Oleh: Mohammed Aisy (Penulis Palestina)
Selama beberapa tahun kebelakang, gerakan Islam berada di garis depan panggung politik di banyak (jika tidak semua) negara-negara Arab, terutama setelah gelombang revolusi Arab Spring yang membuka peluang bagi kaum Islamis untuk mengambil alih kekuasaan serta berpartisipasi di dalamnya, atau tampil di garis depan panggung politik karena keikutsertaan mereka dalam peristiwa-peristiwa publik dan kehadiran mereka di “jalan” bersama rakyat.
Setelah kaum Islamis mendominasi kancah politik di beberapa negara Arab, mereka dengan cepat kemudian menjadi target beberapa rezim tirani dan pasukan keamanannya yang otoriter dan represif, yang menyebabkan aneka ragam percobaan politik yang dilakukan oleh kaum Islamis (Ikhwanul Muslimin secara khusus, mengingat bahwa mereka adalah gerakan Islam terbesar yang mempraktikkan politik) dalam beberapa tahun terakhir banyak berakhir dengan kegagalan. Di Mesir misalnya, mereka bercerai berai antara tempat-tempat pelarian dan penjara setelah rezim Mesir menggunakan kekerasan yang berlebihan terhadap mereka. Sementara dalam kasus lain seperti di Yordania, mereka terpecah belah dan menjadi kelompok kecil yang mirip seperti dekorasi pelengkap saja, meskipun masih memiliki perwakilan di parlemen dan masih memiliki pengaruh penting di perpolitikan. Selain itu, ada model unik lainnya seperti di Tunisia yang akhir perjalanannya masih belum jelas, serta dalam kasus Maroko, dimana mereka terlibat dalam normalisasi hubungan dengan penjajah Israel dan menyetujuinya (yang membuat perolehan suara mereka merosot tajam).
Realitanya, eksperimen politik gerakan Islam di beberapa negara Arab sangat beragam dan berbeda dalam beberapa tahun terakhir, Hamas misalnya (yang dianggap sebagai sayap militer Ikhwanul Muslimin di Palestina) masih mengadopsi perlawanan dan menolak untuk mengakui eksistensi Israel, sementara Partai Keadilan dan Pembangunan (Sayap Ikhwanul Muslimin di Maroko)[1] justru mengakui Israel dan menandatangani perjanjian normalisasi dengan Israel. Sementara itu, Ikhwanul Muslimin Yordania yang menolak perjanjian damai dengan Israel yang ditandatangani tahun 1994, pada saat yang sama mereka memiliki perwakilan di parlemen yang menyetujui perjanjian tersebut dan tidak mengundurkan diri darinya.
Sikap mereka terhadap isu Palestina dan pengakuannya terhadap eksistensi Israel tidak lain adalah salah satu contoh keragaman sikap gerakan Islam, dan perbedaan percobaan politik yang mereka lakukan di dunia Arab. Contoh-contohnya sangat banyak dan memerlukan penelitian yang kritis dan adil. Intinya, percobaan politik gerakan Islam dalam berkuasa dan keterlibatannya dalam pemerintahan memerlukan evaluasi kritis dan studi yang harus mengarah pada hasil dan rekomendasi praktis. Dalam beberapa kasus, kaum Islamis menderita kerugian besar dan kegagalan parah. Kegagalan ini berdampak besar pada realitas proyek islami dan masyarakat Arab secara umum, dimana di kawasan Arab terjadi gelombang besar kemurtadan di tengah-tengah masyarakat dan sikap religius menjadi menurun serta atheisme menjadi fenomena baru. Selain fakta bahwa ribuan kader Gerakan Islam telah terhempas dalam penjara atau pengasingan, atau memutuskan secara sukarela untuk meninggalkan aktivitas politik dan fokus pada kehidupan individu, hal ini juga ditambah dengan perbedaan pendapat, pembelotan, dan saling cela yang semuanya menegaskan kembali kegagalan percobaan Gerakan Islam dalam politik dan pemerintahan.
Yang harus disadari oleh gerakan Islam adalah lebih baik untuk tidak terlibat dalam eksperimen yang kemungkinan besar akan gagal, karena biaya dan efek dari kegagalan dalam aksi politik sangat besar. Karenanya, mengevaluasi fase sebelumnya dan mempelajari serta menilainya kembali dalam rangka hubungannya dengan masa depan adalah hal yang sangat mendesak dan penting. Fase yang dilalui gerakan Islam saat ini mengingatkan kita pada fase yang pernah dilalui oleh partai-partai komunis di dunia Arab di periode pasca runtuhnya Uni Soviet, ketika dunia menghadapi percobaan gagal dan masyarakat mulai menjauh darinya, yang dengan cepat mengubah partai-partai komunis menjadi kelompok-kelompok kecil yang minim dukungan. Tentu saja, kita mengakui adanya banyak perbedaan opini dalam masalah ini, termasuk klaim bahwa gerakan Islam adalah berdasarkan pada agama samawi yang tidak dapat dikalahkan atau diruntuhkan, sebagaimana halnya teori-teori duniawi yang dikembangkan oleh manusia.
Sumber: Al-Quds Al-Araby.
Catatan Kaki:
[1] Informasi lain menyebutkan, IM sebenarnya tidak memiliki tandzim (struktur) di Maroko. Sehingga Partai Keadilan dan Pembangunan (Hizbul ‘Adalah wat Tanmiyah) tidak merepresentasikan IM, karena tidak ada hubungan tandzimi (keorganisasian). Di Maroko hanya ada tandzim IM untuk ekspatriat, para mahasiswa anggota IM, atau ‘muhajirin’ IM dari berbagai wilayah yang tetap menginduk ke wilayah mereka berasal.
Kebijakan tidak membuka tandzim seperti itu dilandasi penghormatan IM kepada gerakan Islam lokal yang dinilai memiliki kesamaan ide dan organisasi yang kuat. Selain di Maroko, kebijakan seperti itu diberlakukan juga di Indo-Pakistan dan Turki.
1 comment
Alhamdulillah, masih bisa membaca artikel-artikel terbaru yg dipublikasikan website ini. Semoga terus istiqomah menyampaikan tulisan-tulisan yg bermanfaat untuk umat.