Oleh: Muhammad Yasin Jumadi, Lc.
Pada tahun 1945 atau dua tahun sebelum Tunisia mendeklarasikan kemerdekaan, Borguiba telah berjanji akan mendirikan pemerintahan atheis di Tunisia. Sejak Borguiba menjadi presiden Tunisia 25 Juli 1957, ia benar-benar melaksanakan janjinya.
Tahun 1957 Borguiba mengeluarkan undang-undang sipil yang sama sekali bertentangan dengan syariat Islam. Tahun 1958 wakaf dihapus. Tahun 1959 pelajaran agama dihapus. 1960 Borguiba melarang rakyat Tunisa berpuasa dengan alasan bahwa puasa hanya mengurangi produktifitas negara. 1962 kelender hijriah dihapus. 1965 Borguiba pertama kali membentuk club telanjang. 1968 wanita muslimah mulai ditelanjangi dari pakaian Islami. 1969 masjid-masjid mulai ditutup. 1974 Borguiba mulai melancarkan orasi menentang nilai-nilai Islam dan menyerang Al-Quran serta sunnah.
Di hadapan badai yang menghancurkan umat Islam inilah para tokoh Tunisia membentuk sebuah gerakan bernama Harakah Al-Ittijah Al-Islami pada tahun 1969, yang menjadi cikal bakal terbentuknya Partai Nahdhah Al-Islamiah yang berarti Partai Kebangkitan Islam. Pendiri utamanya adalah Syaikh Rasyid Al-Ghanusyi sebagai pemimpin dan Prof. Abdul Fattah Muru sebagai sekjennya. Didukung oleh dosen-dosen dari Universitas Az-Zaitun dan para aktivis HAM seperti Syaikh Muhammad Shalih, Syaikh Abdul Qadir Salamah, dll..
Akar Pemikiran dan Tantangan Gerakan
Menurut data An-Nadwah Al-Alamiyah li Syabab Al-Islami (WAMY), Harakah Al-Ittijah Al-Islami didirikan berdasarkan pemikiran Ikhwanul Muslimin di Mesir. Awalnya gerakan ini hanya terbatas pada tarbiyah, pemikiran, sosial, dan pengetahuan. Akan tetapi kemudian pada tahun 1979 Ittijah Al-Islami menggelar muktamar yang hasilnya menyatakan bahwa amal politik merupakan salah satu pintu melakukan ishlah (perbaikan) yang utama. Dan mereka juga menerbitkan majalah bernama “Ar-Ra’yu” yang menjadi corong efektif dalam membangkitkan umat.
Pada 6 Juni 1981 Harakah Al-Ittijah Al-Islami resmi menjadi gerakan politik yang berlandaskan Islam. Namun Borguiba tidak melegalkan gerakan ini, bahkan memenjarakan ratusan pemimpin Harakan Al-Ittijah Al-Islami, termasuk Al-Ghanusyi yang divonis 10 tahun penjara. Pada tahun 1984 Al-Ghanusyi dilepas, tapi mereka tak boleh menduduki jabatan apapun, tak boleh membuat majalah Islami, dan tak boleh memberikan ceramah di masjid. Kemudian tahun 1986, Borgouiba berjanji bahwa sepuluh tahun kedepan ia akan menghabiskan umurnya untuk memberantas Al-Ittijah Al-Islami.
Pada tahun 1987 kembali terjadi penangkapan besar-besaran terhadap pemimpin gerakan Al-Ittijah Al-Islami, dan Ghanusyi lagi-lagi dipenjara. Namun pada tahun yang sama Borguiba lengser dari jabatannya melalui skenario kudeta putih.
Pembentukan Partai Nahdhah
Awal kepemerintahan Ben Ali sejak 7 November 1987 membuka harapan untuk gerakan Islam bisa bernafas lega. Tahun 1989, delapan orang pemimpin Al-Ittijah Al-Islami menghadap Ben Ali untuk meminta agar Al-Ittijah Al-Islami menjadi legal. Untuk itu Al-Ittijah Al-Islami mengubah nama menjadi Partai Nahdhah, di mana partai ini akan tunduk pada undang-undang partai dan berbagai ikatan lainnya. Namun Ben Ali menolaknya. Awalnya Ben Ali memberi harapan, namun tak lama setelah menjabat ia kembali melanjutkan kegilaan Borguiba dalam memenjarakan para aktivis geraka Islam. Sedangkan Al-Ghanusyi, ia diancaman penjara seumur hidup yang membuatnya mengasingkan diri ke Inggris.
Kemenangan Partai Nahdhah Pasca Revolusi
Pasca revolusi Tunisia Januari 2011, Al-Ghanusyi kembali ke negaranya setelah 21 tahun di Inggris. Di lapangan terbang internasional Tunisia, Al-Ghanusyi disambut oleh 20 ribu pendukungnya dari Partai Nahdhah. Sejak awal kepulangannya, Al-Ghanusyi memastikan bahwa ia tak akan menjabat posisi politik apapun pasca revolusi dan ia akan turun dari jabatan pemimpin Partai Nahdhah sejak muktamar pertama pasca revolusi.
Partai Nahdhah yang dilarang pada masa Ben Ali telah mendaftarkan diri menjadi partai resmi pada Maret 2011. Dan pada pemilu Oktober 2011, Partai Nahdhah langsung memenangkan pemilu pertama pasca revolusi. Partai Nahdhah meraih 41,47% suara atau memperoleh 90 kursi dari 217 kursi parlemen. Kongres untuk Republik (CPR), partai sayap kiri, berada di tempat kedua dengan raihan 13,82 persen suara yang berarti akan mendapat 30 kursi. Ettakatol di tempat ketiga dengan 9,68 persen suara atau 21 kursi.
Kemenangan Partai Nahdhah ini menunjukkan kebangkitan gerakan Islam di Tunisa. Menunjukkan juga bahwa rakyat Tunisia telah muak dengan sekularisme yang melahirkan pemerintah diktator seperti Borguiba dan Ben Ali. Partai Nahdhah tak menang kecuali karena mereka adalah gerakan Islam yang telah sejak lama meninggikan bendera Islam, menghadapai Ben Ali dan Borguiba dengan segala konspirasi diktator sekulernya.
Dilema Masa Depan Partai Nahdhah
Pada dasarnya tujuan Partai Nahdhah sama dengan tujuan Harakah Al-Ittijah Al-Islami: [1] Membangun pribadi masyarakat Tunisia menjadi pribadi muslim yang mampu mendirikan pusat peradaban Islam di Afrika. [2] Memperbaharui pemikiran menurut dasar Islam yang tetap dan sesuai dengan kebutuhan hidup yang terus berkembang. [3] Mengembalikan hak rakyat untuk menentukan keinginannya, jauh dari hegemoni asing. [4] Mengembalikan kehidupan ekonomi yang Islami, adil dan sejahtera. [5] Berpartisipasi dalam membangun entitas politik dan peradaban Islam di taraf nasional, Arab, maupun internasional.
Dalam merealisaskannya, Partai Nahdhah menggunakan dua sarana utama, pertama: mengembalikan peran masjid sebagai pusat ibadah dan mengatur masyarakat sebagaimana yang diteladankan oleh Rasulullah Saw.. Kedua, menggerakkan aktivitas pemikiran dan pengetahuan; di antaranya melangsungkan seminar-seminar, mendukung gerakan tulis-menulis dan penerbitan, menanamkan nilai-nilai Islam dalam seni dan pengetahuan umum, memotivasi karya ilmiyah, memasyarakatkan bahasa Arab dengan tetap peduli bahasa asing, menolak kekerasan, busana Islami untuk muslim dan muslimah, dan sebagainya.
Namun dilemanya, pasca revolusi Al-Ghanusyi dalam berbagai kesempatan berulangkali menyatakan bahwa Partai Nahdhah akan lebih mirip dengan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) di Turki. Bagaimanakah sikap Partai Nahdhah terhadap sekularisme yang telah berkembang di Tunisia selama ini? Bagaimanakah nasib penerapan syariat Islam di Tunisia?