Pertanyaan ini makin relevan seiring perkembangan terbaru di Jalur Gaza. Setelah lebih dari enam belas bulan agresi brutal, Israel kini menghadapi krisis strategis di medan tempur yang dulu mereka anggap bisa dikuasai dalam hitungan pekan.
Sebuah laporan terbaru dari lembaga kajian keamanan Israel mengungkap empat opsi “jalan keluar” dari Gaza. Laporan ini muncul di tengah keputusasaan militer Israel, yang dalam beberapa pekan terakhir dihantam oleh serangan sistematis dan jebakan mematikan yang disiapkan oleh Brigade Al-Qassam—sayap militer Hamas.
Tragis bagi Israel, kekalahan demi kekalahan tak hanya terjadi di medan luas, tetapi juga di simbol-simbol penguasaan mereka. Di Beit Hanoun, kawasan strategis di utara Gaza yang selama ini diklaim telah “dibersihkan,” justru menjadi kuburan bagi komandan pasukan tank Israel yang tewas oleh tembakan sniper Al-Qassam. Pesan dari medan tempur ini jelas: tidak ada sejengkal tanah pun di Jalur Gaza yang dikuasai mutlak oleh Israel.
Empat Opsi Israel untuk Selamat dari Gaza
Kajian strategis Israel menawarkan empat opsi untuk keluar dari kebuntuan militer:
Opsi Pertama: Penarikan total pasukan dan kesepakatan pertukaran tawanan.
Ini adalah pengakuan terang-terangan atas kegagalan militer. Opsi ini mengedepankan solusi diplomatik setelah kegagalan operasi militer mencapai tujuan politiknya.
Opsi Kedua: Gencatan senjata bertahap dengan pembebasan sandera.
Solusi setengah hati ini tetap mempertahankan posisi tawar, sambil menghindari eskalasi lebih lanjut. Namun, ini tetap berarti bahwa Israel dengan terpaksa akan berunding kembali dengan Hamas, sesuatu yang selama ini mereka tolak secara prinsipil.
Opsi Ketiga: Melanjutkan perang dengan strategi tekanan maksimal: menghentikan bantuan kemanusiaan.
Tujuannya? Mendorong warga Gaza untuk bangkit melawan Hamas. Ini strategi yang secara moral dan politis berbahaya, karena mengandalkan penderitaan sipil sebagai alat negosiasi.
Opsi keempat: kombinasi militer-politik untuk menggulingkan Hamas dari dalam.
Ini ilusi lama yang kembali diangkat. Nyatanya, sejak awal perang, Hamas justru memperkuat legitimasinya di mata publik Gaza, dan kekejaman Israel malah memperkuat dukungan terhadap perlawanan.
Intinya: Tidak ada dari keempat opsi ini yang menunjukkan kemenangan. Semua adalah variasi dari kekalahan yang sedang dinegosiasikan.
Maka, pertanyaannya kembali: siapa yang runtuh lebih dulu—Israel atau Hamas?
Jawabannya mungkin tidak ditentukan di meja runding, tetapi di reruntuhan rumah-rumah Gaza yang membara dan di medan tempur yang terus menelan nyawa para komandan elit Israel. Hamas, dengan segala keterbatasannya, menunjukkan satu hal: ia belum tumbang. Dan selama perlawanan hidup, narasi tentang kemenangan Israel hanya tinggal mitos propaganda.
Sumber: HaloPalestina.Com