Pada tulisan sebelumnya dipaparkan beberapa pelajaran berharga yang bisa kita petik dari Perang Khaibar. Pada edisi ini, kita akan melanjutkan telaah beberapa hikmah lainnya yang bisa kita petik.
Menghukum Bukan Berarti Memecat
Di antara pelanggaran yang terjadi Perang Khaibar adalah adanya seorang peserta yang ketahuan meminum khamar. Namanya Abdullah bin Hammar. Usai menaklukkan salah satu benteng Yahudi, ia kedapatan meminum khamar. Tidak banyak. Namun melihat hal itu, Rasulullah saw langsung memukulnya dengan sandal beliau.
Beliau pun menyuruh orang-orang supaya memukulinya dengan sandal mereka. Tiba-tiba Umar bin Khaththab melaknatinya. Rasulullah saw bersabda, “Jangan laknati dia karena dia mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Setelah itu, Abdullah pergi selayaknya seorang Muslim lainnya. Dia pun duduk bersama kaum Muslimin.
Abdullah bin Hammar adalah seorang lelaki di antara 1400 orang tentara Islam lainnya. Rupanya dia tak mampu menahan seleranya melihat tong besar minuman keras ketika dipecahkan. Ia pun meminumnya sedikit. Tapi hukumannya cukup keras. Ia dipukuli Rasulullah saw dengan sandal, dilanjutkan dengan pukulan kaum Muslimin dengan sandal mereka. Walaupun demikian, ia menerima dengan lapang dada. Dia tidak berencana untuk menculik Rasulullah saw atau sahabatnya, untuk membalas penghinaan ini.
Hukuman itu selesai begitu saja dan dia pun pergi bergurau dan tertawa bersama teman-temannya. Bahkan, ketika ada seseorang yang melaknatinya, Rasulullah saw melarang tindakan itu. Karena dia menerima hukuman atas pelanggarannya itu dengan baik.
Di sini kita mendapatkan pelajaran: tujuan utama pemberian hukuman bukan untuk mengusir seorang prajurit dari barisannya. Tujuannya untuk membersihkannya dari dosa agar selanjutnya menjadi seorang prajurit sejati dalam balatentara Islam.
Kader dakwah memerlukan mental itu. Setiap Muslimin harus dapat menerima hukuman atas pelanggaran yang dibuatnya dengan lapang dada. Sebaliknya, kaum Muslimin juga harus dapat memahami falsafah hukuman ini. Jadi, tidak lantas mengusirnya dan menghantam kejiwaannya lalu mengucilkannya.
Hukuman pelanggar syariat harus ditegakkan. Tapi bukan berarti harus mengusirnya dari barisan umat Islam. Ia salah dan sudah dihukum. Begitu pula dengan pelanggaran seorang kader terhadap aturan jamaah. Benar, ia harus mendapatkan ‘iqab (hukuman). Namun, hukuman itu tidak harus menyingkirkannya dari jamaah. Ia harus tetap dirangkul. Apalagi kalau yang bersangkutan termasuk orang yang berjasa bagi jamaah dan kaum Muslimin. Menyingkirkannya dari jamaah hanya akan menambah musuh dan membuat citra buruk jamaah itu sendiri. Sebaliknya, jika ia tetap dalam barisan, suatu saat ia akan berguna bagi jamaah. Atau minimal ia tidak akan membuat buruk nama jamaah.
Itu sikap kita jika kader melakukan kesalahan yang jelas. Lalu, bagaimana dengan mereka yang tidak melakukan kesalahan tapi hanya mengerjakan sesuatu yang tidak biasa? Semisal berpoligami!
Dalam konteks ini tak ada yang salah. Secara hukum tak ada yang dia langgar. Yang bersangkutan mungkin hanya melakukan perbuatan yang tidak biasa di masyarakat. Lalu, pantaskah kita mengucilkannya? Menghukumnya secara sosial dan membunuh karakternya. Pada saat yang sama kita lalai dengan segala sisi positifnya selama ini.
Antara Penggembala Kambing dan Budak Maling
Ada dua kisah menarik yang terjadi pada Perang Khaibar. Kisah pertama tentang seorang budak yang kedapatan mencuri tali sandal. “Beruntunglah dia mendapat surga,” ujar para sahabat ketika sebuah anak panah merenggut nyawanya.
Namun Rasulullah saw langsung membantah, ‘Tidak, demi Allah yang menggenggam jiwa Muhammad, sesungguhnya sekarang ia benar-benar sedang menyala api atas dirinya. Benda itu dia ambil secara curang dari harta (fa’i) yang diperoleh kaum Muslimin dari musuh di Perang Khaibar.’
Pernyataan Nabi saw, itu didengar salah seorang sahabat Rasulullah saw, lalu dia datangi mayat budak itu. Ia mendapatkan sepasang tali sandal.
Rasulullah bersabda, ‘Kelak dalam neraka, akan dipotongkan untukmu yang serupa dengan sepasang sandalmu itu.’
Marilah kita bandingkan nasib budak ini, yang menurut pandangan para sahabat tergolong penghuni surga karena telah hidup sekian lama di tengah kaum Muslimin, bahkan menjadi orang dekat dan pelayan Rasulullah saw tapi nasibnya berujung di neraka. Kita bandingkan dengan budak lain, al-Aswad, penggembala kambing milik Yahudi. Ia berkata kepada Nabi saw, “Ya Rasulullah, terangkanlah Islam kepadaku.”
Rasulullah saw pun menerangkan Islam, lalu dia masuk Islam. Rasulullah saw memang tak pernah meremehkan siapa pun untuk diseru dan diterangkan kepadanya tentang Islam.
Setelah pengembala itu menyatakan masuk Islam, dia berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya saya ini seorang buruh yang bekerja pada pemilik kambing-kambing ini. Binatang-binatang ini merupakan amanat padaku, apa yang harus saya lakukan terhadap mereka?”
“Pukullah wajah binatang-binatang itu. Mereka akan pulang ke pemiliknya,” demikian jawab Rasulullah saw.
Mendengar saran Rasulullah saw itu, bangkitlah Aswad, lalu mengambil kerikil sepenuh kedua telapak tangan dan dia lemparkan ke muka kambing-kambing itu seraya berkata, “Pulanglah kepada tuanmu. Demi Allah, aku tak sudi lagi menemanimu selamanya.”
Kambing-kambing itu pun pulang, seolah-olah ada yang menggiring hingga masuk ke dalam benteng.
Akan halnya dengan al-Aswad, sesudah itu dia pun maju mendekati benteng untuk bertempur bersama kaum Muslimin. Malang, dia tertimpa batu, lalu gugur. Padahal, dia belum pernah shalat sama sekali. Jenazahnya diletakkan di belakang Rasulullah saw dengan ditutupi selimut yang dipakainya. Rasulullah saw berkenan melihatnya bersama beberapa orang sahabatnya. Tiba-tiba beliau berpaling dari mayat itu. Para sahabat pun berkata, “Ya Rasulullah, mengapa Anda berpaling darinya?”
Rasulullah menjawab, “Dia sekarang ditunggui dua orang istrinya dari bidadari.”
Dua gambaran kontras dari dua orang budak yang ada dalam barisan balatentara Islam, unik dan mengagumkan. Yang seorang budak Rasulullah saw terbunuh di hadapan beliau, yang menurut lahiriahnya patut mendapat ucapan selamat karena akan masuk surga. Yang lain seorang budak Yahudi, yang sama sekali belum shalat dan terbunuh di depan pintu benteng dari mana dia berasal.
Tali sandal yang diambil secara curang oleh budak Rasulullah saw cukup menjamin dia terbakar di neraka. Sementara sifat amanah dari budak Yahudi berubah karamah. Dua kisah itu bertemu pada satu titik. Yakni, sikap amanah. Barangsiapa yang bisa menjaga amanah meskipun milik Yahudi, ia mendapatkankebaikan. Sebaliknya, orang yang mengabaikan amanah, meskipun itu milik umat Islam, neraka menantinya.
Memburu Husnul Khatimah
Kisah al-Aswad si penggembala dan dua bidadari pada episode Perang Khaibar ini menyiratkan tentang pentingnya kita mengakhiri hidup dengan husnul khatimah. Yang menyebabkan seorang hamba masuk surga bukan semata banyaknya amal, tapi rahmat Allah.
Banyaknya amal hanyalah salah satu cara meraih ridha Allah. Kehidupan seorang hamba ditentukan di pengujung hayatnya. Tiket seseorang menuju surga benar-benar dipastikan di akhir hidupnya. Apa yang dilakukan oleh as-Aswad? Tidak ada. Bahkan shalat dua rekaat pun dia tak sempat. Tapi ia ditakdirkan masuk surga.
Rasulullah saw bersabda, “…Sesungguhnya seorang di antara kalian mengerjakan amalan penghuni neraka sehingga jarak dirinya dengan neraka hanya tinggal sejengkal. Namun ketentuan mendahuluinya sehingga ia mengerjakan amalan penghuni surga. Maka, ia pun masuk (surga),” (HR Bukhari Muslim).
Tak ada yang abadi di dunia ini kecuali sang Pencipta. Semua makhuk pasti binasa. Kapan pun waktunya. Kekayaan, ketenaran dan jabatan, tak bisa membuat orang kekal. Semua akan berakhir pada kepunahan. Allah berfirman, “Semua yang ada di bumi itu akan binasa,” (QS ar-Rahman: 26).
Akhir kehidupan di dunia merupakan awal kehidupan akhirat. Ia menjadi tiket untuk menentukan pilihan: surga atau neraka. Karenanya, mempersiapkan tiket menuju surga seharusnya menjadi agenda utama setiap Muslim. Kesuksesan di dunia ditandai dengan keberhasilan mempersiapkan tiket tersebut. Ibarat para penonton yang mau masuk dalam sebuah gedung pertunjukan, mereka harus mempersiapkan tiket. Tiket itulah yang akan dibawa dan diberikan pada penjaga pintu pertunjukan.
Begitulah perumpamaan hidup ini. Setiap manusia yang ingin masuk ke surga, harus mempersiapkan tiket. Tiket itu diberikan di akhir hidup. Berhak dan tidaknya seseorang terhadap tiket itu, ditentukan di akhir hidupnya. Menjelang ajalnya.
Jika kematian itu dapat diprediksi, mungkin kita bisa menskenario akhir hidup ini. Tapi ternyata kedatangan maut tak ada yang bisa menerka. Kecanggihan teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan hanya bisa memperkirakan, tapi tak bisa memastikan. Maut di tangan Allah. Tak ada yang bisa mengambilnya. Jika waktunya belum tiba, tak seorang pun bisa mempercepatnya walaupun sedetik. Jika waktunya tiba, tak seorang pun bisa menahannya meskipun sekejap. Allah berfirman, “Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukan (nya),” (QS Yunus: 49).
Namun demikian, bukan berarti husnul khatimah (akhir hidup yang baik) tak bisa diusahakan. Ia memang merupakan salah satu dari rahasia Allah yang hanya Dialah yang tahu. Tapi, manusia berhak berusaha.
Karena kematian tak bisa dipastikan, kita harus siaga setiap saat. Caranya, dengan selalu berusaha berada dalam kesuksesan: berguna bagi orang lain, bersyukur dengan menerima apa yang kita usahakan, dan hidup seimbang.
Hikmah di Balik Pelanggaran
Berbagai pelanggaran dan sikap tegas itu mestinya senantiasa hidup dalam jiwa kita. Bahwa, kesalahan sedikit apa pun bisa saja menjerumuskan ke dalam neraka walaupun hanya tali sandal yang diambil dari harta rampasan perang, yang tidak seberapa harganya. Kesalahan sedikit itu bisa mengakibatkan tidak tertolongnya seseorang oleh syafaat dari aktivitasnya dalam dakwah atau jerih payahnya dalam perjuangan maupun posisinya dalam struktur.
Adapun istiqamah (keteguhan) dalam menempuh manhaj Islam meski hanya sebentar dan sekalipun dilakukan oleh orang yang dulunya merupakan musuh yang paling gigih memusuhi, cukup menjamin bahwa orang itu mati syahid di jalan Allah, tanpa dihalangi sikapnya yang dulu ketika dia memusuhi habis-habisan terhadap Islam, bahkan dia tidak perlu memiliki aset ketaatan ataupun ibadah. Niat jujur dan tekad kuat untuk istiqamah itu cukup dalam timbangan Allah untuk menjaminnya masuk surga. Dalam hal ini, kita tidak perlu melihat fenomena lahiriah karena Allah tak melihat rupa maupun amalan lahiriah, tapi memperhatikan hati.
Saatnya bagi pemimpin gerakan Islam untuk tidak berlebihan menilai pribadi-pribadi–khususnya para aktivis gerakan—dengan hanya melihat senioritas struktural sehingga kader ini dinaikkan ke tingkat tanpa mempedulikan tingkah laku moral maupun proses tarbiyahnya.
Tingkatan takwa seseorang bukan dilihat dari senioritas ketika ia masuk Islam atau bergabung dalam jamaah. Ketakwaannya dinilai dengan amal dan moralnya. Sungguh meskipun ia sudah lama bergabung dalam barisan dakwah, kalau tak ada kiprah yang ia lakukan, dan moralnya tak mencerminkanya seorang dai, maka tak layak dirinya menyandang kader inti dalam barisan dakwah.
Karena itu, para pemegang kebijakan dalam struktur hendaknya tidak berlebihan menolak kepercayaan kepada seseorang yang baru masuk ke dalam barisan. Misalnya dengan tidak memercayainya sama sekali karena belum melewati jenjang struktural yang ada dalam jamaah. Sebab, bisa jadi seorang naqib (pemimpin) justru tergolong ahli neraka, sedangkan a’dha’ (anggota) baru, yang masih tampak bekas perlawanannya terhadap Islam, justru tergolong ahli surga. Sebab, bisa jadi naqib tadi tanpa ada yang tahu, ia menyembunyikan ‘tali sandal’ di balik pakaiannya. Sementara sang anggota baru, telah bersimpuh taubat seraya menunaikan segala amanahnya dengan baik meski belum sempat melakukan amalan banyak menurut versi jamaah.
Budak Nabi saw itu mengakhiri hidupnya dengan khianat. Itulah yang menjerumuskannya menuju neraka. Sebaliknya, dengan amanatlah sang budak Yahudi itu mengawali taubatnya sekaligus menutup hidupnya. Itulah yang membimbingnya masuk surga.
Di sisi lain, para kader hendaknya tidak mudah menghalalkan segala bentuk harta dengan alasan “daripada diambil orang lain”. Bagaimana pun dakwah tak boleh dicemari dengan harta yang belum menjadi haknya. Mungkin ia halal secara hukum tapi tidak jika dilihat dari aspek lain. Hartanya mungkin halal, tapi kalau diambil akan mengotori nama Islam dan para pejuangnya, maka sebaiknya ditinggalkan.
Rasulullah saw sendiri waktu itu tidak mau mengambil kambing-kambing kaum Yahudi yang digembalakan oleh budak tadi sebab binatang-binatang itu merupakan amanat yang dikalungkan pada leher budak pengembala itu. Jika dilihat dari sisi hukum, bisa jadi halal. Sebab, Yahudi adalah musuh Islam, dan ketika mereka bisa ditaklukkan, harta mereka halal. Tapi Nabi saw tidak mengambilnya. Wallahu a’lam