaan bahwa Allah pasti memberikan bantuan-Nya. Sebab, di samping kekuatan lahir, ada kekuatan gaib yang lebih kuat dan lebih berkuasa, yaitu kekuatan yang kekuasaan Allah. Dengan cara itu mereka memperoleh kemenangan.
Karena tentara Islam kala itu bersungguh-sungguh melaksanakan perintah ayat itu dengan seksama, maka dalam pertempuran mengahadapi musuh, mereka tetap tegar. Sebesar apa pun gertakan, tak membuat mereka goyah. “Mati” atau “hidup” bagi setiap pribadi bukan menjadi soal penting. Dalam hati mereka masing-masing telah penuh kepercayaan bahwa tak ada nama “mati” selama nama “hidup” masih dituliskan oleh Allah. Tak ada “hidup” selama nama “mati” telah dituliskan oleh-Nya. Bagi mereka tak ada kata payah dan susah walaupun setiap saat diperintahkan Nabi saw untuk bertempur melawan musuh.
Heroisme dalam Perang Khandaq
Para pembesar kaum musyrikin serentak maju untuk mencari celah. Kuda-kuda mereka hela untuk melompati dan menyeberangi parit. Akhirnya, mereka menemukan tempat yang agak sempit dan luput dari perhatian kaum Muslimin.
Kuda-kuda belum diseberangkan, namun beberapa orang mulai masuk. Mereka adalah Ikrimah bin Abu Jahal, Naufal bin Abdulah al-Makhzumi, Dhirar bin Khaththab al-Fahri, Hubairah bin Abi Wahb dan Amr bin Abdul Wudd. Umar bin Khaththab dan Zubair bin Awwam berusaha mengejar mereka hingga baju besi Hubairah terjatuh lalu diambil Zubair.
Keesokan harinya, kaum musyrikin datang lagi pada pagi buta. Rasulullah saw memobilisasi para shahabat untuk bertempur melawan mereka hingga tengah malam. Rasulullah saw dan kaum muslimin tak dapat meninggalkan tempat itu. Bahkan tidak dapat melaksanakan shalat Zhuhur, Ashar, Magrib dan Isya. Para shahabat berkata, “Ya Rasulullah kami belum shalat.”
Beliau menjawab, “Aku juga belum shalat, demi Allah.”
Akhirnya, Allah menghentikan serangan kaum musyrikin dan masing-masing kubu kembali ke tempatnya.
Usaid bin Hudhair memimpin 200 tentara berdiri di bibir parit. Kuda-kuda kaum musyrikin maju dan yang paling depan adalah Khalid bin Walid yang kala itu masih kafir. Beberapa lama Usaid menghadapi serangan mereka. Wahsyi melemparkan tombaknya ke arah Thufail bin Nu’man dan berhasil membunuhnya sebagaimana ia membunuh Hamzah dalam Perang Uhud.
Ketika sampai ke tendanya, Rasulullah saw memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan azan dan iqamat untuk shalat Zhuhur, lalu masing-masing waktu shalat (yang tertinggal) dikumandangkan iqamat dan beliau melakukan shalat sebaik saat melaksanakan pada waktunya. Setelah itu Rasulullah saw bersabda, “Orang-orang musyrikin membuat kami meninggalkan shalat wushtha. Mudah-mudahan Allah memenuhi rongga mulut dan kuburan mereka dengan api.”
Di antara sekian banyak pertempuran kecil itu, menarik kalau sekilas kita paparkan satu episode heroisme para sahabat Nabi saw. Adalah Amr bin Abdu Wudd, seorang tokoh kafir Quraisy yang pernah ikut bertempur melawan kaum Muslimin dalam Perang Badar hingga meninggalkan bekas luka di tubuhnya. Pada Perang Khandaq ini ia datang dengan membawa dendam yang tak sempat terbalaskan di medan Uhud. Ia datang mengenakan tanda pengenal khusus agar dapat diketahui. Ketika berhenti dengan kudanya di depan parait, ia berteriak menantang: “Siapakah yang berani melawanku?”
Mulanya tak ada yang berani meladeni tantangnnya. Hingga akhirnya Ali bin Abi Thalib bengkit berdiri. “Hai Amr, kamu telah berjanji kepada Allah bahwa tidaklah orang Quraisy mengajakmu kepada dua hal kecuali kamu menyebutnya.”
“Benar,” jawab Amr.
“Aku mengajakmu kepada Allah Rasul-Nya dan Islam,” kata Ali.
“Aku tidak butuh semua itu!”
Ali berkata lagi, “Kalau begitu aku mengajakmu bertempur.”
“Mengapa anak saudaraku? Demi Tuhan aku tidak ingin membunuhmu.”
“Demi Allah, aku ingin membunuhmu!” ujar Ali.
Amr merah padam mendapat tantangan Ali. Ia turun dari kudanya, membabat dua kaki hewan itu sekaligus dengan pedangnya. Begitu caranya menggertak Ali. Dalam sekejap keduanya terlibat perkelahian. Pedang tajam Ali akhirnya berhasil menebas leher Amr bin Abdul.
Demikianlah, kesungguhan upaya manusiawi dapat memainkan perannya dalam perang secara baik. Kaum Muslimin tidaklah pelit untuk mempersembahkan nyawa dan darah mereka sebagai bahan bakar perang hingga Allah menyiapkan kemenangan serta menjadikannya hak milik bagi kaum Muslimin. Bara heroisme terus bergolak di pinggiran parit Madinah.
Teladan dari Ibnul Yaman
Hudzaifah Ibnul Yaman. Dialah yang ditugaskan oleh Nabi saw untuk menyelinap ke tengah musuh pada perang Khandaq, guna mengetahui kondisi mereka. Ia pun berhasil menelusup di tengah rapat penting yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb. Yang menarik, meski kala itu Hudzaifah bisa saja membunuh Abu Sufyan, tapi itu tidak ia lakukan. Ia ingat tugas Rasulullah saw yang memintanya agar memata-matai, bukan membunuh!
Ini pelajaran menarik. Bahwa, dalam bergerak kita tak boleh berjalan sendiri-sendiri. Harus ada koordinasi dengan pimpinan. Mungkin secara pribadi kita punya peluang untuk melenyapkan kemungkaran. Namun tetap harus dipikirkan jangan sampai tindakan kita merusak rencana besar yang sudah disiapkan.
Di sinilah pentingnya kita hidup berjamaah. Jangan hidup sendiri-sendiri. Tak ada manusia yang tahan sendirian. Sendirian itu dingin dan mencekam. Baik dalam pengertian fisik maupun kejiwaan.
Begitu bahayanya kesendirian ini, tak heran kalau Rasulullah saw bersabda, “Berdua lebih baik daripada sendiri. Bertiga lebih baik daripada berdua. Berempat lebih baik daripada bertiga, maka hendaklah kalian tetap bersama berjamaah, karena sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku kecuali atas sebuah petunjuk (hidayah),” (HR Ahmad).
Umar bin Khaththab dalam salah satu isi khutbahnya pernah berkata, “Barangsiapa di antara kamu menginginkan kenikmatan surga, hendaklah ia senantiasa komitmen dengan jamaah.” Dalam kesempatan lain, seperti dikutip ad-Darimy dalam Sunan–nya, Umar berkata, “Tiada Islam tanpa jamaah, tiada jamaah tanpa imamah, tiada imamah tanpa taat dan tiada taat tanpa baiat.”
Begitu pentingnya hidup berjamaah sampai-sampai Rasulullah saw tetap memerintahkan kaum Muslimin untuk terus hidup berjamaah walau dalam keadaan bagaimanapun. “Barangsiapa melihat ketidakberesan yang menjengkelkan pada pemimpinnya maka hendaklah ia bersabar. Sesungguhnya barangsiapa yang memisahkan diri dari jamaah walau sejengkal pun kemudian mati, maka ia mati dalam kejahiliyahan,” (HR Muslim).
Nabi Muhammad saw takkan pernah memaafkan orang yang meninggalkan jamaah hanya karena tak cocok bersama orang lain dalam jamaahnya. Sebab, “Kekeruhan jamaah, jauh lebih baik daripada kejernihan individu (yang tidak berjamaah),” kata Ali bin Abi Thalib.
Teramat naif dan begitu kerdil cara kita berpikir jika kita keluar dari berjamaah hanya karena kesalahan individu secara kasuistis, atau lantaran ketidaksukaan kita terhadap beberapa orang. Justru, kita harus berada tetap dalam jamaah agar kesalahan itu tidak terjadi lagi.