(14 Jumadil Akhir 505 H / 17 Desember 1111 M)
Abu Hamid Al-Ghazali. Pengarang kitab Ihya Ulumuddin ini adalah anak seorang pengrajin kain shuf (kain yang dibuat dari kulit domba). Setelah ayahnya itu meninggal, sesuai wasiatnya, Al-Ghazali dititipkan kepada temannya yang saleh yang kemudian mengajarinya ilmu.
Selanjutnya Al-Ghazali mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi. Selanjutnya ia pergi ke kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan sehingga menguasai fikih mazhab Syafi’i dengan baik. Ia pun menguasai fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat.
Setelah Imam Haramain meninggal, Al-Ghazali pergi ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik, tempat berkumpulnya para ahli ilmu. Disana ia menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Al-Ghazaly berangkat ke Baghdad pada tahun 484 H dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah ia menjadi terkenal dan mencapai kedudukan yang sangat tinggi.
Salah satu bukunya yang terkenal selain Ihya Ulumuddin adalah kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Namun hal ini tidak didasarinya dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi. Ia membongkar kejelekan filsafat, akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama. Beberapa perkataannya pun dipengaruhi filsafat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Hingga murid terdekatnya, yaitu Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar dan tidak mampu.” (Majmu’ Fatawa 4/164).
Pada perkembangan berikutnya Al-Ghazali lebih senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Ia tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.
Saat di Damaskus, ia beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Umawi. Ia duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi (saat ini tempat tersebut dinamai Al Ghazaliyah). Disanalah ia menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Disana pun Al-Ghazali mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.
Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, Al-Ghazali dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur. Ia kemudian mengajar di madrasah An Nidzamiyah. Setelah beberapa tahun, ia pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Ia mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatamkan Al Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.
Imam Adz Dzahabi berkata, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat…”
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya Al-Ghazali dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari).. Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran.
Diringkas dari artikel ‘Sejarah Hidup Imam Al Ghazali (1) — Muslim.Or.Id‘