إِذَا زُلْزِلَتِ الْأَرْضُ زِلْزَالَهَا (1) وَأَخْرَجَتِ الْأَرْضُ أَثْقَالَهَا (2) وَقَالَ الْإِنْسَانُ مَا لَهَا (3) يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا (4) بِأَنَّ رَبَّكَ أَوْحَى لَهَا (5) يَوْمَئِذٍ يَصْدُرُ النَّاسُ أَشْتَاتًا لِيُرَوْا أَعْمَالَهُمْ (6) فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (7) وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
“Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat). Dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya. Dan manusia bertanya: “Mengapa bumi (menjadi begini)?” Pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya. Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.”
Selayang Pandang Surat Al-Zalzalah
Surat ini terdiri dari 8 ayat. Termasuk Surat Makkiyah. Dinamakan surat Al Zalzalah yang berarti kegoncangan. Pada masa sahabat, banyak yang menamainya dengan nama Idza Zulzilat. Ada pula yang menamainya Al Zilzal. Ketiga nama ini diambil dari ayat pertama.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa surat ini turun sebelum hijrah. Termasuk surat makkiyah. Namun ada pula sebagian ulama yang berpendapat bahwa surat ini turun setelah hijrah. Khususnya ayat 7 – 8.
Ibnu Katsir, Sayyid Qutb dan Buya Hamka termasuk ulama yang berpendapat surat ini makkiyah. Sedangkan Syaikh Wahbah Az Zuhaili termasuk ulama yang berpendapat surat ini madaniyah.
Seperempat Al-Qur’an
Di dalam hadits, surat Al-Zalzalah termasuk surat Al-Qur’an yang disebut seperempat Al-Qur’an. Maknanya adalah surat ini menjadi salah satu kesimpulan bagian-bagian pembahasan Al-Qur’an, yaitu tentang hari kiamat.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلَ رَجُلًا مِنْ صَحَابَتِهِ فَقَالَ أَيْ فُلَانُ هَلْ تَزَوَّجْتَ قَالَ لَا وَلَيْسَ عِنْدِي مَا أَتَزَوَّجُ بِهِ قَالَ أَلَيْسَ مَعَكَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ قَالَ بَلَى قَالَ رُبُعُ الْقُرْآنِ قَالَ أَلَيْسَ مَعَكَ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ قَالَ بَلَى قَالَ رُبُعُ الْقُرْآنِ قَالَ أَلَيْسَ مَعَكَ إِذَا زُلْزِلَتْ الْأَرْضُ قَالَ بَلَى قَالَ رُبُعُ الْقُرْآنِ قَالَ أَلَيْسَ مَعَكَ إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ قَالَ بَلَى قَالَ رُبُعُ الْقُرْآنِ قَالَ أَلَيْسَ مَعَكَ آيَةُ الْكُرْسِيِّ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ قَالَ بَلَى قَالَ رُبُعُ الْقُرْآنِ قَالَ تَزَوَّجْ تَزَوَّجْ تَزَوَّجْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
Pernah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bertanya kepada salah seorang sahabatnya, bersabda, “Wahai fulan apakah kau sudah menikah?”. Dia menjawab, “Belum, saya tidak mempunyai bekal untuk itu”. Rasulullah bersabda, “Bukankah kamu hapal: qul huwa allohu ahad”. Dia menjawab, ya. Rasulullah bersabda, “Itu adalah seperempat al-qur’an”. Rasulullah bersabda, “Bukankah kau hapal: qul ya ayyuhal kafirun”. Dia berkata, ya. Rasulullah bersabda, “Itu adalah seperempat al-qur’an” Rasulullah bersabda, “Bukankah kau hapal: idza zulzilatil ardu”. Dia berkata, ya. Rasulullah bersabda, “Itu adalah seperempat al-qur’an”. Rasulullah bersabda, “Bukankah kau hapal: idza jaa’a nasrulloh”. Dia berkata, ya. Rasulullah bersabda, “Itu adalah seperempat al-qur’an”. Rasulullah bersabda, “Bukankah kau hapal ayat kursi: allahu la ilaha illa huwa”. Dia berkata, ya. Rasulullah bersabda, “Itu adalah seperempat al-qur’an”. Rasulullah bersabda, “Menikahlah, menikahlah, menikahlah, “ beliau mengulanginya tiga kali. (HR. Ahmad)
Ayat 1
إِذَا زُلْزِلَتِ ٱلْأَرْضُ زِلْزَالَهَا
Kata idzaa digunakan Al Quran untuk sesuatu yang pasti akan terjadi. Berbeda dengan kata in yang biasa digunakan untuk sesuatu yang belum atau jarang terjadi.
Ibnu ‘Abbas berkata mengenai ayat ini “Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat)“, maksudnya adalah bumi bergoncang dari bawahnya. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 627).
Hal ini sebagaimana diungkapkan pula dalam firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ إِنَّ زَلْزَلَةَ السَّاعَةِ شَيْءٌ عَظِيمٌ
“Hai manusia, bertakwalah kepada Rabbmu; sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat).” (QS. Al Hajj: 1)
Ayat 2
وَأَخْرَجَتِ الْأَرْضُ أَثْقَالَهَا
Pengulangan kata al-ardl pada ayat kedua ini menunjukkan bahwa guncangan atau gempa ini terjadi di seluruh wilayah bumi. Bukan hanya sebagian wilayah sebagaimana gempa bumi yang kita ketahui saat ini.
وَأَخْرَجَتِ الْأَرْضُ أَثْقَالَهَا
“Dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya.”
Para ulama mengakatakan bahwa ayat tersebut bermakna: bumi mengeluarkan mayit yang ada di dalamnya. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 9: 627).
Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zhilalil Quran menjelaskan, hari itu adalah hari kiamat. Bumi bergetar dan berguncang dengan sekeras-kerasnya sehingga apa yang terkandung di dalamnya termuntahkan seluruhnya. Baik yang berupa jasad-jasad berbagai makhluk maupun barang tambang. Seakan-akan dengan termuntahkannya semua itu, bumi menjadi ringan dari beban-beban berat yang dikandungnya selama ini.
Dalam Al-Qur’anul Karim Wa Tafsiruhu disebutkan, pada hari terjadi kegoncangan itu, karena dahsyatnya maka bumi menghamburkan isi perutnya yang terpendam berupa logam, harta simpanan dan mayat-mayat isi kuburan.
Hal ini senada dengan firman Allah Ta’ala,
وَإِذَا الْأَرْضُ مُدَّتْ وَأَلْقَتْ مَا فِيهَا وَتَخَلَّتْ
“Dan apabila bumi diratakan, dan dilemparkan apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong.” (QS. Al Insyiqaq: 3-4).
Ayat 3
وَقَالَ الْإِنْسَانُ مَا لَهَا
“Dan manusia bertanya: “Mengapa bumi (menjadi begini)?“
Dalam ayat ini Allah mengungkapkan bahwa orang-orang yang berkesempatan mengalami dan menyaksikan kejadian yang dahsyat yang belum pernah terjadi, membuat terperanjat orang-orang yang melihatnya.
Ayat 4-5
يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا (4) بِأَنَّ رَبَّكَ أَوْحَى لَهَا (5)
“Pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Rabbmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya.”
Makna dari ‘bumi menceritakan beritanya’ dijelaskan hadits berikut.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَرَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا } قَالَ أَتَدْرُونَ مَا أَخْبَارُهَا قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّ أَخْبَارَهَا أَنْ تَشْهَدَ عَلَى كُلِّ عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ بِمَا عَمِلَ عَلَى ظَهْرِهَا أَنْ تَقُولَ عَمِلَ كَذَا وَكَذَا يَوْمَ كَذَا وَكَذَا قَالَ فَهَذِهِ أَخْبَارُهَا قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ
Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah shallallahu ‘alahi wa salam membaca: “Pada hari itu bumi menceritakan beritanya.” (al-zalzalah: 4), Beliau bertanya: “Tahukah kalian apa berita-beritanya?” Mereka menjawab: “Allah dan rasul-Nya lebih tahu.” Beliau bersabda: “Berita-beritanya adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh hamba lelaki atau perempuan di atas bumi berkata: Ia melakukan ini dan ini, pada hari ini dan ini.” Beliau bersabda: “Itulah berita-beritanya.” Berkata Abu Isa: Hadis ini hasan gharib. (HR. Tirmidzi)
Syaikh As-Sa’di menerangkan, “Bumi menjadi saksi bagi setiap orang yang telah beramal dahulu di atasnya. Bumi dahulu telah menjadi saksi amalan setiap hamba. Dan Allah memerintahkan untuk memberitahukan amalan-amalan manusia, perintah ini harus dijalankan (jangan didurhakai).” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 932)
Ibnul Qayyim berkata, “Orang yang senantiasa berdzikir di jalan, di rumah, di lahan yang hijau, ketika safar, atau di berbagai tempat, itu akan membuatnya mendapatkan banyak saksi di hari kiamat. Karena tempat-tempat tadi, semisal gunung dan tanah, akan menjadi saksi baginya di hari kiamat. Kita dapat melihat hal ini pada firman Allah Ta’ala (Q.S. Al-Zalzalah).” (Al Wabilush Shoyyib, hal. 197).
Ayat 6
يَوْمَئِذٍ يَصْدُرُ النَّاسُ أَشْتَاتًا لِيُرَوْا أَعْمَالَهُمْ
“Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka.”
Maksudnya adalah pada hari kiamat, manusia dikeluarkan dari bumi dalam keadaan beraneka ragam lalu ditampakkan kebaikan dan kejelekan yang pernah mereka lakukan, kemudian mereka akan melihat balasannya.
Ayat 7-8
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ * وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ *
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sekecil apa pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apa pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.“
Kata dzarrah digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang terkecil. Semut kecil pada awal kehidupannya disebut dzarrah. Biji sawi juga disebut dzarrah. Debu yang terlihat saat cahaya matahari menerobos melalui celah atau jendela juga disebut dzarrah.
Kata yarah berasal dari kata ra-a yang artinya melihat. Awalnya adalah melihat dengan mata kepala. Namun kata ini juga berarti: mengetahui.
Seluruh kebaikan dan kejahatan manusia—yang besar maupun yang kecil—seluruhnya akan mendapat ganjaran.
Perhatikanlah hadits berikut.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْخَيْلُ لِثَلَاثَةٍ لِرَجُلٍ أَجْرٌ وَلِرَجُلٍ سِتْرٌ وَعَلَى رَجُلٍ وِزْرٌفَأَمَّا الَّذِي لَهُ أَجْرٌ فَرَجُلٌ رَبَطَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَأَطَالَ فِي مَرْجٍ أَوْ رَوْضَةٍ فَمَا أَصَابَتْ فِي طِيَلِهَا ذَلِكَ مِنْ الْمَرْجِ أَوْ الرَّوْضَةِ كَانَتْ لَهُ حَسَنَاتٍ وَلَوْ أَنَّهَا قَطَعَتْ طِيَلَهَا فَاسْتَنَّتْ شَرَفًا أَوْ شَرَفَيْنِ كَانَتْ أَرْوَاثُهَا وَآثَارُهَا حَسَنَاتٍ لَهُ وَلَوْ أَنَّهَا مَرَّتْ بِنَهَرٍ فَشَرِبَتْ مِنْهُ وَلَمْ يُرِدْ أَنْ يَسْقِيَهَا كَانَ ذَلِكَ حَسَنَاتٍ لَهُ وَرَجُلٌ رَبَطَهَا فَخْرًا وَرِئَاءً وَنِوَاءً لِأَهْلِ الْإِسْلَامِ فَهِيَ وِزْرٌ عَلَى ذَلِكَ وَسُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْحُمُرِ فَقَالَ مَا أُنْزِلَ عَلَيَّ فِيهَا إِلَّا هَذِهِ الْآيَةُ الْجَامِعَةُ الْفَاذَّةُ { فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ }
Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kuda itu ada tiga jenis. Yang pertama kuda yang bagi seorang pemiliknya menjadi pahala, yang kedua menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhan dan yang ketiga mendatangkan dosa. Adapun orang yang mendapatkan pahala adalah orang yang menambat kudanya untuk kepentingan fii sabilillah dimana dia mengikatnya di ladang hijau penuh rerumputan atau taman. Apa saja yang didapatkan kuda itu selama berada dalam pengembalaan di ladang penuh rerumputan hijau atau taman maka semua akan menjadi kebaikan bagi orang itu. Seandainya talinya putus lalu kuda itu berlari sekali atau dua kali maka jejak-jejak dan kotorannya akan menjadi kebaikan bagi pemiliknya. Dan seandainya kuda itu melewati sungai lalu minum darinya sedangkan dia tidak hendak memberinya minum maka semua itu baginya adalah kebaikan.
Yang kedua adalah seseorang yang menambatkan kudanya dengan kesombongan, pamer dan permusuhan terhadap Kaum Muslimin maka baginya adalah dosa disebabkan perbuatannya itu”.
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang keledai, maka Beliau menjawab: “Tidak ada wahyu yang diturunkan kepadaku tentang itu kecuali ayat 7 – 8 Surah Al zalzalah, yang mencakup banyak faedah (yang artinya): (“Maka barangsiapa yang beramal kebaikan seberat biji sawi maka dia akan melihat balasannya dan barang siapa yang beramal keburukan seberat biji sawi maka dia akan melihat balasannya”). (HR. Bukhari)
Jadi, ayat ini menegaskan adanya balasan bagi yang berbuat baik dan jelek. Walau yang dilakukan adalah sebesar dzarrah (ukuran yang kecil atau sepele), maka itu akan dibalas. Tentu lebih pantas lagi jika ada yang beramal lebih dari itu dan akan dibalas.
Allah Ta’ala berfirman,
يَوْمَ تَجِدُ كُلُّ نَفْسٍ مَا عَمِلَتْ مِنْ خَيْرٍ مُحْضَرًا وَمَا عَمِلَتْ مِنْ سُوءٍ تَوَدُّ لَوْ أَنَّ بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ أَمَدًا بَعِيدًا
“Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh.” (QS. Ali Imran: 30).
وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
“Dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis).” (QS. Al Kahfi: 49).
Kata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah, “Ayat ini memotivasi untuk beramal baik walau sedikit. Begitu pula menunjukkan ancaman bagi yang beramal jelek walau itu kecil.” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 932).
Imam Ibnu Abu Hatim mengetengahkan sebuah hadis melalui Said bin Jubair yang menceritakan bahwa ketika turun ayat,
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya…” (Q.S. Al Insaan, 8).
Orang-orang muslim pada saat itu berpendapat, bahwa mereka tidak akan mendapatkan pahala apa pun jika mereka memberikan sesuatu dalam kadar yang sedikit. Orang-orang lainnya berpendapat pula, bahwa diri mereka tidak akan dicela hanya karena dosa kecil, seperti berbicara dusta, melihat wanita, mengumpat dan perbuatan berdosa lainnya yang sejenis.
Mereka mengatakan, bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala itu hanyalah menjanjikan neraka kepada orang-orang yang mengerjakan dosa-dosa besar saja. Maka Allah segera menurunkan firman-Nya,
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ * وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ *
“Maka barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.”