قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ (١) مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ (٢) وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ (٣) وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ (٤) وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ (٥(
Selayang Pandang Surat Al-Falaq
Surat Al-Falaq diturunkan secara bersamaan dengan surat An Naas.[1] Kedua surat Makkiyah ini dinamakan Al-Muaw’izatain; turun sesudah surat Al Fiil. Ada juga yang berpendapat surat ini tergolong surat Madaniyyah.
Asbabun Nuzul surat ini adalah tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disihir oleh orang Yahudi yang bernama Labid bin Al A’shom di Madinah. Maka Allah Ta’ala menurunkan surat ini bersama surat An Naas, dan Jibril ’alaihis salam meruqyah (membaca kedua surat tersebut) kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Dengan izin Allah, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sembuh.[2]
Namun, menurut dari yang dinukil oleh Asy-Syihab dari kitab At-Ta’wilat karangan Abu Bakar Al-Asham, hadits ini dinilai matruk, artinya hadits ini mesti ditinggalkan dan tidak boleh dipakai. Karena kalau hadits ini diterima, berarti kita mengakui apa yang didakwakan oleh orang kafir, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mempan kena sihir. Padahal yang demikian itu sangat bertentangan dengan nash yang ada dalam Al-Qur’an sendiri.
وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ
“Allah memelihara engkau dari manusia.” (QS. Al-Maidah, 5: 67)
وَلَا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَى
“Dan tidaklah akan berjaya tukang sihir itu, bagaimanapun datangnya.” (QS. Thaahaa, 20: 69)
Selain itu, jika riwayat hadits tersebut diterima, berarti kita menjatuhkan martabat nubuwwah; menganggap bahwa sihir bisa saja membekas kepada Nabi-nabi dan orang-orang yang shalih, yang berarti mengakui demikian besar kekuasaan tukang-tukang sihir yang jahat itu sehingga dapat mengalahkan Nabi. Dengan begitu orang-orang kafir pun dapat saja merendahkan martabat Nabi-nabi dan orang-orang yang shalih itu dengan mencap: “Mereka itu kena sihir.” Dan kalau benar-benar hal ini terjadi, niscaya benarlah dakwaan orang-orang kafir, dan dengan demikian jelaslah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada aibnya, dan ini adalah tidak mungkin.
Namun hadits ini masuk dalam catatan hadits shahih Bukhari dan Muslim yang berasal dari hadits Aisyah. Oleh karena itu beberapa tafsir ternama memuat hadits ini, diantaranya Tafsir Al-Qurthubi dan Tafsir Al-Khazin. Namun ada juga yang membantahnya. Diantaranya adalah Ibnu Katsir. Setelah menyebutkan hadits tersebut, ia berkomentar: “Demikianlah mereka meriwayatkan dengan tidak lengkap sanadnya, dan di dalamnya ada kata-kata yang gharib (asing), dan pada setengahnya lagi ada kata-kata yang mengandung nakarah syadidah (sangat sulit untuk diterima). Tetapi bagi setengahnya ada juga syawahid (kesaksian-kesaksian) dari segala yang telah tersebut itu.”
Syaikh Muhammad Abduh pun dalam Tafsir Juz Amma yang ditulisnya menguatkan apa yang diungkapkan oleh Abu Bakar Al-Asham dalam At-Ta’wilat. Berikutnya Al-Qasimi dalam Mahasinut-Ta’wil juga menolak hadits ini. Selain mereka, Sayid Quthub di dalam tafsir Fi Zhilalil Qur’an menegaskan bahwa hadits ini adalah hadits Ahad, bukan mutawatir. Maka oleh karena jelas berlawan dengan ayat yang sharih dari Al-Qur’an, tidak mengapa kalau kita tidak percaya bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa terkena oleh sihir walaupun perawinya Bukhari dan Muslim.[3] Sementara itu, dalam As-Shahih al-Musnad min Asbab an-Nuzul, Syaikh Muqbil, ulama hadits pada masa kini, menilai hadits ini sebagai hadits dhaif.
Wallahu A’lam.
Tadabbur Ayat 1:
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ
Katakanlah, “Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh (fajar)
Ayat pertama ini memerintahkan kita untuk ber-isti’adzah yaitu meminta perlindungan kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar terhindar dari marabahaya. Ini adalah wujud nyata ketauhidan; memohon perlindungan hanya kepada Allah Ta’ala dan bukan pada selain-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dan jika syetan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Fushshilat, 41: 36)
Sedangkan meminta perlindungan kepada selain Allah adalah termasuk kesyirikan, sebagaimana disebutkan pada ayat,
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْأِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقاً
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka rasa takut.” (QS. Al Jin, 72: 6)
Qatadah dan ulama salaf lainnya mengatakan bahwa makna ’rahaqa’ dalam ayat ini adalah ’itsman’ (dosa).
Di dalam ayat ini Allah Ta’ala menyebut dirinya sebagai Rabbul Falaq. Al Falaq berasal dari kata ‘falaqa’ yang berarti membelah. Dalam ilmu sharaf ‘Al-Falaq’ bermakna isim maf’ul sifat musyabbahah yang berarti terbelah. Lebih khusus ‘Al-Falaq’ bisa bermakna Al-Ishbah (pagi/shubuh) karena Allah membelah malam menjadi pagi.
Secara umum ‘Al Falaq’ bermakna segala sesuatu yang muncul atau keluar dari yang lainnya. Seperti mata air yang keluar dari gunung, hujan dari awan, tumbuhan dari tanah, anak dari rahim ibunya. Ini semua dinamakan ‘Al-Falaq’.
Perhatikan ayat-ayat berikut. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ اللّهَ فَالِقُ الْحَبِّ وَالنَّوَى
“Sesungguhnya Allah yang menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan.” (QS. Al An’am, 6: 95).
Allah Ta’ala juga berfirman,
فَالِقُ الإِصْبَاحِ
“Dia menyingsingkan pagi.” (QS. Al An’am, 6: 95) [4]
Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar mengartikan al-falaq dengan makna cuaca shubuh, yaitu ketika perpisahan di antara gelap malam dengan mulai terbit fajar hari akan siang. Al-Falaq ada juga diartikan dengan peralihan. Peralihan dari malam ke siang, peralihan dari tanah yang telah sangat kering karena kemarau, lalu turun hujan, maka hiduplah kembali tumbuh-tumbuhan. Peralihan dari biji kering terlempar ke atas tanah, lalu timbul uratnya dan dia memulai hidup.
Maka berlindunglah kita kepada Allah Ta’ala, dalam sebutan-Nya sebagai Rabb, yang berarti mengatur, mendidik dan memelihara; supaya berkenanlah kiranya Dia melindungi kita, dari kemungkinan-kemungkinan bahaya yang terkandung pada pergantian siang dan malam atau peralihan musim.
Tadabbur Ayat 2:
مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ
“dari kejahatan (makhluk yang) Dia ciptakan.”
Yakni mencakup manusia, jin, hewan, dan benda-benda mati yang dapat membahayakan. Ibnu Katsir mengatakan bahwa ayat ini berarti berlindung dari kejelekan seluruh makhluk. Sementara itu Tsabit Al-Bunani dan Al-Hasan Al-Bashri menafsirkan berlindung dari jahannam dan iblis serta keturunannya.
Jika dikatakan berlindung dari seluruh makhluk, hakikatnya ketika membaca ayat ini kita pun sedang berlindung kepada Allah Ta’ala dari kejahatan diri kita sendiri. Karena berkenaan dengan hawa nafsu, Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي
“Karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (QS. Yusuf, 12: 53).
Kita berlindung dari kejelekan dirinya sendiri, sebagaimana yang terdapat dalam khutbatul hajjah,
نَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا
“Aku berlindung kepada Allah dari kejelekan diriku sendiri.” (HR. At Tirmidzi)[5]
Tadabbur Ayat 3:
وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ
“dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita”
Kita pun berlindung secara khusus dari kejahatan yang terjadi di malam hari. Karena di waktu malam inilah banyak penjahat melakukan aksinya. Begitupula jin dan binatang-binatang yang berbahaya. Di samping itu, menghindari bahaya juga lebih sulit dilakukan pada waktu malam.
Kata ghasiq dalam ayat ini berarti malam, berasal dari kata ghasaq yang berarti kegelapan. Sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut:
أَقِمِ الصلاة لِدُلُوكِ الشمس إلى غَسَقِ الليل
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam.” (QS. Al Israa’, 17: 78)
Sedangkan kata kerja waqaba mengandung makna masuk dan penuh, artinya sudah masuk dalam gelap gulita.[6]
Tadabbur Ayat 4:
وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ
“dan dari kejahatan perempuan-perempuan penyihir yang meniup pada buhul-buhul (talinya)”
Buya Hamka mengatakan bahwa yang dimaksud di sini ialah bahaya dan kejahatan mantra-mantra sang dukun. Segala macam mantra atau sihir yang digunakan untuk mencelakakan orang lain.
Biasanya tukang-tukang sihir dalam melakukan sihirnya membuat buhul-buhul dari tali lalu membacakan jampi-jampi dengan menghembus-hembuskan nafasnya ke buhul tersebut. Ayat ini menunjukkan, bahwa sihir memiliki hakikat yang perlu diwaspadai bahayanya. Untuk mengatasinya adalah dengan meminta perlindungan kepada Allah dari sihir itu dan dari orang-orangnya.[7]
Dalam ayat ini disebut dengan ’An Nafatsaat’ yaitu tukang sihir wanita. Karena umumnya yang menjadi tukang sihir adalah wanita. Namun ayat ini juga dapat mencakup tukang sihir laki-laki dan wanita.
Tadabbur Ayat 5:
وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ
“dan dari kejahatan yang dengki apabila dia dengki.”
Hasad (dengki) adalah berangan-angan hilangnya nikmat yang ada pada orang lain baik agar pindah kepada diri kita ataupun tidak.
Berkata ahli hikmah: “Orang yang dengki memusuhi Allah pada lima perkara: (1) Bencinya kepada Allah mengapa memberikan nikmat kepada orang lain, (2) Sakit hatinya melihat pembahagian yang dibahagikan Tuhan, – “Seakan-akan dia berkata: “Mengapa dibagi begitu?” (3) Dia menantang Allah, karena Allah memberi kepada siapa yang Dia kehendaki, (4) Dia ingin sekali supaya nikmat yang telah diberikan Allah kepada seseorang, agar dicabut kembali, (5) Dia bersekongkol dengan musuh Tuhan dan musuhnya sendiri, yaitu Iblis.”[8]
Akhirnya, marilah kita jadikan QS. Al-Falaq yang merupakan bagian dari al-Mu’awwidatain ini menjadi do’a rutin kita.
At-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu hadits berikut,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَعَوَّذُ مِنْ عَيْنِ الْجَانِّ وَعَيْنِ الإِنْسِ, فَلَمَّا نَزَلَتْ الْمُعَوِّذَتَانِ أَخَذَ بِهِمَا, وَتَرَكَ مَا سِوَى ذَلِكَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung dari mata jahat jin dan manusia. Ketika turun al–Mu’awwidzatain, beliau memakainya dan meninggalkan yang lain.” (Dishahihkan oleh al-Albani)
Kedua surat ini disunahkan pula dibaca setiap selesai shalat wajib. ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan hadits berikut,
أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقْرَأَ بِالْمُعَوِّذَاتِ دُبُرَ كُلِّ صَلاَةٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan saya untuk membaca al–Mu’awwidzat tiap selesai shalat.” (HR. Abu Dawud, dihukumi shahih oleh al-Albani)
Disunahkan juga membacanya sebelum dan sesudah tidur, sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Uqbah yang lain, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ياَ عُقْبَةُ ! اِقْرَأْ بِهِمَا كُلَّمَا نِمْتَ وَقُمْتَ، مَا سَأَلَ سَائِلٌ وَلاَ اِسْتَعَاذَ مُسْتَعِيْذٌ بِمِثْلِهِمَا
“Wahai ‘Uqbah, bacalah keduanya setiap kamu tidur dan bangun. Tidaklah seseorang bisa meminta atau berlindung dengan seperti keduanya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Khuzaimah, dihukumi hasan oleh al-Albani)
Bersambung: Tadabbur Al-Qur’an Surat Al-Ikhlash
Maraji’:
Hidayatul Insan bi tafsiril Qur’an, Abu Yahya Marwan bin Musa
Memahami Surat Al-Falaq, Ustadz Anas Burhanudin, MA
Memahami Tafsir Surat Al Falaq, Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal
Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka
Catatan Kaki:
[1] Hal ini dikatakan oleh Al-Baihaqi dalam Dalailin Nubuwwah, sebagaimana dikutip oleh Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal dalam Memahami Tafsir Surat Al Falaq.
[2] Aysarut Tafasir, hal. 1503; dikutip oleh Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal.
[3] Ulasan mengenai perbedaan pendapat berkenaan dengan hadits ini silahkan dirujuk ke Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka.
[4] Penjelasan mengenai makna Al-Falaq ini dikutip Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal dari Tafsir Juz ‘Amma, 294; Ruhul Ma’ani.
[5] Lihat: Tafsir Juz ‘Amma, 294-295
[6] Lihat: Memahami Surat Al-Falaq, Ustadz Anas Burhanudin, MA
[7] Lihat: Hidayatul Insan bi tafsiril Qur’an, Abu Yahya Marwan bin Musa.
[8] Lihat: Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka