Masa Pemerintahan Khalifah Al-Watsiq (227–232 H/841-847 M)
Nama khalifah Abbasiyah kesembilan ini Abu Ja’far Harun Al-Watsiq billah bin Al-Mu’tashim bin Ar-Rasyid. Lahir 20 Sya’ban 190 H/14 Juli 806 M, ibunya seorang ummu walad bernama Qarathis.
Ia dibaiat menjadi khalifah pada 8 Rabi’ul Awwal 227 H/29 Desember 841 M hingga wafatnya pada 24 Dzulhijjah 232 H/13 Agustus 847 M
Pemerintahan yang Semasa dengan Al-Watsiq
- Khalifah Andalusia: Abdurrahman II bin Al-Hakam bin Hisyam bin Rabi’ (206-238 H/821-852 M)
- Khalifah Adarisah/Maghribul Aqsha: Muhammad bin Idris (213-221 H/828-836 M)
- Amir Aghalibah di Ifriqiya: Ziyadatullah bin Ibrahim bin Al-Aghlab (201-223 H/ 816-837 M), Al-Aghlab bin Ziyadatullah (223-226 H/837-840 M), Muhammad bin Al-Aghlab bin Ziyadatullah (226-242 H/840-856 M)
- Amir Yaman: Muhammad bin Ibrahim Az-Zayyadi yang diangkat Al-Makmun (213-245 H/828-859 M)
- Raja Perancis: Louis I The Lion (814-840 M), Charles (840-877 M)
Perdana Menteri Muhammad bin Abdul Malik Az-Zayyat
Ia adalah perdana menteri sejak masa khalifah Al-Mu’tashim. Khalifah Al-Watsiq tidak menyenanginya hingga pernah bersumpah akan menyingkirkannya jika ia menjadi khalifah. Namun, saat ia menjadi khalifah, tidak ditemukan sama sekali orang sekaliber Az-Zayyat. Maka Al-Watsiq mempertahankannya dan terpaksa membayar kafarat atas sumpahnya.[1]
Para Panglima Turki Semakin Berpengaruh
Pasukan budak (orang-orang Turki) yang awalnya dibentuk khalifah Al-Mu’tashim, pada masa pemerintahan Al-Watsiq posisinya semakin kuat dan berpengaruh besar padanya. Tokoh panglima yang memiliki kedudukan tinggi pada masanya adalah Asynas. Pada Ramadhan 288 H/Juni 843, ia diangkat oleh Al-Watsiq sebagai penguasa di sebuah wilayah.
Mihnah Terhadap Para Ulama
Pada 231 H, Al-Watsiq memerintahkan untuk menguji para ulama mengenai kemakhlukan Al-Qur’an. Pada saat inilah terjadi pembunuhan kepada Ahmad bin Nashr Al-Khuzai, seorang ahli hadits.
Ahmad bin Nashr dibawa dari Baghdad ke Samara dengan tangan diborgol. Lalu dihadapkan kepada Al-Watsiq dan menyatakan dihadapannya bahwa Al-Qur’an bukan makhluk. Terjadilah dialog antara Al-Watsiq dengan Ahmad bin Nashr.
Al-Watsiq: “Apakah Allah dapat dilihat dengan mata kepala pada hari kiamat?”
Ahmad bin Nashr: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَمَا إِنَّكُمْ سَتُعْرَضُوْنَ عَلَى رَبِّكُمْ فَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا الْقَمَرَ
“Ketahuilah, sesungguhnya kalian akan di hadapkan kepada Rabb kalian, maka kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini.” (HR Muslim).
Al-Watsiq: “Engkau telah mengatakan kebohongan!”
Ahmad bin Nashr: “Sebenarnya engkaulah yang telah menyatakan kedustaan.”
Al-Watsiq: “Celakalah kamu, apakah Allah dapat dilihat dengan indra manusia yang terbatas? Apakah Allah menempati tempat dan bisa dipandang oleh orang yang melihat? Sesungguhnya aku tidak percaya kepada Tuhan yang memiliki sifat yang demikian sebagaimana yang engkau katakan”
Ahmad bin Nashr kemudian dipenggal dan kepalanya dibawa ke Baghdad. Menurut catatan Imam Suyuthi, Al-Watsiq meninggalkan tulisan yang tergantung di telinga Ahmad bin NashrAl-Khuza’I berbunyi: “Inilah Ahmad ibn Nashr al-Khuza’i yang membangkang mengenai kemakhlukan al-Qur’an dan menganggap Allah bisa dilihat kelak dengan mata kita. Dia dieksekusi oleh Khalifah Harun al-Watsiq. Inilah siksaan Allah yang lebih awal dari nerakaNya.”
Pada masa ini pula Al-Buwaithi, seorang murid terkemuka Imam Syafi’i wafat. Dia meninggal di penjara dalam keadaan terikat karena menolak mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.
Baca juga: Al-Makmun: Khalifah Abbasiyah yang Condong Kepada Paham Syi’ah dan Mu’tazilah
Pertukaran Tawanan dengan Romawi
Pada 10 Muharram 231 H/20 September 845 M terjadi peristiwa pertukaran tawanan antara pemerintahan Khalifah Al-Watsiq dengan Pemerintahan Romawi. Saat itu 4.600 orang dibebaskan, termasuk di dalamnya 600 orang wanita dan anak-anak dan 100 orang dari kalangan ahlud dzimah (non muslim yang berada dalam perlindungan pemerintahan Islam).
Namun, Ahmad bin Abu Dauud (tokoh Mu’tazilah) saat itu berkata: “Barangsiapa diantara tawanan yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk maka lepaskan dan berilah dia uang dua dinar. Barangsiapa yang menolak maka biarkan dia menjadi tawanan.”
Terhentinya Mihnah Terhadap Para Ulama
Suatu saat, Abu Abdurrahman Abdullah bin Muhammad Al-Adzarimi (guru Imam Abu Dawud dan Imam Nasa’i) dalam keadaan diborgol dihadapkan kepada Khalifah Al-Watsiq. Terjadilah dialog antara Abu Abdurrahman, Ahmad bin Abu Duad, dan Al-Watsiq yang menyebabkan Al-Watsiq bertaubat dan menghentikan mihnah.
Saat itu Syaikh Adzarimi bertanya kepada Ahmad bin Abu Duad, “Wahai Ahmad, bagaimana pendapatmu tentang Al-Qur’an?”
Ahmad menjawab, “Aku berpendapat ia adalah makhluk.”
Syaikh Al-Adzarimi bertanya: “Jelaskan kepadaku wahai Ahmad apakah pendapatmu itu wajib bagi setiap muslim, sehingga dianggap tidak sempurna agamanya sampai mereka berpendapat seperti itu?”
Ahmad menjawab: “Ya.”
Syaikh Al-Adzarimi bertanya: “Jelaskan kepadaku wahai Ahmad, apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sesuatu (ajaran agama) dari apa yang diperintahkan oleh Allah kepadanya untuk disampaikan (kepada manusia)?”
Ahmad menjawab: “Tidak.”
Syaikh bertanya kembali: “Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerukan apa yang menjadi pendapatmu itu kepada umat?”
Maka terdiamlah Ibnu Abi Duad. Syaikh berkata: “Jawablah Ahmad”, namun ia tidak menjawabnya.
Lalu Syaikh berpaling ke arah Khalifah Al-Watsiq, “Wahai Amirul mu’minin, ini yang pertama.”
Khalifah Al-Watsiq menjawab, “Ya, yang pertama.”
Berkata Syaikh Al-Adzarimi, “Jelaskan kepadaku wahai Ahmad, ketika Allah berfirman: ‘Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu (QS. Al-Maidah ayat 3).’, apakah benar Allah Ta’ala dalam menyempurnakan agamanya dan mencukupkannya, ataukah agama Islam ini masih memiliki kekurangan sehingga kau perlu mencukupinya dengan pendapatmu ini?”
Ibnu Abi Duad terdiam, lalu Syaikh berkata, “Jawablah wahai Ahmad.”, namun Ahmad bin Abi Duad tidak menjawabnya.
Syaikh berkata, “Wahai Amirul mu’min, yang kedua.”
Al-Watsiq menjawab: “Ya, yang kedua.”
Syaikh bertanya, “Jelaskan kepadaku wahai Ahmad, apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khulafaur rasyidin mengetahui pendapatmu ini ataukah mereka tidak mengetahuinya?”
Ahmad menjawab, “Tidak, mereka tidak mengetahuinya.”
Berkata Syaikh, “Wahai, Mahasuci Allah, sesuatu (ajaran Islam) yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khulafaur rasyidin tidak mengetahuinya, sedangkan kau mengetahuinya?”
Ahmad Ibnu Abi Duad merasa malu, lalu ia berkata, “(yang benar) mereka mengetahuinya.”
Syaikh bertanya, “Apakah ketika mereka mengetahuinya mereka juga menuntut hal itu ataukah tidak menuntutnya?”
Ahmad Ibnu Abi Duad kembali terdiam.
Syaikh berkata, “Wahai amirul mu’minin, yang ketiga.”
Khalifah Al-Watsiq berkata, “Ya, yang ketiga.”
Syaikh berkata, “Jelaskanlah wahai Ahmad, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khulafaur rasyidin mengetahui pendapat ini, apakah mereka merasa cukup dan mendiamkannya, lalu umat Islam pun saat itu tidak mencari-cari (hakikatnya)?”
Ibnu Abi Duad menjawab, “Ya.”
Lalu Syaikh menghadap ke arah Khalifah Al-Watsiq, dan berkata, “Wahai Amirul mukminin, tidakkah kita merasa cukup dengan sesuatu yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Khulafaur Rasyidin mereka cukup? Karena Allah tidak akan mencukupkan orang-orang yang tidak merasa cukup atas apa yang mereka (Rasul dan Khulafaur Rasyidin) telah merasa cukup.”[2]
Perdebatan tentang kemakhlukan Al-Qur’an ini berhenti dengan sendirinya pada masa Khalifah Al-Watsiq, bahkan hal itu menjadi bahan lelucon seorang pelawak bernama Ubbadah: “Jika Al-Qur’an mati bagaimana kita melaksanakan shalat tarawih?”
Alawiyyin Diperlakukan dengan Baik
Pada masa Khalifah Al-Watsiq, alawiyyin diperlakukan dengan baik. Hal ini seperti dikatakan Yahya bin Aktsam: “Tidak ada seorang pun yang melakukan perbuatan yang paling baik kepada keturunan Ali bin Abi Thalib daripada Al-Watsiq. Tidak seorang pun diantara mereka yang hidup dalam kemiskinan.”
Pemberantasan Korupsi
Saat terdengar kabar para pejabatnya banyak melakukan penyelewengan harta negara, Al-Watsiq segera melakukan tindakan dengan menyita harta mereka. Dari Ahmad bin Israil disita 8.000 dinar; dari Sulaiman bin Wahab disita 400.000 dinar; dari Ahmad bin Al-Khashib dan para sekretarisnya, disita 14.000 dinar; dari Al-Hasan bin Wahab disita 14.000 dinar; dari Ibrahim bin Rabah dan para sekretarisnya disita 1.000.000 dinar; dari Najah disita 60.000 dinar; dan dari Abul Wazir disita 140.000 dinar.
Berkembangnya Ilmu Pengetahuan
Sejarawan mencatat masa tiga khalifah (al-Ma’mun, al-Mu’tashim, dan al-Watsiq) adalah era ketika ilmu pengetahuan begitu diagungkan, perkembangan seni begitu diapresiasi, dan para imam mazhab dan mufassir begitu banyak melahirkan karya-karya mereka. Khalifah Al-Watsiq bahkan memiliki majelis diskusi yang menghadirkan para ahli fiqih dan ahli kalam.
Wafatnya Al-Watsiq
Al-Watsiq wafat pada 24 Dzulhijjah 232 H/13 Agustus 847 M. Ada suatu riwayat yang menyebutkan, saat wafat, jenazahnya ditinggal karena orang-orang sibuk dengan pelantikan Al-Mutawakkil, lalu munculah seekor tikus besar memakan matanya.
Catatan Kaki:
[1] Lihat: QS. Al-Maidah ayat 89.
[2] Al-Munadziratul Haidah: Al-Munadziratul Kubra, www.alukah.net