Sebanyak 106 orang tentara cadangan Israel yang bertugas di pos-pos pusat mengumumkan berhenti beraktivitas dari Angkatan Udara Israel, sebagai protes terhadap reformasi peradilan atau amandemen yudisial yang ingin disahkan oleh pemerintahan Benjamin Netanyahu, menurut sejumlah media Israel.
Pihak berwenang menyatakan bahwa “sebagian besar dari tentara cadangan ini adalah para pilot dan navigator, dan sisanya adalah petugas penjaga dan kontrol udara.”
Pada hari Jum’at kemaren, situs web “Wala” Israel menyebutkan bahwa Menteri Energi dan Infrastruktur di pemerintahan Israel, Yisrael Katz, berbicara tentang “ancaman penolakan tentara cadangan Israel yang bertugas sebagai pilot untuk memberikan layanan, sebagai protes terhadap rencana pemerintah mereformasi peradilan.”
Katz mengatakan bahwa, “Para pilot yang menyatakan bahwa mereka menolak untuk bertugas di militer Israel karena menentang reformasi undang-undang peradilan akan mendorong Hasan Nasrallah (Hizbullah Lebanon) untuk percaya bahwa jika dia menyerang Israel, maka Israel tidak akan dapat menghadang atau membungkam sumber tembakan roket-roket dari Lebanon.”
Sebelumnya, seorang pejabat di lembaga keamanan dan militer Israel menjelaskan dalam sebuah wawancara dengan surat kabar ‘Israel Hume’ bahwa “apa yang dialami oleh negara Israel saat ini adalah sebuah bencana di semua tingkatan , sementara para pejabat tidak memahami masalah ini dan justru bermain api.”
Beberapa hari yang lalu, surat kabar Israel menyatakan bahwa laporan intelijen menunjukkan bahwa “suasana internal secara umum di Israel serta ancaman ketidakpatuhan pasukan cadangan terhadap instruksi yang dikeluarkan, akan berpengaruh besar terhadap imej kekuatan militer Israel di kawasan dan akan membuatnya menjadi lemah. “
Lebih dari 1.100 rekrutan baru yang dikenakan wajib militer dari Unit “8200” telah mengancam untuk berhenti menjadi sukarelawan di pasukan cadangan Israel jika amandemen yudisial disetujui dan disahkan, menurut media Israel Hume.
Selasa lalu, Knesset menyetujui pembacaan pertama RUU “Mengurangi Kewajaran”, yang membatasi kewenangan Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi di Israel untuk meninjau kembali setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
RUU tersebut masih harus di voting kembali dalam pembacaan kedua dan ketiga sebelum menjadi undang-undang resmi, namun tanggal pemungutan suara tersebut belum ditetapkan.
Selama sekitar 27 minggu, Israel telah mengalami demonstrasi yang belum pernah terjadi sebelumnya dikarenakan penentangan terhadap rencana reformasi peradilan yang getol disuarakan oleh pemerintah yang dipimpin oleh Benjamin Netanyahu, di tengah peringatan terus-menerus dari berbagai kalangan bahwa reformasi itu akan menyebabkan keretakan berbahaya di dalam negara Israel.”
Sumber: Almayadeen