Berikut ini kisah seorang laki-laki yang mulai senja usia dengan uban di rambutnya. Dia pergi ke Bangkok meninggalkan isteri dan anak-anaknya. Akan tetapi di penghujung usianya ia mulai sadar. Mari, kita simak kisahnya:
Aku tidak malu dengan uban yang memenuhi kepalaku. Aku tidak sayang kepada masa depan putriku yang tengah menunggu pemuda yang datang mengetuk pintu untuk melamarnya. Aku tidak perduli dengan senyum-tawa putriku yang masih kecil, yang selalu memenuhi isi rumah dengan keceriaan dan kebahagiaan. Akupun tak perduli dengan putraku yang telah menginjak usia 15 tahun. Ia adalah cermin masa kecilku, obsesi masa mudaku, dan mimpi masa depanku.
Lebih dari itu semua aku tak menghiraukan tatapan mata isteriku yang bercampur antara sedih dan senang ia selalu bertanya kepadaku tentang kepergianku. Pada saat itu hanya satu yang terlintas dalam pikiranku. Aku harus segera menyiapkan tasku, memenuhi mimpi dan anganku. Alangkah keringnya jiwaku yang hanya dipengaruhi oleh kesenangan semata. Alangkah nistanya menelususri perjalanan yang tak jelas tujuannya, yang hanya memenuhi panggilan syetan, itulah aku.
Aku masih saja belum cukup dengan perlakuan isteriku. Ia wanita yang baik yang telah menjual kehidupannya untuk membeli kefakiranku. Ia telah kenyang menelan segala tipudayaku. Ia lewati hari-harinya dengan berusaha menutupi kebutuhan hidup keluarga karena pendapatanku tidak bisa diandalkan. Ia bersabar dalam kemiskinan. Banyak mengeluhkanku sampai bersimpuh di atas kakiku. Tetapi aku terus mendaki duniaku di atas titian pengorbanannya. Aku lupa ia adalah seorang wanita yang cantik dan mungil. Banyak pria kaya raya yang menginginkannya, tetapi ia justru memilihku. Pada saat aku mesti istirahat di rumah bersama isteriku justru aku meninggalkannya demi memenuhi ambisiku.
Aku mulai hari pertamaku di Bangkok. Wajah isteriku selalu terlintas dalam anganku. Setiapkali aku akan ‘jatuh’, tapi hal itu tidak cukup kuat untuk menanahan diriku. Syetan telah membutakan pandanganku. Aku terus menerus ‘jatuh’ dan tenggelam dalam kesia-siaan. Setiap hari aku keluar untuk membeli ‘kehancuran’. Aku jual agama, kesehatan, masa depan anak-anak dan kesejahteraan keluarga. Aku mengira bahwasanya aku beruntung, padahal aku merugi dan sia-sia, baik umur maupun jiwa, aku hidup dengan perilaku hewani, aku memasuki saat-saat kehancuran di Bangkok seakan-akan aku tengah menenggak racun dari gelas kematian. Setiap kali kakiku tergelincir dalam kubangan kerusakan. Aku tidak menghiraukan nasihat, dan akalku jauh dari hikmah. Tidak terasa seminggu telah kulewati hari-hariku di Bangkok. Aku tenggelam dalam dunia gemerlap penuh dosa, aku telah hilang nilai kemanusiaanku dan tidak lagi memiliki naluri kebapakan.
Terbayang wajah anakku yang telah memasuki usia pernikahan. Seolah-olah ia mengumpatku seraya berkata, “Apa yang membuatmu melakukan semua ini terhadap diri kami dan dirimu sendiri?”
Bayangan inilah yang membuatku segara mengemas pakaianku dan kembali ke negeriku dengan perasaan hati yang teriris-iris. Aku mulai menengadahkan kepala untuk dapat melihat wajah isteriku. Aku mohon kepada Allah agar mau menerimaku dan melupakan apa yang telah aku perbuat terhadap hak-haknya dan hak anak-anaknya.