Oleh: KH. Hilmi Aminuddin
Langkah-langkah konsolidasi kita tidak akan mencapai hasil yang memadai untuk persiapan-persiapan ke depan, kecuali jika kita memulainya dengan muhasabah. Memulai dengan evaluasi tentang langkah-langkah kita yang sudah kita ayunkan dalam jalan perjuangan dakwah ini. Sehingga kita mengetahui hal-hal yang mungkin terjadi dalam perjalanan kita yang sebagai manusia tidak pernah sepi dari kemungkinan kekhilafan, kekurangan, dan kelalaian. Semuanya secara fitri dimungkinkan terjadi. Kekhilafan-kekhilafan yang muncul dari kelemahan kemanusiaan kita adalah sesuatu yang wajar. Ketidak wajaran baru terjadi, jika kita mengabaikan evaluasi terhadap kemungkinan-kemungkinan kesalahan-kesalahan yang ditimbulkan oleh kekurangan-kekurangan tersebut.
Kekurangan-kekurangan seringkali belum kita deteksi, belum kita ketahui dan belum kita rasakan ketika program-program masih dalam bentuk perencanaan, ketika masih dalam bentuk agenda. Tapi ketika sudah diterjunkan dan diimplementasikan di lapangan, setelah berinteraksi dengan aneka ragam program, aneka ragam kekuatan yang ada di lapangan, barulah terasa kekurangan-kekurangan itu. Barulah terasa hambatan-hambatan yang timbul, barulah terasa pilihan-pilihan langkah atau program yang kurang tepat atau kurang akurat. Maka konsolidasi yang dimulai dari mutaba’ah, tidak bisa dilepaskan dari mutaba’ah maidaniyah.
Ikhwan dan akhwat fillah…
Evaluasi-evaluasi yang kita lakukan dalam rangka konsolidasi itu sudah barang tentu mempunyai patokan yang sangat baku dalam konsep perjuangan Islam. Pertama-tama kita evaluasi seluruh langkah perjuangan kita dari sudut hablum-minallah. Apakah gerak langkah perjuangan kita selama ini berhasil mendekatkan diri kita kepada Allah SWT? Mendekatkan diri kepada konsep yang digariskan oleh Allah SWT atau tidak? Di sisi hablum-minallah itulah evaluasi yang sangat mendasar kita mulai.
Kita mulai dari hal-hal yang sangat mendasar dengan intropeksi atau naqdudz-dzati terhadap–na’uudzubillah- inhirafaat ‘aqidiyah (penyimpangan aqidah) yang mungkin timbul. Sering saya ingatkan, efek dari marhalah perjuangan kita yang sekarang ini mengharuskan kita semakin kuat berinteraksi secara terbuka di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Dimana disana terjadi komunikasi yang bersifat nazhariyan yaitu diskusi, tukar fikiran, dialog, dan musyawarah. Secara fikriyan hal ini memungkinkan terjadinya nuats-tsir fiihim wa nata-atstsarbihim. Dimana kita bisa mempengaruhi mereka dan bisa pula terpengaruh oleh mereka yang berefek kepada kemungkinan-kemungkinan, terjadinya ikhtiraqaat atau penetrasi yang bersifat ma’nawiyan.
Penetrasi moril inilah yang –na’udzubillah- tidak terasa kadang-kadang menyelinap ke dalam diri kita, bahkan ke dalam raq’atul quluub, masuk ke dalam sisi-sisi hati kita. Ini yang sering saya ingatkan, bahwa melalui pelaksanaan tugas-tugas dalam musyarokah, dalam keterbukaan, dalam mu’amalah dengan publik memungkinkan adanya resiko penetrasi moril yang tiba-tiba secara tidak terasa. Na’uudzubillah, sehingga kita di satu sisi kehidupan kita mungkin sudah tidak lagi berperilaku sesuai dengan dhawabith ‘aqidiyah (patokan-patokan aqidah) kita, dhawabith ma’nawiyah (patokan-patokan moral), dhawabith khuluqiyah (patokan-patokan akhlak), dhawabith sulukiyah (patokan-patokan sikap) kita yang seluruhnya mengacu kepada alqur’an dan sunnah.
Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah…
Alhamdulillah, selama ini kesiagaan kita secara tanzhimiyah selalu kita upayakan untuk ditingkatkan dalam mengawal kemungkinan-kemungkinan terjadinya penetrasi moril itu. Mudah-mudahan usaha-usaha yang secara jama’iy kita lakukan dapat meminimalisir kemungkinan-kemungkinan terjadinya penetrasi moril yang memungkinkan terjadinya pelemahan ma’nawiyah dan semangat perjuangan kita.
Ikhwan dan akhwat fillah…
Juga sering saya ingatkan, bahwa dalam pergaulan melaksanakan tugas-tugas dakwah, tidak bisa tidak, kita harus berinteraksi secara terbuka dengan publik. Hal itu kemudian memunculkan kemungkinan-kemungkinan terjadinya penetrasi idiil—ikhtiraqaat fikriyah.
Ikhtiraqaat fikriyah ini biasanya dimulai dengan terjadinya al idzaabah fikriyah (pelarutan idealisme). Apalagi dalam perjuangan ini, kita mendapatkan terpaan-terpaan ghazwul fikri yang demikian kuat. Kadang-kadang muncul dalam bentuk kalimat-kalimat yang sangat menohok. Dimana kita dianggap sudah kehilangan idealisme atau dipersamakan dengan partai-partai lain atau kelompok-kelompok perjuangan lain. Suara-suara itu terdengar oleh kita dan harus dijadikan bahan evaluasi serta harus kita perhatikan.
Sisi kedua dari evaluasi kita adalah sisi hablum minannas. Sebab hubungan dengan Allah SWT yang baik, hubungan dengan Khaliq yang baik harus memancarkan hasil hablum minannas yang baik. Tidak mungkin kita mengatakan: “Yang penting hablum minallah. Soal hablum minannaas nanti kita urus belakangan”.
Justru hablum minallah yang baik akan terrefleksikan secara otomatis dalam kehidupan kita di tengah-tengah masyarakat (hablum minannaas). Secara hablum minannaas kita harus mengukur dari hasil-hasil interaksi kita di tengah-tengah masyarakat, di tengah-tengah publik dengan beberapa hal.
Sebelumnya, saya harus mengapresiasi kehadiran ikhwan dan akhwat fillah di tengah-tengah masyarakat, sebetulnya sangat menonjol dengan aktivitas-aktivitas sosial yang demikian banyak. Baik dalam kaitan keterlibatan mengatasi aneka ragam problematika, terutama di saat-saat adanya musibah dan bencana,ikut terlibat penuh dalam mengurai problematika masyarakat, juga dalam membela kepentingan-kepentingan masyarakat, ri’ayah mashlahah ijtima’iyah. Peran ikhwan dan akhwat sangat menonjol dan diakui banyak fihak.
Yang harus kita evaluasi pengaruhnya di tengah-tengah masyarakat adalah: apakah kehadiran kader-kader kita di tengah-tengah masyarakat menghasilkan interaksi sosial yang positif?
Dalam manhajiyatul ‘amal kita dalam membangun ‘alaqah ijtima’iyah, ada tiga langkah utama yang selama ini kita lakukan. Yang pertama adalah keterlibatan kader-kader kita, ikhwan dan akhwat, dalam memperjuangkan, membela, dan mengadvokasi kepentingan-kepentingan masyarakat ( ri’ayatul mashaalih al ijtima’iyah).
Yang kedua, keterlibatan kader-kader kita, ikhwan dan akhwat, dalam memecahkan problematika di tengah-tengah masyarakat (hallul qadhaaya al ijtima’iyah). Kalau tidak disebut kepeloporannya, tapi keberadaan kita di garis depan di bidang ini sebetulnya sangat menonjol. Umpamanya kreatifitas ikhwan dan akhwat ketika berkontribusi untuk memberikan solusi bagi problem ekonomi masyarakat melalui pendekatan-pendekatan tathbiqus syari’ah islamiyah. Sejak tahun 90-an, terutama 90-an akhir yang memelopori lahirnya BMT-BMT adalah kader-kader kita. Bahkan sempat—paling tidak dalam bentuk hitungan kuantitas—terlaporkan ikhwan dan akhwat fillah di seluruh Indonesia membuat BMT lebih dari 5.000 BMT.
Ini adalah kreatifitas ikhwan dan akhwat di tengah-tengah masyarakat. Walaupun kemudian di satu sisi jumlahnya menyusut, tapi di pihak lain masih menghasilkan BMT-BMT yang teladan, yang kokoh, yang membesar. Bahkan mungkin aktivitas itu paling besar. Walaupun jumlahnya semakin sedikit, mudah-mudahan merupakan bagian dari kristalisasi potensi ikhwan dan akhwat yang kemudian terkonsolidasi secara kuat, akhirnya memunculkan perjuangan ekonomi islami yang lebih mumpuni. Jumlahnya memang sekarang ini mengecil, tapi semakin bermutu.
Di sektor pendidikan juga kita menonjol. Dalam menangani problematika pendidikan anak-anak, mulai dari lembaga-lembaga pendidikan kecil yang diselenggarakan di rumah-rumah kontrakan, sekarang jumlahnya juga semakin membesar. Saya dengar dari laporan yang sampai, lembaga pendidikan Islam yang kita kelola dengan manhajiyatul islam yang sering kali ditandai dengan kalimat ‘Islam Terpadu’ (IT) baik SMP IT, SD IT, sampai SMA IT, menurut laporan yang sampai, sekarang jumlahnya dari TPA sampai SMA seluruh Indonesia sudah ada 2.500 lembaga. Semuanya terorganisir dan juga secara kualitas kelihatan semakin meningkat. Institusi-institusinya semakin besar dan semakin memberikan kontribusi dalam perbaikan-perbaikan sistem pendidikan serta mulai mempengaruhi juga yayasan-yayasan Islam lain. Mereka mulai mengikuti manhajiyahnya atau paling tidak brandmark-nya, ikut memakai nama ‘Islam Terpadu’ walaupun belum manhajiyahnya. Ini adalah bagian dari kerja ikhwan dan akhwat di tengah masyarakat yang menonjol.
Yang ketiga, adalah keterlibatan ikhwan dan akhwat dalam shiyaghatul bina al ijtima’i. Keterlibatan ikhwat dan akhwat dalam tatanan struktur kemasyarakatan sekarang sudah mulai meningkat. Saya dengar dari laporan DPP umpamanya di suatu kabupaten di Jawa Barat, dilaporkan kader kita ada yang terlibat dalam pemilihan kepala desa atau lurah sampai 14 kelurahan yang menang. Kalau ketua RT dan RW sudah sangat banyak. Artinya ini, kita masuk ke dalam shiyaghatul bina al ijtima’i, tatanan struktuk kemasyarakatan. Bahkan dari yang paling dekat kepada masyarakat; RT, RW, dan lurah yang sebetulnya akan lebih efektif dan efisien dibanding Bupati dan Gubernur. Ini adalah bagian terpenting dari interaksi kita dalam binaaul ‘alaaqah al ijtima’iyah.
Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah. Insya Allah, kalau tiga hal ini berjalan efektif, maka kita akan melihat keberhasilan dalam membangun ‘alaaqah ijtima’iyah. Dari hasil evaluasi saya terhadap binaaul ‘alaaqah al ijtima’iyah baik dari segi ri’ayah mashaalih ijtima’iyah atau hallul qadhaaya al ijtima’iyah, begitu juga shiyaghatul binaa al ijtima’iy, kurang ditindaklanjuti dalam bentuk tafaa’ul ijtima’iy (interaksi sosial).
Ada kecenderungan ikhwan dan akhwat secara terstruktur hadir di tengah-tengah aktivitas tadi, tapi terlalu formalis. Di luar aktivitas formal itu, kurang ditindak lanjuti dalam bentuk interaksi sosial.
Sebetulnya interaksi sosial yang diharapkan adalah dalam bentuk-bentuk yang tidak formal. Memang kadang-kadang kader kita belum terbiasa duduk ngobrol dengan pak camat, kongkow dengan pak Lurah, dengan Pak RT atau hadir di kantornya. Hal seperti ini kurang dilakukan. Cenderung hubungan itu formalis, sangat formal dalam acara-acara resmi. Sebetulnya itu bermanfaat bagi mereka, cuma kurang ditindaklanjuti oleh interaksi sosial yang akan memberikan kesan lebih terhadap aktivitas kebajikan kita di tengah-tengah masyarakat.
Melalui interaksi sosial itu kita harapkan akan terjadi tafa’ul fikri (interaksi pemikiran). Karena salah satu metode perjuangan gerakan dakwah kita di tengah-tengah masyarakat dalam membentuk dan membangun idealisme masyarakat, harus terjadi tafa’ul fikri. Interaksi idealisme melalui dialog, tukar fikiran, berbincang dan kebiasaan-kebiasaan aktivitas di masyarakat yang mungkin bisa kita manfaatkan.
Tafaa’ul fikriy ini penting dalam konteks nasyrul fikrah kita yang dengan itu diharapkan terjadi keselarasan dan keharmonisan antara idealisme kita dengan masyarakat. Sehingga idealisme kita bukan idealisme ‘manara gading’ yang indah dipandang tapi sulit dijangkau. Hal itu tidak bisa terjadi kecuali melalui interaksi sosial dalam menyebarkan ide-ide kita di tengah-tengah masyarakat. Proses inilah yang harus kita tingkatkan.
Ikhwan dan akhwat fillah…
Dari sudut pandang dakwah dan dari sudut ‘amal islami, insya Allah, tafaa’ul fikri akan melahirkan sebuah support atau dorongan terjadinya kreatifitas masyarakat muslim. Kreatifitas ini kita harapkan muncul dalam merespon kebutuhan-kebutuhan gerakan Islam terhadap keterlibatan masyarakat. Artinya masyarakat ini dalam pelibatannya dalam perjuangan Islam tidak perlu didorong-dorong. Kalau sudah ada interaksi idealisme, insya Allah, kreatifitas untuk ikut dalam aktivitas keislaman, kedakwahan itu akan secara otomatis terjadi, sehingga tidak melelahkan kita. Inilah yang kita harapkan, yaitu munculnya kreatifitas di tengah-tengah masyarakat dari keterlibatan potensi mereka dalam dakwah, aktivitas islam, aktivitas-aktivitas perjuangan kita.
Yang ketiga, ikhwan dan akhwat fillah, yang juga kita harapkan adalah adanya dinamika masyarakat yang positif, masyarakat yang dinamis, hayawiyah al ijtima’iyah. Masyarakat yang dinamis adalah masyarakat yang hidup, yang mampu merespon dan mengantisipasi segala hal yang mungkin terjadi di tengah-tengah masyarakat. Baik respon dan antisipasi terhadap kemungkinan-kemungkinan ancaman terhadap masyarakat atau respon dan antisipasi terhadap hal-hal yang terkait dengan pembangunan masyarakat sendiri. Dengan interaksi seperti itu, insya Allah, masyarakat kita menjadi masyarakat yang produktif.
Produktif ini tidak bisa kita maknai dengan materil saja. Artinya produktifitas masyarakat itu bukan dilihat dari segi produktifitas ekonomi saja, tapi kita juga memerlukan masyarakat yang mempunyai produktifitas di sektor budaya, di sektor seni, termasuk juga produktifitas di bidang politik. Keterlibatan masyarakat dalam politik yang produktif ini sudah tentu memerlukan waktu dalam pembelajaran di tengah-tengah masyarakat.
Sekarang ini secara politik masyarakat kita, saya katakan masih merupakan basis pragmatis bagi partai politik manapun. Belum mengarah ke basis idiologis. Basis idiologis itu baru terbentuk kalau masyarakatnya produktif dinamis.
Ikhwan dan akhwat fillah…
Jadi dari sisi evaluasi melalui pendekatan hablum minannaas, kita harapkan binaaul ‘alaaqah ijtima’iyah kita menghasilkan sesuatu di tengah-tengah masyarakat. Yaitu kebajikan-kebajikan dalam bentuk meningkatnya kualitas masyarakat dari sisi stabilitas sosialnya, dari segi dinamika sosialnya, dari segi produktifitas sosialnya, dst. Mudah-mudahan dengan upaya konsolidasi kita yang akan ditindak lanjuti dengan koordinasi dan mobilisasi potensi kita, insya Allah, akan menghasilkan kekuatan hablum minallah dan hablumminannaas yang kokoh. Insya Allah dengan pendekatan yang diarahkan oleh manhaj qur’ani seperti itu, raihan kemenangan kita adalah kemenangan yang hakiki bukan kemenangan yang semu. Yakni kemenangan yang menghasilkan potensi-potensi baru yang bergabung dalam kekuatan dakwah kita. Insya Allah…