(Belajar dari Perang Uhud)
Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
Perang Uhud menyisakan kekalahan telak bagi kaum Muslimin. Pada pembahasan sebelumnya telah dipaparkan dua hikmah ilahiyah bagi kaum yang kalah. Ternyata, Allah SWT punya cara tersendiri untuk mengajari hamba-Nya bagaimana menghadapi kekalahan. Nasihat, pelajaran dan hikmah itu teruntai jelas dalam firman-Nya surah Ali Imran: 121-179. Di antara hikmah itu adalah:
Menghibur Kaum Muslimin
Seperti dijelaskan sebelumnya, secara psikologi orang yang kalah tak memerlukan kritikan, tapi hiburan. Situasi psikologis inilah yang diberlakukan Allah atas kaum Muslimin usai Perang Uhud. Untuk menghibur kekalahan itu Allah menurunkan firman-Nya.
Artinya, “Jika kamu (pada Perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu pun (pada Perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim,” (QS Ali Imran: 140).
Dengan ayat ini, Allah SWT ingin menghibur kaum Muslimin. Kekalahan mereka dalam Perang Uhud tak perlu dirisaukan. Toh, sebelumnya kaum Muslimin menang dalam Perang Badar. Bahkan, kemenangan itu lebih besar. Selain ghanimah, umat Islam juga mendapatkan 70 orang tawanan dan berhasil membunuh 70 orang musuh. Pada Perang Uhud, tak ada harta rampasan perang yang diambil lawan. Tak ada juga kaum Muslimin yang ditawan. Dalam ayat ini juga Allah SWT menjelaskan, penderitaan yang dialami kaum Muslimin berada dalam ridha Allah. Sebaliknya, penderitaan yang dialami orang kafir berada dalam jalan syetan.[1]
Kemenangan dan kekalahan adalah piala yang digilirkan kepada semua umat. Tak ada umat yang ditakdirkan untuk memenangkan segala pertarungan, dan tak ada juga umat yang dipaksa kalah selama-lamanya.
Kemenangan dan kekalahan hanyalah variabel yang menjalankan sebuah fungsi bernama seleksi. Lebih jelas Allah menegaskan, perjalanan hari adalah kumpulan kemenangan dan kekalahan. Digulirkannya kemenangan dan kekalahan untuk menyeleksi orang mukmin dan munafik.
Jelas dengan adanya kekalahan ini, keburukan hati orang-orang munafik makin nyata. Sebelumnya, kaum Muslimin sulit membedakan antara munafik dan mukmin sejati. Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya mengutip ucapan Ibnu Abbas, “Dengan adanya peristiwa ini, kita bisa mengetahui mana orang yang sabar dalam menghadapi musuh.”[2]
Sebelum Perang Uhud, biasanya ketika Rasulullah saw naik mimbar Jum’at, Abdullah bin Ubay berseru kepada hadirin memuji Nabi dan mengajak orang untuk menaatinya. Namun, setelah Perang Uhud, ketika akan berdiri, salah seorang sahabat segera mencegahnya. Ia pun segera pergi melangkahi orang banyak sambil mengomel dan memaki-maki. Sejak itu, kaum Muslimin tahu ada “musuh dalam selimut” yang harus diwaspadai.[3]
Setelah memisahkan antara mukmin dan munafik, Allah memilih di antara orang mukmin itu untuk menjadi syuhada (saksi). Di hari Kiamat kelak mereka dibangkitkan dengan pakaian perangnya untuk menjadi saksi atas perjuangannya. Karena itu, dalam syariat Islam, mereka yang gugur dalam medan jihad langsung dimakamkan dengan pakaian perangnya.
Kekalahan kaum Muslimin pada Perang Uhud ini juga mengandung pesan, seandainya kaum Muslimin selalu memenangkan pertempuran, boleh jadi juga akan berdampak negatif. Mereka akan merasa sombing dan meremehkan orang lain, sehingga usaha untuk berjihad menjadi pudar. Dalam benak mereka, untuk apa berjuang, toh nanti pasti menang.[4]
Selain itu, kalau Allah SWT ingin menghancurkan musuh-musuh-Nya, Dia akan memberikan cara tersendiri, tidak diberikan gratis kepada kaum Muslimin. Dalam hal ini, diperlukan jihad dan perjuangan.
Melalui Perang Uhud ini juga, Allah membersihkan (tamhish) hati umat Islam dan membinasakan (mahq) orang-orang kafir. Membersihkan hati umat Islam dari dosa dan kejahatan jiwa dan membinasakan orang kafir lantaran mereka menduga akan mendapatkan surga.[5]
Yang perlu dipahami umat Islam adalah kekalahan dan kemenangan sebenarnya diatur oleh sebuah kaidah: setiap umat akan mendapatkan kemenangan jika ia memenuhi syarat-syarat kemenangan. Sebaliknya, setiap umat akan kalah kalau ia mengantongi sebab-sebab kekalahan. Kemenangan dan kekalahan bukanlah permainan yang tak bisa dijelaskan asal muasalnya.
Jika kita kembali membuka lembaran sejarah, sebelum Baghdad dihancurkan oleh tentara Tartar, kita akan membenarkan ucapan Ibnul Atsir, “Kaum Muslimin kala itu hidup seperti orang-orang jahiliyah. Mimpi-mimpi mereka tak pernah melewati perut dan kemaluan.”
Sebaliknya, jika kita membaca sejarah keberhasilan Shalahuddin al-Ayubi memerdekakan al-Aqsha dari cengkeraman tentara Salib, kita akan membenarkan ungkapan Dr Majid Irsan al-Kailani, seorang guru besar Ummul Qura Universtiy, Makkah, “Generasi Shalahuddin hanyalah hasil dari tarbiyah panjang yang telah berlangsung lebih dari lima puluh tahun lamanya.”[6]
Menanamkan Kembali Obsesi Utama
Di antara hal penting yang sangat dibutuhkan mereka yang kalah adalah mengingatkan obsesi utamanya. Contoh yang sangat mudah dipahami adalah pedagang yang gagal berbisnis. Di antara cara untuk mengembalikan semangatnya adalah mengingatkan kembali cita-cita dan obsesinya. Sebab, obsesi sangat menentukan laju dan gerak hidup manusia. Akhir hidup seseorang ditentukan oleh obsesinya.
Walaupun demikian, obsesi yang bersifat duniawi memang harus ada, tapi tak harus terwujud. Setiap manusia harus mempunyai cita-cita, tapi tak mesti semuanya tercapai. Sebab, sebagian ada yang berhasil bukan oleh obsesinya, tapi berhasil karena kegigihannya merebut obsesi itu. Sebuah obsesi tak mungkin terwujud tanpa usaha dan pengorbanan. Pengorbanan dan usaha mencerminkan obsesi seseorang. Makin besar usaha yang dikorbankan, makin besar juga obsesi seseorang.
Ibarat lomba lari, titik finish adalah obsesi yang sekaligus menjadi bahan bakar yang menentukan sekuat apa seseorang harus mengeluarkan tenaga. Makin jauh garis finishnya, makin besar juga usaha yang dilakukan. Mereka yang memasang target 100 km, tentu telah merasa lelah saat berlari puluhan kilo meter. Namun, bagi mereka yang mematok garis finish 1000 km, belum terasa letih meski sudah menempuh jarak lari puluhan kilo meter.
Begitupun seorang muslim. Mereka yang menjadikan obsesinya sebatas dunia, akan cepat letih dan lelah. Tapi, kalau yang dijadikan target adalah ridha Allah, ia tak kan mengenal lelah.
Untuk mengembalikan semangat kaum Muslimin yang kalah dalam Perang Uhud ini, Allah mengingatkan kembali obsesi mereka yang utama. Obsesi seorang mukmin bukan menang dalam pertempuran, bukan juga harta rampasan. Bukan pula merekrut umat sebanyak-banyaknya. Yang demikian itu hanyalah sarana untuk meraih obsesi sebenarnya yaitu surga. Untuk mendapatkan surga ini diperlukan jihad dan kesabaran.
Allah berfirman:
Artinya, “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar,” (QS Ali Imran: 142).
Allah SWT sangat menghargai segala usaha meraih obsesi itu. Karenanya pada ayat berikutnya Allah mengingatkan, sarana untuk meraih surga itu telah Dia berikan kepada sebagian orang-orang yang menginginkannya.
Allah SWT berfirman:
Artinya, “Sesungguhnya kamu mengharapkan mati (syahid) sebelum kamu menghadapinya, (sekarang) sungguh kamu telah melihatnya dan kamu menyaksikannya,” (QS Ali Imran: 143).
Imam asy-Syaukani dalam tafsirnya menyebutkan, kalimat تمنون الموت (mengharap kematian) harus ditafsirkan dengan “mengharap syahadah”. Menurut al-Qurthubi, mengharap kematian bagi kaum Muslimin maksudnya mengharap syahadah yang dilandasi dengan kesabaran dan jihad, bukan semata untuk membunuh orang kafir. Kalau hanya ini tujuannya, ia bisa dianggap sebagai suatu kemaksiatan atau kekufuran. Ketika seorang mukmin menginginkan syahadah, hendaknya hal itu dilandasi dengan kesabaran dalam berjihad walaupun hal itu mengarah kepada kematian.[7]
Menurut Ibnu Abbas, ketika Allah memberitahukan tentang kemuliaan kaum Muslimin yang gugur pada Perang Badar, banyak para sahabat yang bercita-cita gugur sebagai syahid, terutama mereka yang tidak ikut Perang Badar.[8] Misalnya, Amr bin Jamuh. Ketika Perang Badar, ia dilarang anak-anaknya ikut berperang. Tapi, pada Perang Uhud, ia tak bisa dicegah. Rasulullah saw pun “terpaksa” mengizinkan. Sebelum berangkat ia berdoa, “Ya Allah, anugerahkanlah kepadaku syahid. Jangan kembalikan aku lagi kepada keluargaku.”
Ketika perang berkecamuk, ia tak henti-hentinya berseru:
“Aku sungguh merindukan surga!”
Dan, Allah pun mengabulkan permohonannya.
Begitu juga dengan Abdullah bin Jahsy. Ketika berangkat perang, ia berdoa, “Ya Allah, pertemukanlah aku dengan musuh yang jahat dan buas. Aku akan berkelahi melawannya dan tewas di tangannya. Dia kemudian memotong hidung dan telingaku.”
Ketika Perang Uhud berakhir, Allah mengabulkan doanya. Para sahabat menemukannya syahid persis seperti doanya.[9]
Bahaya Figuritas
Di antara hal yang sangat sulit diterima kaum Muslimin saat itu adalah kekalahan mereka bersama Rasulullah saw. Para sahabat “sulit” menerima kekalahan itu karena Rasulullah saw berada bersama mereka. Bukankah beliau adalah utusan Allah yang pasti mendapatkan pertolongan. Bagaimana mereka bisa kalah padahal Rasulullah saw bersama mereka? Demikian yang ada di benak sebagian para sahabat kala itu.
Keadaan psikologis seperti ini, kalau tidak segera dibenahi, bisa berdampak buruk. Kepercayaan dan keyakinan kaum Muslimin pada Rasulullah saw bisa saja berubah. Rasa kagum dan penuh harap bisa berbalik menjadi kecewa dan putus asa. Dapat dibayangkan, kalau mereka yang semula sangat mengagungkan Rasulullah saw dan sudah memastikan kemenangan, tiba-tiba kalah. Tak mustahil keyakinan mereka akan goyah.
Gejala ini sudah nampak. Ketika perang masih bergolak, sempat terdengar teriakan dari kaum musyrikin bahwa Rasulullah saw tewas. Sempat terjadi kegemparan yang luar biasa. Beberapa tentara kaum Muslimin buru-buru meninggalkan medan perang. Ada juga yang mencari Abdullah bin Ubay untuk meminta perlindungan.
Untuk menyembuhkan kondisi psikologis kaum Muslimin ini, Allah SWT menurunkan firman-Nya:
Artinya, “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika ia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikit pun. Dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur,” (QS Ali Imran: 144).
Dalam ayat ini Allah SWT menegaskan, Muhammad saw tak lain hanyalah seorang manusia. Sebagaimana rasul-rasul sebelumnya, di antara mereka ada yang mati dan ada juga yang terbunuh. Tak seorang pun dari mereka yang kekal. Karena itu, jika Muhammad saw meninggal seperti Musa, atau dibunuh seperti Zakariya dan Yahya, apakah kalian akan murtad?
Ayat ini jelas mengandung tuntunan, dalam menjalankan kewajiban yang telah nyata kebenarannya, seorang mukmin tak boleh bergantung kepada figuritas. Orang beragama tak menyembah pemimpinnya, tapi menyembah Allah SWT.
Ayat ini menemukan momentumnya pada hari wafatnya Rasulullah saw. Saat itulah keimanan seseorang benar-benar diuji. Bahkan, Umar bin Khaththab sendiri sempat tak percaya dengan meninggalnya Rasulullah saw. Barulah ketika Abu Bakar membacakan ayat ini, Umar sadar.[10]
Allah SWT menutup ayat ini dengan balasan-Nya bagi orang-orang yang bersyukur. Secara tidak langsung Allah SWT memerintahkan agar kaum Muslimin bersyukur, khususnya para sahabat yang kala itu yang mendapati Rasulullah saw dalam keadaan selamat.
Ibnul Qayyim menyebutkan, yang dimaksud dengan orang-orang bersyukur di sini adalah orang-orang yang mengetahui kadar nikmat yang ia terima. Dia tetap konsisten dalam syukurnya sampai meninggal atau terbunuh. Hal ini nampak jelas, masih menurut Ibnul Qayyim, pada hari wafatnya Rasulullah saw. Di antara mereka ada yang murtad, hanya orang-orang yang bersyukurlah yang tetap beriman. Dengan itulah Allah memenangkan dan menolong mereka atas musuh-musuhnya.[11]
Menjelaskan Persepsi Tentang Kematian
Setelah menjelaskan tentang bagaimana seharusnya umat Islam menyikapi diri Rasulullah saw, Allah SWT menegaskan lagi persepsi tentang kematian. Allah berfirman:
Artinya, “Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati kecuali dengan izin Allah,sebagai ketetapan yang sudah ditentukan waktunya. Barang siapa yang menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barangsiapa yang menghendaki pahala akhirat Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan memberikan balasan kepada orang-orang yang bersyukur,” (QS Ali Imran: 145).
Menjelaskan persepsi tentang kematian ini sangat penting. Sebab, jumlah kaum Muslimin yang gugur dalam Perang Uhud ini cukup banyak. Mayoritas riwayat menyebutkan jumlahnya mencapai 70 orang. Penjelasan ini penting bagi keluarga yang ditinggalkan agar mereka memaklumi bahwa kematian itu pasti bagi setiap yang bernyawa.
Penjelasan persepi tentang kematian ini penting untuk membangkitkan kembali semangat kaum Muslimin . Dengan memegang prinsip bahwa kematian itu ada saatnya, dan “peluru itu ada alamatnya”, tak ada lagi yang perlu ditakutkan. Karenanya, pada masa pemerintahan Umar bin Khaththab ketika kaum Muslimin ragu menyeberangi sungai Tigris untuk menaklukan Madain, salah seorang dari kaum Muslimin bernama Hajar bin Ady segera berseru, “Apa yang membuat kalian ragu untuk menyeberangi sungai ini. “Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati kecuali dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang sudah ditentukan waktunya.’’ Setelah itu, ia memacu kudanya yang diikuti oleh pasukan Muslimin lainnya. Melihat kaum Muslimin bagaikan terbang di atas sungai Dajlah, musuh buru-buru melarikan diri dan Madain bisa ditaklukkan.[12]
Mengembalikan Kesadaran Sejarah
Setelah menjelaskan tentang persepsi kematian, Allah mengembalikan kesadaran sejarah umat Islam. Kesadaran sejarah ini penting. Tak hanya untuk menghibur kekalahan, tapi juga mengembalikan semangat kaum Muslimin. Allah berfirman,
Artinya, “Dan berapa banyaknya Nabi, yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar,” (QS Ali Imran: 146).
Dalam ayat ini, Allah ingin mengatakan, hendaknya kaum Muslimin tidak merasa lemah, lesu atau putus asa lalu menyerah pada musuh. Banyak orang-orang yang berperang dan ditimpa kekalahan walaupun bersama nabi mereka.
Dalam konteks kekinian hal ini penting. Kesadaran umat terhadap sejarahnya harus digugah. Kisah-kisah kepahlawanan dan ketegaran para pendahulu harus dijadikan teladan untuk kembali membangkitkan semangat umat yang sedang kalah. Sangat ironis ketika kita menemukan generasi umat Islam kini jauh dari sejarah gemilangnya.
Inilah yang dikehendaki musuh Islam. Mereka tahu, salah satu cara melemahkan semangat umat Islam adalah dengan menjauhkan mereka dari sejarahnya dan melupakan mereka akan kejayaan masa lalu.
Kekalahan kaum Muslimin dalam Perang Uhud ini merupakan kekalahan pertama setelah kemenangan Badar. Peristiwa ini begitu membekas lantaran kekalahan mereka karena kesalahan sebagian kecil pasukan kaum Muslimin, bukan karena kekuatan lawan. Untuk itu, Allah menurunkan rentetan firman-Nya sebagai hiburan, pemantapan dan tarbiyah bagi mereka.
Rentetan ayat yang turun ini tak menyebut nama atau pada peristiwa apa pun, namun bersifat umum. Karenanya, ayat ini juga berlaku bagi kaum Muslimin kapan pun dan di mana pun, yang kondisinya mirip dengan situasi umat Islam kala itu.
Catatan Kaki:
[1] Zaadul Maad, II/100 dan Ibnu Katsir II/409.
[2] Ibnu Katsir II/409.
[3] Zaadul Maad, II/100.
[4] Zaadul Maad, II/99.
[5] Zaadul Maad, II/100.
[6] Lebih detil silakan rujuk buku beliau berjudul: Hakadza Zhahara Jilu Shaluddin Wa Hakadza ‘Adat Al Quds (Kebangkitan Generasi Salahuddin dan Kembalinya Al-Aqsa)
[7] Fathul Qadir I/485
[8] Zaadul Maad II/101
[9] Shuwar min Hayatish Shahabah, Abdurahman Ra’fat Basya I/143-159
[10] Ar-Rahiqul Makhtum, 529-530
[11] Zaadul Maad II/101, Ibnu Katsir I/411, Fathul Qadir I/486
[12] Ibnu Katsir I/411, 101 Sahabat Nabi, 405