Oleh: Dr. Ismail Siddiq Osman
Dosen Aqidah dan Perbandingan Agama, Fakultas Humaniora, Universitas Bahri, Sudan
(Anggota Persatuan Ulama Muslim Sedunia)
Segala puji bagi Allah, dan cukup. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi pilihan dan hamba-hamba-Nya yang terpilih.
Sebagian orang bingung dan konsep-konsep menjadi kabur ketika mendengar istilah “tsawabit (yang tetap) dan mutaghayyirat (yang berubah) dalam agama Islam.” Sebagian lain merasa bimbang dan bertanya: Bagaimana kita menyeimbangkan antara yang tsawabit dan mutaghayyirat dalam Islam, tanpa mencampuradukkannya? Apakah yang tsawabit dalam Islam berarti stagnasi dan tidak adanya gerak? Di mana batas perubahan? Bagaimana kita menetapkan aturan-aturan tetap yang membuat perubahan tunduk pada tsawabit Islam yang harus kita pegang teguh? Kita harus beradaptasi dengan perubahan zaman, tempat, kondisi, dan keadaan—mengembangkan kehidupan dan pemikiran tanpa menyimpang dari Islam, tanpa berlebihan atau meremehkan.
Kita harus mencegah mereka yang berani masuk melalui pintu ini—para penulis, pemikir, dan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu—yang mencoba meragukan dan menyerang tsawabit Islam yang berdasar pada dalil-dalil syar’i dari Al-Qur’an dan Sunnah. Bahkan, sebagian mereka menganggap prinsip-prinsip dan tsawabit Islam hanya sebagai pendapat yang bisa benar atau salah. Dengan demikian, mereka yang ingin menghancurkan agama bisa melepaskan ikatannya satu per satu, dengan dalih “penelitian ilmiah tentang tsawabit dan mutaghayyirat.”
Sebagian mereka mengingkari hukum riddah (murtad), jilbab wanita, dan menuntut persamaan hak waris antara laki-laki dan perempuan, serta hal-hal lain yang merusak agama, akidah, dan syariah dari dasarnya. Semua ini dilakukan dengan alasan “memurnikan Islam dari pendapat dan pemikiran yang salah,” sementara mereka menuduh orang yang berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah sebagai kolot, terbelakang, dan tidak mengikuti perubahan zaman.
Oleh karena itu, penting untuk menetapkan definisi dan konsep dengan benar. Ini bukan sekadar diskusi intelektual, melainkan menyangkut inti ajaran Islam dan memiliki dampak metodologis serta pemikiran yang luas.
Makna Tsawabit
Secara bahasa, “tsawabit” adalah isim fa’il dari kata tsabata (tetap). Ia mengandung makna keabadian, keberlanjutan, dan keteguhan. Allah berfirman:
“Perkataan yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit.” (QS. Ibrahim: 24)
Tsawabit adalah sesuatu yang kokoh, pasti, tetap, dan tidak berubah—berlawanan dengan mutaghayyirat. Ia adalah hal-hal yang tidak berubah oleh waktu dan tempat.
Dalam konteks agama, “tsawabit agama” dapat didefinisikan sebagai:
Hal-hal yang qath’i (pasti) dan disepakati ulama, yang didasarkan pada dalil Al-Qur’an dan Sunnah.
Tidak ada ruang untuk perubahan atau ijtihad di dalamnya.
Tidak boleh diperselisihkan oleh orang yang telah mengetahuinya.
Sebagian ulama mendefinisikannya sebagai: “Apa yang tidak mungkin hilang hanya karena keraguan yang dibuat oleh para peragu.”
Dengan demikian, kita dapat membedakan antara yang tsawabit dan mutaghayyirat berdasarkan prinsip-prinsip Islam yang memberikan vitalitas dan fleksibilitas dalam merespons realitas manusia yang dinamis. Islam membuka pintu ijtihad dalam pemikiran keagamaan yang bersifat aplikatif, tanpa mengganggu hal-hal yang tetap dan mutlak.
Kita tidak boleh menerima pendapat yang mengatakan: “Segala sesuatu bisa berubah, zaman tidak berhenti, dan hukum harus tunduk pada kebutuhan masyarakat.” Sebab, agama tidak berubah dan tidak tunduk pada kondisi masyarakat—justru ia datang untuk mengubah masyarakat. Syariah harus menjadi pengatur dalam segala aspek kehidupan, bukan sebaliknya!
Bagi sebagian orang, syariah pun bisa berubah karena zaman dan tempat, sehingga umat Islam tidak perlu berpegang pada wahyu atau tradisi salaf. Mereka berpendapat bahwa manusia boleh memilih hukum yang sesuai dengan realitas mereka. Jika demikian, kita akan keluar dari agama seperti anak panah yang melesat dari busurnya!
Kita yakin bahwa agama kita adalah sistem hidup yang sempurna, cocok untuk segala zaman dan tempat. Keluwesan syariah adalah bukti bahwa hukum-hukumnya bisa mengikuti berbagai keadaan tanpa kesulitan.
Legislasi adalah hak Allah semata. Tidak boleh dikembalikan kepada akal, selera, atau hawa nafsu. Allah berfirman:
“Keputusan itu hanyalah milik Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang terbaik.” (QS. Al-An’am: 57)
Hanya Dia yang berhak menetapkan hukum, menghalalkan, dan mengharamkan. Seorang muslim yang benar akidahnya tidak akan meragukan bahwa agama ini milik Allah. Bagi yang meragukan, kita jawab:
“Apakah kamu lebih tahu atau Allah?” (QS. Al-Baqarah: 140)
Siapa pun yang meragukan hal ini, pertama-tama harus membuktikan bahwa Islam memiliki celah dan tidak mampu menjawab tantangan zaman.
Ringkasan Tsawabit Islam
Tsawabit Sumber: Agama Allah bersumber pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi ﷺ, dan Ijma’.
Prinsip Akidah: Tidak berubah oleh waktu dan tempat.
Kewajiban Syar’i: Seperti shalat, puasa, haji, zakat, serta hukum-hukum seperti jilbab, warisan, dan hudud.
Nilai dan Akhlak: Seperti kejujuran, amanah, dan moral mulia.
Mutaghayyirat dalam Islam
Mutaghayyirat adalah hukum-hukum ijtihadiyah yang tidak qath’i, dengan dua syarat:
Berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah.
Ijtihad harus mengikuti metode yang benar, yaitu berpegang pada dalil dan tarjih (memilih pendapat terkuat), bukan mengikuti pendapat yang menyimpang.
Yang termasuk tsawabit adalah prinsip-prinsip dasar seperti:
Rukun Iman dan Rukun Islam.
Tauhid dalam nama, sifat, dan perbuatan Allah.
Kewajiban berpegang pada syariat-Nya.
Islam sebagai satu-satunya agama yang diterima di sisi Allah:
“Sesungguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19)
Penutup
Kita menegaskan bahwa agama kita tetap, tidak berubah, sempurna, tidak kurang atau lebih, dan tidak ada pembatalan setelah kesempurnaannya. Rasulullah ﷺ telah menyampaikan risalah dengan sempurna. Allah berfirman:
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu.” (QS. Al-Maidah: 3)
Catatan: Semua artikel yang diterbitkan mewakili pandangan penulisnya dan tidak selalu mencerminkan pandangan Persatuan Ulama Muslim Sedunia.
Dosen Aqidah dan Perbandingan Agama (Lektor), Fakultas Humaniora, Universitas Bahri, Sudan.