Praktik bermusyawarah yang selama ini dijalankan Muhammadiyah begitu luar biasa. Bagaimana tidak, dengan melimpahnya tanah wakaf, banyaknya amal usaha, dan jumlah pengikutnya yang tersebar sampai pelosok-pelosok tanah air, semestinya dalam setiap ajang rapat kebijakan organisasi terjadi konflik dan tarik ulur kepentingan.
Contoh paling aktual betapa elegannya cara Muhammadiyah bermusyawarah ditunjukkan dalam Sidang Pleno I Muktamar ke-48 pada Sabtu (05/11).
Sidang ini dilakukan secara hybrid, mengkombinasikan daring dan luring. Ada sekitar 208 titik dari 34 Provinsi di seluruh Indonesia yang menjadi lokasi Muktamar tahap pertama ini. Para peserta Sidang Pleno I ini meliputi perwakilan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) seluruh Indonesia, Organisasi Otonom (Ortom) seperti Pemuda Muhammadiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Tapak Suci, dan lain-lain tingkat Pusat.
Mereka saling mengajukan pandangan dan tanggapan baik dalam bentuk tulisan maupun lisan. Adapun isi dari materi Muktamar ini meliputi laporan Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2015-2022, program Muhammadiyah 2022-2027, Risalah Islam Berkemajuan, dan Isu-isu Strategis Keumatan, Kebangsaan dan Kemanusiaan Universal. Dalam isu-isu strategis akan dibahas, misalnya, rezimentasi paham agama, membangun kesalehan digital, suksesi kepemimpinan 2024, evaluasi atas kebijakan deradikalisasi, memperkuat keadilan hukum, regulasi dampak perubahan iklim, mengatasi kesenjangan antar negara, dan lain-lain.
Ajang rapat kebijakan tertinggi organisasi ini berjalan dengan penuh kekeluargaan, bermarwah utama, dan dengan antusias yang luarbiasa. Semangat kebersamaan dan kekeluargaan begitu terasa lindap tanpa ada sedikitpun hawa persaingan dan kompetisi.
Padahal, sebagai forum tertinggi, pelaksanaan Sidang Pleno I Muktamar ke-48 tentu begitu seksi untuk menyempilkan kepentingan-kepentingan pribadi.
Para peserta Muktamar ini justru saling berunding dan berembuk pendapat untuk mencari jalan keluar bersama tanpa ada intrik-intrik menyisipkan kepentingan personal.Dengan demikian tidak salah jika kunci kekuatan Muhammadiyah yang telah berdiri sejak tahun 1912 terletak pada elegannya cara mereka bermusyawarah.
Melimpahnya amal usaha yang dimiliki Muhammadiyah tidak lain karena dalam proses musyawarah persyarikatan selalu mengedepankan etika bukan prasangka dan mendahulukan kebaikan komunal bukan personal. Muhammadiyah telah belajar dari berbagai pergerakan bahwa keributan dan segala konflik yang terjadi hanya akan menghasilkan kerugian.