Oleh: Dr. ‘Athiyah ‘Adlan
(Anggota Persatuan Ulama Muslim Internasional)
Kalimat-kalimat yang terdengar bagaikan lonceng bahaya mulai bergema di atmosfer dunia Islam. Sekelompok ulama di Istanbul menyuarakannya, sementara di waktu yang sama, sebuah pernyataan yang menggelegar seperti petir datang dari Persatuan Ulama Muslim Internasional di Doha. Di Mesir, Syaikh al-Azhar terus-menerus melontarkan kritik terhadap entitas Zionis dan menyerukan kepada negara-negara Arab agar bersatu menghadapi bahaya Zionisme.
Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Ini adalah kebangkitan para ulama yang menjadi pertanda kebangkitan Islam yang sejati. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, kita melihat umat Islam berada pada posisi yang tepat—dipimpin oleh para ulama dan para pemangku kebijakan. Besok, kita akan melihat gema dari seruan yang penuh berkah ini dalam diri para pemuda dan generasi penerus umat. Langkah yang diambil oleh para ulama diaspora di Istanbul ini bukanlah sekadar reaksi emosional sesaat atau semangat yang cepat padam. Ini adalah kebangkitan sejati.
Kebutuhan Umat akan Kepemimpinan Ulama
Betapa umat sangat membutuhkan kepemimpinan ulama dalam setiap keadaan. Para ulama adalah suara syariat dan lidah wahyu. Mereka adalah para penandatangan atas nama Tuhan semesta alam. Ketidakhadiran mereka dari medan peristiwa berarti meniadakan peran syariat, membungkam suara wahyu, dan menjauhkan peristiwa dari hukum-hukum Allah.
Umat ini telah ditakdirkan—dan sungguh ini adalah takdir yang mulia—bahwa tidak akan ada keberhasilan atau petunjuk kecuali dengan agamanya. Inilah landasan utama yang saya yakini telah mendorong para ulama untuk mengambil sikap mereka yang sekarang. Maka dari itu, kita patut menantikan hasil yang baik, bila jalan ini terus dilanjutkan dan semakin matang dari hari ke hari, serta semakin menyatu dengan peristiwa-peristiwa besar yang diperkirakan akan semakin deras dan luas dalam waktu dekat.
Sesungguhnya para ulama adalah “ulil amri” (pemegang otoritas) yang sejati. Allah Ta’ala berfirman:
“Kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan kepada ulil amri di antara mereka, niscaya orang-orang yang mengerti akan dapat mengetahuinya dari mereka” (QS. An-Nisa: 83).
Banyak mufassir seperti al-Jashshash dan Ibn al-‘Arabi menegaskan bahwa “ulil amri” adalah para ulama dan pemimpin. Para peneliti dari kalangan ulama juga menekankan bahwa para ulama adalah landasan utama, karena para pemimpin tidak dapat mengambil kebijakan dalam urusan publik tanpa persetujuan ulama, yang merupakan lidah syariat. Dari sinilah tampak jelas dasar pijakan dan terlihat pula arah tujuan dari langkah ini.
Ketika Kata-Kata Menjadi Sikap
Kekuatan dari pernyataan-pernyataan ulama yang terakhir ini terletak pada kenyataan bahwa mereka bukan sekadar ucapan, tetapi merupakan sikap nyata. Kata-kata tersebut berfungsi sebagai tindakan. Di sinilah kita bisa membedakan antara kata dan kata—antara kata yang sejatinya adalah sikap, dan kata yang hanyalah pengisi ruang kosong.
Kata yang merupakan sikap adalah kata yang menciptakan gerakan sadar yang matang, kata yang menyentuh hati dan membangkitkan perasaan. Ingin contoh nyata? Lihatlah sikap gadis Maroko bernama Ibtihaal Abu al-Sa‘d, yang hanya dengan satu ucapan, gaungnya menyebar ke penjuru dunia, menggetarkan media sosial, dan menggugah hati dan jiwa. Karena ucapannya bukan sekadar kata, melainkan sikap nyata.
Kata-sikap itu adalah kata yang diucapkan atau ditulis seseorang dengan kesadaran akan risiko yang menyertainya, bahkan dengan kemungkinan besar menanggung kerugian. Gadis itu telah menghadapi ujian pertamanya dengan pemecatan dari Microsoft, dan kita memohon kepada Allah agar Dia melindunginya dari ujian-ujian lain yang mungkin datang. Namun pada akhirnya, dia telah melesatkan panahnya dan tepat menembus jantung lembaga yang telah membantu kejahatan dengan teknologinya.
Jika panah-panah terus mengarah ke lembaga-lembaga pendukung kejahatan, kemenangan pasti akan berpihak pada kaum tertindas. Maka, kami berharap seluruh ulama berdiri di posisi yang benar dengan ucapan yang merupakan sikap, bukan hanya kata kosong. Para ulama wajib meninggalkan zona nyaman yang tenang dan mulai menyentuh serta terlibat langsung dalam isu-isu besar dan krusial.
Menghadapi Para Penyesat Adalah Kewajiban Orang-Orang Tulus
Di saat kita menyaksikan seorang gadis muda, dibesarkan di Barat, menempuh pendidikan di Amerika, tanpa pernah duduk di hadapan seorang faqih atau muhaddits, mampu mengucapkan kata yang menjadi sikap dan mengguncang jagat media; kita juga melihat—sebagai perbandingan—seorang syaikh berjanggut panjang hingga ke pusarnya, bajunya menggantung ke lututnya, dahinya dipenuhi bekas sujud, punggungnya bungkuk karena berjaga membaca dan mengkaji kitab, bahkan hampir tidur dengan kitab tafsir dan syarah yang sudah sangat dikenalnya.
Kita menyaksikannya berkata:
“Penduduk Gaza memilih untuk masuk ke medan perang sendirian, tanpa berkonsultasi dengan negara-negara Islam yang bisa saja membantu. Jika kita ingin berperang dengan Yahudi, kita harus memberitahu mereka terlebih dahulu bahwa perjanjian antara kita sudah berakhir!”
Perjanjian apa? Konsultasi apa? Apakah Anda menganggap perjanjian damai Arab-Israel itu sebagai perjanjian sah? Tidak ada satu pun Muslim—di Timur maupun Barat—yang mempercayainya kecuali Anda dan segelintir orang yang tak berilmu dan tak berakal.
Perjanjian Camp David, Madrid, Wadi Araba, Oslo, Annapolis, dan Abraham Accords bukanlah perjanjian damai. Anda bahkan tak mampu membedakan antara janji yang tulus dan tipu muslihat pengkhianatan. Itu semua hanyalah kontrak penyerahan dan tunduk. Dan Anda hanyalah orang yang menyangka dirinya ulama lalu menyombongkan diri menyaingi para ulama sejati dengan kesombongan dan keangkuhan.
Anak kecil di ranjangnya, gadis perawan di kamarnya, dan nenek tua di gubuknya sudah memahami kenyataan ini. Lalu, apa ini semua? Apakah ini bentuk pemalsuan yang Anda sebarkan dengan pongah dan tanpa malu?
Apakah Anda benar-benar seorang salafi? Ataukah hanya makhluk yang menyamar sebagai salafi, padahal tak ada kaitannya dengan salaf maupun khalaf? Salaf adalah para pejuang jihad dan penolong kebenaran. Salafiyah adalah berjalan di atas jalan mereka. Di mana posisi Anda dan dakwah Anda dari semua itu?
Demi Allah—jika masih tersisa dalam dirimu rasa takut kepada-Nya—lepaskanlah para pemuda yang tertipu olehmu, yang mengira engkau berilmu dan wara’, kembalilah kepada kitab-kitab yang telah kau rendahkan, dan telaah ulang isinya hingga engkau bisa belajar kembali.
Semua perjanjian damai yang dibuat dengan musuh Zionis adalah batil. Kebatilannya adalah kesimpulan yang ditegaskan oleh pokok dan cabang dalam seluruh mazhab fiqih utama, baik Sunni maupun non-Sunni.
Kitab-kitab fiqih dari mazhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Imamiyah, Ibadhiyah, dan Zaidiyah sepakat bahwa syarat sahnya sebuah perjanjian tidak dipenuhi oleh satu pun perjanjian damai tersebut. Bahkan satu saja syarat dari empat yang wajib jika tidak terpenuhi, maka perjanjian menjadi batal seluruhnya.
Adapun mazhab Zahiri, mereka lebih keras lagi dalam penolakan. Mereka menolak keberadaan perjanjian semacam itu sejak awal. Maka dari mana—demi Tuhan langit—engkau datangkan omong kosong seperti itu? Siapa yang memberitahumu bahwa jika mereka mengambil keputusan sendiri, maka gugurlah kewajiban menolong mereka? Apakah engkau membuat syariat baru atau mengucapkan sesuatu atas nama agama Allah tanpa ilmu?!
Sumber: IUMS
Catatan:
Semua artikel yang diterbitkan IUMS merupakan tanggung jawab penulis masing-masing dan tidak selalu mencerminkan sikap resmi Persatuan Ulama Muslim Internasional.