Semua penetapan kewajiban ibadah disampaikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui malaikat Jibril. Namun, tidak demikian halnya dengan shalat yang penetapan kewajibannya disampaikan secara langsung oleh Allah Ta’ala melalui peristiwa besar, Isra’ dan Mi’raj.
Shalat adalah ibadah yang paling utama di dalam Islam. Seorang muslim diwajibkan mengerjakannya lima kali sehari semalam, di tambah lagi dengan shalat-shalat sunnah. Ia adalah amal pertama yang akan ditanyakan oleh Allah Ta’ala ketika seseorang masuk ke dalam kuburnya. Jika pada ibadah lain—misalnya haji dan zakat—kewajibannya disyaratkan adanya istitha’ah (kemampuan)[1], maka dalam shalat tidak ada yang dapat menggugurkan kewajibannya selagi ia masih dalam keadaan sadar. Jika tidak dapat dilakukan dengan berdiri, maka ia dapat dilakukan dengan duduk, berbaring, atau dengan isyarat.
Ringkasnya, shalat adalah ibadah yang harus dijaga dan dipelihara dengan sungguh-sungguh. Salah satu hal yang terpenting harus dijaga di dalam ibadah shalat adalah khusyu’.
Urgensi Khusyu’ dalam Shalat
Pertama, khusyu’ dalam shalat adalah cermin kekhusyu’an seseorang di luar shalat.
Khusyu’ dalam shalat artinya adalah ketundukan hati dalam dzikir (mengingat Allah) dan konsentrasi hati untuk taat kepada-Nya, maka ia akan melahirkan nata’ij (pengaruh-pengaruh positif) terhadap hal-hal di luar shalat. Oleh karena itulah Allah Ta’ala memberi jaminan kebahagiaan bagi mu’min yang khusyu’ dalam shalatnya.
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ
“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orang yang dalam shalatnya selalu khusyu’” (QS. Al-Mu’minun, 23:1-3).
Iqamatush-shalah yang sebenarnya pun akan menjadi kendali diri sehingga jauh dari tindakan keji dan munkar. Allah Ta’ala berfirman,
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ
“Dan tegakkanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah tindakan keji dan munkar” (QS. Al-Ankabut, 29: 45).
Sebaliknya, orang yang melaksanakan shalat hanya sekedar untuk menanggalkan kewajiban dirinya dan tidak memperhatikan kualitas shalatnya, apalagi waktunya, maka Allah Ta’ala dan Rasul-Nya mengecam pelaksanaan shalat yang semacam itu. Allah Ta’ala berfirman,
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ
“Maka celakalah orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya” (QS. Al-Maun, 107: 4-5)
Shalat yang tidak khusyu’ merupakan ciri shalatnya orang-orang munafik. Seperti yang Allah Ta’ala firmankan,
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, padahal Allah (balas) menipu mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri malas-malasan, mereka memamerkan ibadahnya kepada banyak orang dan tidak mengingat Allah kecuali sangat sedikit” (QS. An-Nisa’, 4:142).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تِلْكَ صَلَاةُ الْمُنَافِقِ يَجْلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسَ حَتَّى إِذَا كَانَتْ بَيْنَ قَرْنَيْ الشَّيْطَانِ قَامَ فَنَقَرَهَا أَرْبَعًا لَا يَذْكُرُ اللَّهَ فِيهَا إِلَّا قَلِيلًا
“Itulah shalat orang munafiq, ia duduk-duduk menunggu matahari sampai ketika berada di antara dua tanduk syetan, ia berdiri kemudian mematok empat kali, ia tidak mengingat Allah kecuali sedikit.” (Diriwayatkan Al-Jama’ah kecuali Imam Bukhari).
Kedua, hilangnya kekhusyu’an adalah bencana bagi seorang mukmin.
Hilangnya kekhusyu’an dalam shalat adalah bencana besar bagi seorang mukmin yang berpengaruh buruk terhadap pelaksanaan agamanya, karena shalat adalah tiang penyangga tegaknya agama. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung kepada Allah Ta’ala dengan ungkapan do’a,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ، وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ، وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ، وَمِنْ دُعَاءٍ لَا يُسْمَعُ
“Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari jiwa yang tidak merasa puas, dan dari doa yang tidak didengar (tidak dikabulkan).” (HR. Abu Dawud no. 1548, An-Nasa’i no. 5536, dan Ibnu Majah no. 3837. Hadits ini shahih.)
Ketiga, khusyu’ adalah puncak mujahadah seorang mukmin
Khusyu’ adalah puncak mujahadah dalam beribadah, yang hanya dimiliki oleh mukmin yang bersungguh-sungguh dalam muraqabatullah. Khusyu’ bersumber dari hati yang memiliki iman yang kuat dan sehat. Maka khusyu’ tidak dapat dibuat-buat atau direkayasa oleh orang yang imannya lemah.
Pernah ada seorang laki-laki berpura-pura shalat dengan khusyu’ di hadapan Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu dan ia pun menegurnya, “Hai pemilik leher. Angkatlah lehermu! Khusyu itu tidak berada di leher namun berada di hati.”
Ayat-ayat tentang khusyu’ dalam shalat:
وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلاَقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
”Dan mintalah pertolongan ( kepada ) Allah dengan sabar dan sholat. Dan sesungguhhya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusu’ , ( yaitu ) orang-orang yang menyakini , bahwa mereka akan menemui Robb-nya dan bahwa mereka akan kembali kepad-Nya ” (QS. Al Baqarah, 2: 45 – 46)
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ
“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orang yang dalam shalatnya selalu khusyu’” (QS. Al-Mu’minun, 23:1-3).
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (Al-Baqarah: 238).
Al-Mujahid berkata, “Di antara bentuk qunut adalah tunduk, khusyu’, menundukkan pandangan, dan merendah karena takut kepada Allah.”
Hadits-hadits dan atsar tentang anjuran shalat khusyu’:
عَنْ أَنسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” َاْذُكُرِ الْمَوْتَ فِى صَلاَتِكَ فَإِنَّ الرَّجُلَ إِذَا ذَكَرَ الْمَوْتَ فِى صَلاَتِهِ لَحَرِيٌّ أَنْ يُحْسِنَ صَلاَتَهُ وَصَلَّى صَلاَةَ رَجُلٍ لاَ يَظُنُّ أَنَّهُ يُصَلِّى صَلاَةً غَيْرَهَا وَإِيَّاكَ وَكُلُّ أَمْرٍ يُعْتَذَرُ مِنْهُ ” رواه الديلمي فى مسند الفردوس وحسنه الحافظ ابن حجر و تابعه الألباني
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ingatlah akan kematian dalam shalatmu karena jika seseorang mengingat kematian dalam shalatnya tentu lebih mungkin bisa memperbagus shalatnya dan shalatlah sebagaimana shalatnya seseorang yang tidak mengira bahwa bisa shalat selain shalat itu. Hati-hatilah kamu dari apa yang membutmu meminta ampunan darinya.” (Diriwayatkan Ad-Dailami di Musnad Firdaus, Al-Hafidz Ibnu Hajar menilainya hasan lalu diikuti Albani).
عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ عِظْنِي وَأَوْجِزْ فَقَالَ إِذَا قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ فَصَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ وَلَا تَكَلَّمْ بِكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ غَدًا وَاجْمَعْ الْإِيَاسَ مِمَّا فِي يَدَيْ النَّاسِ رواه أحمد وحسنه الألباني
Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu berkata, seseorang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, “Nasihati aku dengan singkat.” Beliau bersabda, “Jika kamu hendak melaksanakan shalat, shalatnya seperti shalat yang terakhir dan janganlah mengatakan suatu ucapan yang engkau akan menyesalinya esok dan berputus asalah terhadap apa yang ada di tangan manusia.” (Diriwayatkan Ahmad dan dinilai hasan oleh Albani).
عَنْ مُطَرِّفٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَفِي صَدْرِهِ أَزِيزٌ كَأَزِيزِ الرَّحَى مِنْ الْبُكَاءِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رواه أبو داود و الترمذي
Dari Mutharif dari ayahnya berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dan di dadanya ada suara gemuruh bagai gemuruhnya penggilingan akibat tangisan.” (Diriwayatkan Abu Dawud dan Tirmidzi).
عَنْ عُقْبَةَ بْنَ عَامِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ “مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَتَوَضَّأ فَيُسْبِغُ الْوُضُوْءَ ثُمَّ يَقُوْمُ فِى صَلاَتِهِ فَيَعْلَمُ مَا يَقُوْلُ إِلاَّ انْتَفَلَ وَهُوَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ رواه الحاكم وصححه الألباني
Utbah bin Amir meriyatkan dari Nabi yang bersabda, “Tidaklah seorang muslim berwudhu dan menyempurnakan wudhunya lalu melaksanakan shalat dan mengetahuai apa yang dibacanya (dalam shalat) kecuali ia akan terbebas (dari dosa) seperti di hari ia dilahirkan ibunya.” (Diriwayatkan Al-Hakim dan dinilai shahih oleh Albani).
Khusyu’nya para Salafus Shalih
Imam Ahmad meriwatkan dari Mujahid bahwa Abdullah bin Zubair ketika shalat, seolah-olah ia sebatang kayu karena kyusyu’nya. Abu Bakar juga demikian.
Juga diriwayatkan ketika Umar melewati satu ayat (dalam shalat). Ia seolah tercekik oleh ayat itu dan diam di rumah hingga beberapa hari. Orang-orang menjenguknya karenanya mengiranya sedang sakit.
Muhammad bin Sirin meriwayatkan, istri Utsman berkata bahwa ketika Utsman terbunuh, malam itu ia sedang menghidupkan seluruh malamnya dengan Al-Qur’an.
Dan adalah Ali bin Abi Thalib, ketika waktu shalat tiba ia begitu terguncang dan wajahnya pucat. Ada yang bertanya, “Ada apa dengan dirimu wahai Amirul Mukminin?” ia menjawab, “Karena waktu amanah telah datang. Amanah yang disampaikan kepada langit, bumi, dan gunung, lalu mereka tidak sanggup memikulnya dan aku sanggup.”
Diriwayatkan pula ketika Zainal Abidin bin Ali bin Husain berwudhu, wajahnya berubah dan menjadi pucat. Dan ketika shalat, ia menjadi ketakutan. Ketika ditanya tentang hal itu ia menjawab, “Tahukan Anda di hadapan siapa Anda berdiri?”
Kecaman Bagi yang Meninggalkan Kekhusyukan
Sifat seorang mukmin adalah khusyu’ dalam shalat, sementara orang yang lalai dan tidak bisa khusyu’ dalam shalatnya seperti sifat orang-orang munafik.
Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, padahal Allah yang (membalas) menipu mereka. Apabila hendak shalat, mereka melaksanakannya dengan malas dan ingin dilihat manusia serta tidak berzikir kepada Allah kecuali sedikit sekali. Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir): tidak masuk kepada golongan Ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir), Maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya.” (An-Nisa’ : 142-143).
Inilah sifat orang-orang munafik dalam amal yang sangat mulia, shalat. Ini disebabkan pada diri mereka tidak ada niat, rasa takut, dan keimanan kepada Allah Ta’ala. Sifat lahiriyah mereka adalah malas dan sifat batiniyah mereka lebih buruk lagi, agar dilihat oleh orang lain.
Seperti firman Allah Ta’ala yang lain,“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan.” (At-Taubah: 54).
Dalam kondisi apapun mereka tidak melakukan shalat selain bermalas-malasan. Karena tidak ada pahala yang mereka harapkan dan tidak ada yang mereka takutkan. Maka dengan shalat itu mereka hanya ingin menampakkan sebagai orang Islam dan demi kepentingan dunia semata.
Rasulullah pernah mengingatkan orang yang nampak tidak khusyu’ dalam shalatnya bahkan menyusuh orang itu untuk mengulanginya. Abu Hurairah meriwatkan,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ السَّلَامَ فَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ ثَلَاثًا فَقَالَ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ فَمَا أُحْسِنُ غَيْرَهُ فَعَلِّمْنِي قَالَ إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا
Bahwa Nabi masuk ke dalam masjid kemudian masuk pula seseorang ke dalam masjid lalu ia shalat dan mengucapkan salam kepada beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab salamnya dan bersabda, “Kembalilah dan shalatlah lagi, sebab kamu belum shalat.” Serta merta orang itu pun shalat lalu mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau besabda, “Kembalilah dan shalatlah lagi, sebab kamu belu shalat,” tiga kali. Orang itu berkata, “Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak bisa lebih baik dari itu, maka ajarilah aku.” Beliau bersabda, “Apabila kamu hendak shalat beratkbirlah lalu bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Qur’an (Al-Fatihah). Lalu ruku’lah sampai kamu benar-benar tenang dalam ruku’, kemudian angkatlah sampai tegak berdiri, lalu sujudlah sampai tenang dalam sujud, kemudian bangunlah sampai kamu tenang dalam duduk, kemudian sujudlah sampai kamu tenang dalam sujud. Lakukan hal itu dalam semua shalatmu.”
Abu Darda’ meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أوَّلُ شَيْئٍ يُرْفَعُ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ الْخُشُوْعُ حَتَّى لاَ تَرَى فِيْهَا خَاشِعًا
“Hal pertama yang diangkat dari ummat ini adalah khusyu’ sampai-sampai kamu tidak menemukan seorang pun yang khusyu’.” (Thabrani dengan sanad baik dan dinilai shahih oleh Albani).
Thalq bin Ali Al-Hanafi ra berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَنْظُرُ اللهُ صَلاَة َعَبْدٍ لاَ يُقيْمُ فِيْهَا صُلْبَهُ بَيْنَ ركُوْعِهَا وَ سُجُوْدِهَا
“Allah tidak akan melihat shalat seseorang hamba yang tidak tegak tulang sulbinya antara ruku’ dan sujudnya.” (Diriwayatkan Thabrani dan dishahihkan Albani).
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ الأَشْعَرِي أَنَّ رَسُوْلَ الله صَلَّى الله ِعَلَيْهِ وَ سَلَّمَ رَأى رَجُلاً لاَ يُتِمُّ رُكُوْعَهُ وَينْقِرُ فِى سُجُوْدِهِ وَهُوَ يُصَلِّي فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : “لَوْ مَاتَ هَذَا عَلَى حَالِهِ هَذِهِ مَاتَ عَلَى غَيْرِ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ” مَثَلُ الَّذِي لاَ يُتِمُّ رُكُوْعَهُ وَ يَنْقِرُ فِى سُجُوْدِهِ مَثلُ الْجَاِئع ، يَأكُلُ التَّمْرَ ةَ أَوِ التَّمْرَتَيْنِ لاَ يُغْنِيَانِ عَنْهُ شَيْئًا”
Abu Abdullah Al-Asy’ari meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seseorang yang tidak menyempurnakan ruku’nya dan mematuk dalam sujudnya dalam shalatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalau orang ini mati dalam keadaan seperti ini tentu ia mati di luar agama Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Lalu beliau bersabda lagi, “Perumpamaan orang yang tidak menyempurnakan ruku’nya dan mematuk dalam sujudnya bagai orang lapar lalu ia makan satu atau dua biji kurma namun tidak merasa kenyang sedikit pun.” (Diriwayatkan Thabrani di Al-Kabir, Abu Ya’la, dan Khuzaimah. Albani menilainya hasan).
Atsar tentang ancaman bagi mereka yang mengabaikan khusyu’ dalam shalat.
Umar bin Khatthab ra pernah melihat seseorang yang mengangguk-anggukkan kepalanya dalam shalat lalu ia berkata, “Hai pemilik leher. Angkatlah lehermu! Khusyu; itu tidak berada di leher namun berada di hati.”
Ibnu Abbas pernah berkata: “Kamu tidak mendapatkan apa-apa dari shalatmu selain apa yang kamu mengerti darinya.”
“Dua rakaat sederhana yang penuh penghayatan lebih baik daripada qiyamul-lail namun hatinya lalai.”
Salman berkata:“Shalat adalah takaran. Barangsiapa memenuhi takaran itu akan dipenuhi (pahalanya) dan barangsiapa curang ia akan kehilangan (pahalanya). Kalian telah tahu apa yang Allah katakan tentang orang-orang yang curang terhadap takaran.”
Hudzaifah berkata: “Hati-hatilah kalian terhadap kekhusyu’an munafik.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud dengan kekhusyu’an munafik itu?” Ia menjawab, “Yaitu orang yang kamu lihat jasadnya khusyu’ namun hatinya tidak khusyu’.”
Said bin Musayyib melihat seseorang yang main-main dalam shalatnya lalu berkata, “Kalau hati orang ini khusyu’ tentu raganya juga khusyu’.”
Ibnul Qayyim menyebutkan lima tingkatan manusia dalam shalat:
Pertama: Tingkatan orang yang mendzalimi dan sia-sia. Orang yang selalu kurang dalam hal wudhu’nya, waktu-waktu shalatnya, batasan-batasannya, dan rukun-rukunnya.
Kedua: Orang yang memelihara waktu-waktunya, batasan-batasannya, rukun-rukun lahiriyahnya, dan wudhu’nya. Akan tetapi ia tidak bermujahadah terhadap bisikan-bisikan di saat shalat akhirnya ia larut dalam bisikan itu.
Ketiga: Orang yang memelihara waktu-waktunya, batasan-batasannya, rukun-rukun lahiriyahnya, dan wudhu’nya. Ia juga bermujahadah melawan bisikan-bisikan dalam shalatnya agar tidak kecolongan dengan shalatnya. Maka ia senantiasa dalam shalat dan dalam jihad.
Keempat: Orang yang ketika melaksanakan shalat ia tunaikan hak-haknya, rukun-rukunnya, dan batasan-batasannya. Hanya tenggelam dalam upaya memelihara batasan-batasannya dan rukun-rukunnya agar tidak ada yang menyia-nyiakannya sedikitpun. Seluruh perhatiannya terpusat kepada upaya memenuhi sebagaimana mestinya, secara sempurna dan utuh. Hatinya benar-benar larut dalam urusan shalat dan penyembahann kepada Tuhannya.
Kelima: Orang yang menunaikan shalat seperti di atas (keempat) di samping itu ia telah meletakkan hatinya di haribaan Tuhannya. Dengan hatinya ia melihat Tuhannya, merasa diawasi-Nya, penuh dengan cinta dan mengagungkan-Nya. Seoalah-olah ia melihat dan menyaksikan-Nya secara kasat mata. Maka dalam shalatnya ia sibuk bersama Tuhannya yang telah menjadi penyejuk matanya.
Tingkatan pertama mu’aqab (disiksa karena kelalaiannya), yang kedua muhasab (dihisab), yang ketiga mukaffar ‘anhu (dihaspus kesalahannya), yang ketiga mutsab (mendapatkan pahala), dan yang kelima muqarrab min Rabbihi (yang didekatkan kepada Tuhannya) karena ia mendapatkan bagian dalam hal dijadikannya shalat sebagai penyejuk mata. Barangsiapa yang dijadikan kesenangannya pada shalatnya di dunia ia akan didekatkan kepada Tuhannya di akhirat dan di dunia ia diberi kesenangan. Lalu barangsiapa yang kesenangannya ada pada Allah dijadikan semua orang senang kepadanya dan barangsiapa yang kesenangannya bukan pada Allah ia akan mendapatkan kegelisahan di dunia.
Kiat-kiat Khusyu’ dalam Shalat
Pertama, mempersiapkan kondisi batin.
- Menghadirkan hati dalam shalat sejak mulai hingga akhir shalat.
- Berusaha tafahhum (memahami) dan tadabbur (menghayati) ayat dan do’a yang dibacanya sehingga timbul respon positif secara langsung. Ayat yang mengandung perintah disambut dengan tekad untuk melaksanakan. Ayat yang mengandung larangan disambut dengan tekad untuk menjauhi. Ayat yang mengandung ancaman memunculkan rasa takut dan berlindung kepada Allah. Ayat yang mengandung kabar gembira memunculkan harapan dan memohon kepada Allah. Ayat yang mengandung pertanyaan disambut dengan jawaban yang tepat. Ayat yang mengandung nasihat diambil pelajarannya. Ayat yang menjelaskan nikmat disambut dengan bersyukur dan bertahmid. Ayat yang menjelaskan peristiwa bersejarah diambil ibrah dan pelajarannya.
- Berupaya untuk selalu mengingat Allah dan betapa sedikitnya kadar syukur kita. Merasakan haibah (keagungan) Allah ketika berada di hadapan-Nya, terutama saat sujud.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ
Dari Abu Huirairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sedekat-dekat seorang hamba dengan Tuhannya adalah ketika ia bersujud, maka perbanyaklah doa.” (Riwayat Muslim)
- Gabungkanlah rasa raja’ (harap) dan khauf (takut) dalam kehidupan sehari-hari. Rasakanlah haya’ (malu) kepada Allah dengan sebenar-benar haya’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ
“Rasa malu tidak akan mendatangkan selain kebaikan” (Muttafaq ‘alaih).
Dan para ulama berkata, “Hakikat haya’ adalah satu akhlak yang bangkit untuk meninggalkan tindakan yang buruk dan mencegah munculnya taqshir (penyia-nyiaan) hak orang lain dan hak Allah.”
Kedua, mempersiapkan kondisi lahiriyah.
- Menjauhi perbuatan haram dan maksiat, lalu banyak bertaubah kepada Allah.
- Memperhatikan dan menunggu waktu-waktu shalat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَزَالُ الْعَبْدُ فِي صَلَاةٍ مَا كَانَ فِي الْمَسْجِدِ يَنْتَظِرُ الصَّلَاةَ مَا لَمْ يُحْدِثْ
“Seorang hamba senantiasa dalam keadaan shalat selama ia berada di dalam masjid menunggu (waktu) shalat selama tidak batal.” (Bukhari Muslim).
- Berwudlu’ sebelum datangnya waktu shalat. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ ثُمَّ خَرَجَ عَامِدًا إِلَى الصَّلَاةِ فَإِنَّهُ فِي صَلَاةٍ مَا دَامَ يَعْمِدُ إِلَى الصَّلَاةِ وَإِنَّهُ يُكْتَبُ لَهُ بِإِحْدَى خُطْوَتَيْهِ حَسَنَةٌ وَيُمْحَى عَنْهُ بِالْأُخْرَى سَيِّئَةٌ فَإِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ الْإِقَامَةَ فَلَا يَسْعَ فَإِنَّ أَعْظَمَكُمْ أَجْرًا أَبْعَدُكُمْ دَارًا قَالُوا لِمَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ مِنْ أَجْلِ كَثْرَةِ الْخُطَا
“Barangsiapa berwudhu dengan baik kemudian keluar untuk tujuan shalat. Maka orang itu berada dalam shalat selama ia bertujuan menuju shalat. Setiap satu langkahnya ditulis kebaikan dan langkah lainnya dihapus kesalahan.” (Riwayat Imam Malik).
- Berjalan ke masjid dengan tenang.
إِذَا أَتَيْتُمُ الصَّلاَةَ فَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ وَلاَ تَأْتُوْهَا وَأنْتُمْ تَسْعَوْنَ فَمَا أدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا
“Jika kalian berangkat shalat hendaklah dengan tenang janganlah kalian berangkat shalat tergesa-gesa, jika kalian mendapatinya shalatlah dan jika ketinggalan maka sempurnakan.” (Bukhari, Muslim, dan Ahmad).
- Menempatkan diri pada shaf depan.
- Melakukan shalat sunnah sebelum shalat wajib sebagai pemanasan.
- Shalat dengan menjaga sunnahnya dan menghindari makruhnya.
Wallahu A’lam…
[1] Pada ibadah puasa, kalau seseorang tidak mampu melaksanakannya karena sakit atau uzur lainnya, ia boleh mengganti puasa di hari lain atau bahkan boleh menggantinya dengan fidyah jika benar-benar tidak mampu melakukannya, seperti jika seseorang sakit parah atau berusia lanjut.