Penaklukan Suriah
Di masa awal kekhalifahan Umar, futuhat yang dilakukan kaum muslimin telah meliputi wilayah-wilayah yang pada awalnya dikuasai Persia (Ubulla [Apollo][1], Tsini, Walijah, Allais[2], Hirah[3], Anbar,[4] dan Ain Tamr[5]) dan Bizantium Romawi (Kota bandar Ayla [Elat], Bostra [Busra][6], Ghassaniah; yakni sebagian wilayah Syam[7]).
Menaklukkan Damaskus
Di awal pemerintahannya, Umar memerintahkan pasukan Islam untuk bergerak menuju Damaskus. Kota ini dijuluki Permata timur, sebuah kota tertua di dunia yang dihuni sejak ribuan tahun sebelum Masehi. Puncak kejayaannya pada tahun 1000 SM, saat kota itu jadi ibu kota kerajaan Aramaic Suriahc, dengan nama Dar Misk (dalam bahasa Aramaic kuno artinya kota wewangi). Letaknya strategis karena berada di jalur dagang dunia.
Damaskus pernah dikuasai berbagai imperium dunia, seperti Akkadia, Ibrani, Babilonia, Persia, Yunani, dan Romawi. Kaisar Persia, Cyrus Agung, yang membebaskan Damaskus dan seluruh wilayah Suriah dan Palestina dari Bangsa Babilonia (538 SM), menjadikan Damaskus sebagai ibu kota wilayah Suriah saat menjadi provinsi bagian Persia. Sementara pada masa kekaisaran Romawi (sejak 64 SM) dan penyebaran agama kristen (3 M), Damaskus adalah salah satu kota terpenting di wilayah Suriah, selain Antiokia, Palmyra, dan Busra. Kota Damaskus demikian megah dan makmur, dikelilingi tujuh pintu gerbang utamayang luas dan tinggi, yang dibangun pada masa pemerintahan Romawi, yaitu gerbang Timur (Syarq), Jabiyah, Kisan, Shagir, Thomas (Thuma), Janic (Faraj), dan Faradis (Paradise). Tata kota Damaskus sangat indah. Rumah, istana, gereja, teater, akademi, dan kuil-kuil tertata dengan baik.
Pasukan Islam bergerak menuju kota bergerbang tujuh itu. Umar memerintahkan untuk mendahulukan Damaskus daripada Pella—sekalipun jarak Pella lebih memungkin untuk lebih dahulu dijangkau—karena Damaskus adalah kunci utama untuk menaklukkan kota-kota Suriah lainnya, bahkan juga kota-kota Palestina dan pesisir Laventina, sekaligus sebagai pintu gerbang menuju Emesa (Himsh) dan Antiokia dari arah Selatan.
Umar menempatkan pasukan di setiap pintu gerbang itu; pasukan Khalid bin Walid di gerbang Timur, Amr bin Ash di gerbang Thomas, Abu Ubaidillah di gerbang Jabiyah, dan Yazid ibn Abi Sufyan di gerbang Faradis. Umar juga memerintahkan beberapa pasukan untuk ditempatkan di utara Damaskus yang menjadi jalan terusan menuju Emesa untuk berjaga-jaga jika Heraklius mengerahkan pasukannya secara tiba-tiba dari kota tersebut.
Setelah menjalani pengepungan kota sekitar enam bulan, Damaskus akhirnya dapat ditaklukkan, tepat pada Februari 635 M. Diawali Khalid yang berhasil membuka pintu sisi Timur benteng kota itu, kemudia disusul oleh Abu Ubaidillah di sisi gerbang lain. Tak ada perlawanan berarti karena kebanyakan masyarakat Damaskus memilih berdamai dan menyerahkan sepenuhnya kota tersebut kepada otoritas Islam. Beberapa perjanjian dan persyaratan dibuat. Pihak Islam memberikan jaminan keamanan kepada penduduk kota sebagai kompensasi dari jizyah yang ditetapkan.
Menaklukkan Pella (Fihl)
Setelah Damaskus dikuasai, Abu Ubaidah, Khalid, Syarhabil, Amr, dan pasukan Islam lainnya bergerak ke selatan menuju Fihl.[8] Sisa-sisa pasukan Bizantium yang masih bertahan di sana menjebol saluran irigasi dari Sungai Yordan yang mengalir di sepanjang tepian Fihl. Air sungai itu pun meluap. Tanah lembah itu berubah menjadi lumpur.
Pasukan Islam tidak bisa bergerak, namun keadaan pasukan Bizantium lebih parah, mereka terendam lumpur sungai itu. Pasukan muslim segera menghujani mereka dengan anak panah sehingga sebagian besar tewas, sisanya berpencar melarikan diri. Fihl akhirnya dapat ditaklukkan.
Menaklukkan Baalbek dan Emesa (Himsh)
Setelah mendengar kejatuhan Damaskus, Kaisar Heraklius segera mundur dari Emesa menuju Antiokia.[9] Pada musim dingin Suriah, Maret 635 M, pasukan Islam pimpinan Abu Ubaidah dan Khalid bergerak ke utara menuju Emesa.[10] Mereka melewati Baalbek (Heliopolis)[11] dan menaklukkannya.
Emesa ditaklukkan tanpa perlawanan berarti dari pihak Bizantium, karena Heraklius dan petinggi-petinggi lainnya telah mundur ke Antiokia. Masyarakat Emesa melakukan perdamaian dengan pihak Islam dan membayar jizyah. Seluruh kepemilikan—benteng, gereja, kincir air, kuil, dan rumah—mereka dijamin, kecuali katedral Saint John (al-Qadis Yuhana) yang separuhnya dibangun masjid.
Menuju Chalchis (Qinnasrin) Menaklukkan Aleppo (Halab)
Qinasrin adalah provinsi paling utara Suriah yang membawahi beberapa kota penting, yaitu Qinnasrin sendiri, Lattakia, Aleppo, dan Antiokia—tempat pelarian Hiraklius dari Himsh.
Pasukan Islam berhenti sejenak di Himsh untuk menentukan arah penaklukan di Qinnistrin. Khalifah Umar di Madinah memerintahkan agar mereka menaklukkan Aleppo[12] terlebih dahulu sekalipun Antiokia adalah kota utama dan terbesar. Hal ini karena pertahanan terkuat pasukan Bizantium berada di Aleppo. Jika Aleppo dapat ditaklukkan maka Antiokia dan kota-kota lainnya akan lebih mudah dikuasai.
Penaklukan Aleppo cukup sulit. Selain berada di atas bukit terjal dan dikelilingi benteng, gerbang Kota Aleppo hanya satu dari arah depan. Setelah sekian hari dikepung, di malam hari beberapa pasukan Islam memanjat tembok benteng dan berhasil menyelinap ke dalam benteng, menyergap beberapa penjaga, serta memutuskan rantai gerbang dan membukanya. Pasukan Islam yang telah berada di depan pintu gerbang segera memasuki benteng itu dan pecahlah pertempuran hingga hari beranjak siang. Dalam perang itu, Vartanius, panglima Bizantium tewas. Kota Aleppo akhirnya jatuh ke tangan pasukan Islam.
Menguasai Antiokia
Kaisar Heraklius meninggalkan Antiokia[13] menuju ke Edessa (Raha), untuk kemudian menuju ibu kota kekaisaran di Konstantinopel yang selama 10 tahun terakhir tidak pernah dikunjunginya.
Sebelum meninggalkan Antiokia, Heraklius sempat bersujud dan menumpahkan air mata di hadapan gereja agung Antiokia. Ia berkata: “Kedamaian untukmu wahai Suriah. Ini adalah perpisahan tanpa ada pertemuan lagi setelahnya. Tidak akan ada lagi seorang Bizantium yang kembali padamu, kecuali ia penuh ketakutan karena menjadi tawanan.” Heraklius meninggalkan Suriah dengan cucuran air mata dan hati yang remuk.
Kota Antiokia diserahkan secara damai oleh uskup agungnya kepada pihak Islam yang siap memberikan jaminan keamanan kepada seluruh penduduk kota yang diwajibkan membayar jizyah.
(Bersambung)
Catatan Kaki:
[1] Sebuah kota pesisir kuno sekaligus bandar utama yang strategis dan kaya raya, terletak di ujung teluk Persia (sekarang Kuwait), di tepi muara sungai Eufrat-Tigris; dibangun pada masa penaklukan kaisar Alexander Agung (w. 323 SM) sebagai bentuk persembahan kepada dewa matahari.
[2] Tsini, Walijah, dan Allais adalah kota-kota kecil yang didalamnya terdapat minoritas Arab.
[3] Hirah adalah kota kerajaan Persia didirikan Malik Amru ibn Uday al-Lakhmi pada pertengahan tahun 200 SM. Kerajaan itu dikelilingi benteng bebatuan, pohon palem dan kurma. Ada beberapa istana didalamnya, juga gereja-gereja dan akademi. Ia merupakan kerajaan Arab di perbatasan Irak Arab yang kemudian menjadi protektorat imperium Persia. Mayoritas penduduknya memeluk Kristen Nestorian. Kerajaan ini tunduk tanpa perlawanan dan memilih membayar jizyah sebagai jaminan keamanan
[4] Kota berpenduduk mayoritas Arab yang terletak tak jauh dari seberang bekas reruntuhan situs kuno Babilonia.
[5] Kota oasis yang dirimbuni ladang kurma, sekaligus benteng terdepan bagi pertahanan dan perbatasan imperium Persia dengan imperium Bizantium.
[6] Sebuah kota tua yang kaya akan gandum, juga pusat aktivitas politik. Di kota itu berdiri sebuah bangunan mirip Colosseum di Roma.
[7] Yordania, Palestina, Pesisir Laventina, dan Suriah. Wilayah yang berpemandangan elok, bertanah hijau, berpegunungan tinggi, berlapis salju, berlahan subur dengan hasil bumi yang kaya; memiliki kota-kota yang indah dan megah; memiliki legenda, tradisi, sejarah, dan peradaban yang sangat tinggi. Penduduknya adalah orang-orang kulit putih, baik dari ras asli Suryani (Suriah Aramaic), Ibrani, Piniki (Pheonician), Nabatea, atau ras pendatang Yunani dan Latin.
[8] Fihl adalah kota kecil di Lembah Baisan, beberapa kilometer di selatan Danau Tiberias; dilewati aliran sungai Yordan.
[9] Kota terbesar Suriah di sebelah Utara, di perbatasan Suriah dan Asia Minor.
[10] Emesa adalah kota tua yang banyak memiliki kuil kuno—yang terbesar adalah Heliogabulus.
[11] Daerah subur dan hijau di perbukitan Bek (Biqa), di tepian sungai Litani; ia adalah kota kuno yang telah ada sejak masa pendudukan bangsa Pheonician pada 2000 SM. Di sana terdapat beberapa kuil peninggalan bangsa Pheonician dan Yunani. Salah satu kuil yang tersohor dan terbesar adalah kuil Bacchus dan Jupiter yang arsitekturnya persis dengan kuil-kuil Phartenon di Athena.
[12] Kota ini berdiri di atas bukit tinggi dan terjal, dikelilingi benteng yang kukuh. Aleppo dibangun oleh kerajaan Amoria pada 1600 SM, sekaligus menjadi ibu kota. Setelah kejatuhan Amoria, Aleppo kemudian dikuasai secara bergantian oleh Suriah, Persia, Yunani, dan Romawi.
[13] Antiokia adalah kota terbesar di seluruh Suriah. Dahulu, dinasti Seluicids (305 – 67 SM), dinasti penerus kaisar Alexander the Great menguasai Suriah, menjadikan Antiokia sebagai ibu kota kerajaan. Sewaktu emperor Roma, Julius Caesar (100 – 44 SM), menaklukkan Suriah, Antiokia juga menjadi ibu kota Romawi untuk wilayah kekuasaan timur. Ibu kota tersebut akhirnya pindah ke Konstantinopel (Istambul) sejak masa didirikan oleh Kaisar Konstantin pada 330 M. Bagi Kristen generasi awal, Antiokia menjadi salah satu pusat dakwah agama masihi, bahkan menjadi kota suci kristen kedua setelah Yerusalem. Petrus salah seorang hawari al-Masih datang ke kota itu dan mendirikan gereja pada 34 M. Pada 290 M, pendeta Lusianus mendirikan sekolah teologi yang berkembang menjadi mazhab teologi kristen yang mengusung penafsiran harfiyah atas kitab suci Injil, juga pemahaman al-Masih sebagai manusia biasa, bukan sebagai Tuhan. Gereja ini menjadi cikal bakal lahirnya mazhab Ariusian dan Nestorian dalam tradisi Kristen abad pertengahan.