Unsur-unsur Dakwah
Unsur-unsur pokok dakwah Islam sekurang-kurangnya ada delapan, yaitu: Pertama, ada legalitas aktivitasnya (syari’atud da’wah). Kedua, ada misi dakwah yang disampaikan (risalatut da’wah). Ketiga, ada kegiatan/gerak yang berkelanjutan (al-harakatul mustamirah). Keempat, ada tujuan yang benar (al-ghayatus shahihah). Kelima, ada pedoman atau landasan argumentasi. Keenam, ada pemimpin tulus yang mengarahkan aktivitas dakwah (al-qiyadatul mukhlishah). Ketujuh, ada pasukan atau kader-kader dakwah yang taat/disiplin (al-jundiyyatul mu’thi’ah). Kedelapan, ada prinsip atau nilai utama dari dakwah yang diemban yakni kemurnian atau totalitas (at-tajarrud) dalam mengesakan Allah Ta’ala (at-tauhid).
Unsur-unsur pokok ini disimpulkan dari firman Allah Ta’ala,
قُلْ هَٰذِهِۦ سَبِيلِىٓ أَدْعُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِى ۖ وَسُبْحَٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah: ‘Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik’”. (QS. Yusuf, 12: 108)
Syari’atud Da’wah
Aktivitas dakwah adalah aktivitas legal yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seluruh umatnya. Kata “Qul.” (katakanlah!) adalah kata perintah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjelaskan tentang misi kerasulannya.
Seperti telah disebutkan di materi-materi sebelumnya, berkenaan dengan QS. Yusuf ayat 108 di atas, Ibnul Al-Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “Tidaklah seseorang itu murni sebagai pengikut Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai ia mau mendakwahkan apa-apa yang didakwahkan oleh beliau dengan dasar ilmu yang mendalam.”[1]
Legalitas dakwah juga sangat tegas disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً
“Sebarkanlah oleh kalian (ilmu) dariku, sekali pun hanya satu ayat!” (HR. Bukhari)
Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini Rasulullah mengatakan, ‘sekalipun hanya satu ayat’. Tujuannya agar semua pendengar dapat segera menyampaikan ayat-ayat yang telah didengarnya itu kepada orang lain, walaupun sedikit. Sehingga akan berkelanjutanlah penyampaian ayat-ayat yang didakwahkan oleh beliau.”[2]
Risalatud Da’wah
Misi dakwah yang disampaikan adalah agama dan syariat Islam. Muqatil menjelaskan makna قُلْ هَٰذِهِۦ سَبِيلِىٓ (Katakanlah: inilah jalan [agama]-ku) menurut jumhur ulama adalah: diinii (agamaku).[3] Ibnu Juzay berkata: isyaratun ila syari’atil Islam (isyarat terhadap syariat Islam).[4] Sedangkan Ibnu Zaid berkata: Hadza amrii, wa sunnatii, wa minhajii, inilah urusan (agama)-ku, ajaranku, dan pedomanku.[5] Ibnu Abi Zamanain berkata: millati (agamaku).[6] Al-Baidhawi berkata: ya’ni ad-da’wata ilat tauhidi wal i’dadi lil ma’ad (seruan kepada tauhid dan bersiap menghadapi akhirat).[7] Al-Biqa’iy berkata: Ayi da’wati ilallah ‘ala ma da’a ilaihi kitabullahi wa sunnanuhu shallallahu ‘alaihi wa sallam (yakni menyeru kepada Allah sebagaimana diserukan dalam kitab Allah dan sunnah Nabi).[8]
Syariat Islam yang diserukan adalah syariat Islam yang menyeluruh mencakup aspek keyakinan (al-i’tiqadi), moral (al-akhlaki), sikap (as-suluki), perasaan (as-syu’uri), pendidikan (at-tarbawi), kemasyarakatan (al-ijtima’i), politik (as-siyasi), ekonomi (al-iqtishadi), militer (al-‘askari), dan hukum (al-jina’i).
Al-Harakatul Mustamirah
Dakwah Islam harus dilakukan secara berkelanjutan. Perhatikan kata أَدْعُوٓا۟ yang menggunakan bentuk fi’il mudharri’, menunjukkan makna pekerjaan yang sedang dan akan terus dilakukan.
Kita pun mendapati sunnah fi’liyah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terus melancarkan dakwahnya walaupun ujian dan rintangan begitu berat. Beliau terus bergerak dan mengatur langkah hingga kemenangan datang.
Perhatikanlah episode perjalan dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dimuat dalam kitab-kitab sirah nabawiyah. Beliau pernah melewati masa dakwah sirriyah dan dakwah jahriyah; beliau pun melakukan metode pembinaan umat secara sembunyi-sembunyi; pernah membolehkan ‘orang-orang lemah’ di kalangan kaum muslimin agar menampakkan ‘kemurtadan’ demi keselamatan jiwa dan menjaga pertumbuhan dakwah; beliau menghindari konfrontasi dan mengambil langkah defensif saat di Makkah; kemudian mengizinkan sebagaian pengikutnya hijrah ke Habasyah untuk melindungi diri dan dakwahnya; beliau pernah memanfaatkan hukum jiwar (jaminan keamanan) dari musyrikin yang tidak memusuhi; pun beliau pernah melakukan upaya mencari kekuatan penolong di luar Makkah, dan lain sebagainya.
Al-Ghaayatus Shahihah
Tujuan dakwah Islamiyah adalah إِلَى ٱللَّهِ (menyeru kepada Allah Ta’ala). Ad’u ila-Llah maknanya adalah la ilaa ghairihi min malakin au insaanin, au kawkabin, au shanamin, innama du’aii ilallah wahdah, tidak menyeru kepada selain-Nya, apakah malaikat, manusia, benda angkasa, atau berhala, tetapi seruanku hanyalah kepada Allah saja.[9]
Tujuan dakwah Islamiyah begitu murni. Tidak dibenarkan terselip kepentingan pribadi da’i untuk mencari keuntungan duniawi berupa harta, kedudukan, popularitas, dan bahkan sekedar ucapan terima kasih.
قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ
“Katakanlah (hai Muhammad): ‘Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas dakwahku dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan’”. (QS. Shad, 38: 86)
Al-Minhajul Wadhih
Dakwah Islamiyah mesti عَلَىٰ بَصِيرَةٍ, dilandasi argumentasi atau pedoman yang jelas. ‘Ala bashiratin maknanya adalah ‘ala hudan (berdasarkan petunjuk)[10], ‘ala yaqiinin wa haqqin (berdasarkan keyakinan dan kebenaran)[11], ma’a hujjatin waadhihatin ghaira ‘amya-a (disertai argumentasi yang jelas, tidak samar)[12], atau Ai bayanin wa hujjatin wadhihatin ghairi ‘amya-a (berdasarkan bukti/penjelasan, argumentasi yang jelas, tidak samar).[13]
Oleh karena itu, seluruh perkataan, perbuatan, gerak, langkah, dan pikiran para da’i di medan dakwah hendaknya selalu berada di dalam koridor manhaj Islam.
Al-Qiyadatu Mukhlishah
Kalimat أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِى, mengisyaratkan bahwa dakwah adalah ‘amal jama’i (amal kolektif) sebagaimana jihad fi sabilillah yang membutuhkan keberadaan amir atau qiyadah. Allah Ta’ala berfirman,
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran, 3: 104)
Mengenai وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ, Muqatil bin Hayyan berkata: liyakun minkum qaumun, ya’ni wahidan aw-itsnaini au tsalasa nafarin fa ma fauqa dzalik, harus ada orang, satu, dua, atau tiga orang yang berdakwah, bahkan dengan jumlah di atas itu.[14] ‘Ummatun di ayat ini maknanya adalah thaifatun yad’una ilal khairi, sekelompok orang yang menyeru kepada kebaikan[15], atau jama’atun (kelompok)[16] yang yad’una ila kulli khairin yuhibbuhullah (menyeru kepada segala apa yang dicintai Allah).[17]
Keberadaan amir atau qiyadah dalam setiap aktivitas bersama sangatlah urgen. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إذَا خَرَجَ ثَلَاثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ
“Jika tiga orang keluar bepergian maka hendaknya salah seorang mereka menjadi pemimpinnya.” (HR. Abu Daud dari Abu Said dan Abu Hurairah).
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
لَا يَحِلُّ لِثَلَاثَةٍ يَكُونُونَ بِفَلَاةِ مِنْ الْأَرْضِ إلَّا أَمَّرُوا عَلَيْهِمْ أَحَدَهُمْ
“Tidak halal bagi tiga orang yang berada di sebuah tempat di muka bumi ini melainkan mereka menunjuk seorang pemimpin di antara mereka.” (Musnad Imam Ahmad)
Berkenaan dengan pentingnya kepemimpin, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
فَأَوْجَبَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَأْمِيرَ الْوَاحِدِ فِي الِاجْتِمَاعِ الْقَلِيلِ الْعَارِضِ فِي السَّفَرِ تَنْبِيهًا بِذَلِكَ عَلَى سَائِرِ أَنْوَاعِ الِاجْتِمَاعِ . وَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَوْجَبَ الْأَمْرَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيَ عَنْ الْمُنْكَرِ وَلَا يَتِمُّ ذَلِكَ إلَّا بِقُوَّةِ وَإِمَارَةٍ . وَكَذَلِكَ سَائِرُ مَا أَوْجَبَهُ مِنْ الْجِهَادِ وَالْعَدْلِ وَإِقَامَةِ الْحَجِّ وَالْجُمَعِ وَالْأَعْيَادِ وَنَصْرِ الْمَظْلُومِ . وَإِقَامَةِ الْحُدُودِ لَا تَتِمُّ إلَّا بِالْقُوَّةِ وَالْإِمَارَةِ
“Rasulullah mewajibkan seseorang memimpin sebuah perkumpulan kecil dalam perjalanan, demikian itu menunjukkan juga berlaku atas berbagai perkumpulan lainnya. Karena Allah Ta’ala memerintahkan amar ma’ruf dan nahi munkar, dan yang demikian itu tidaklah sempurna melainkan dengan kekuatan dan kepemimpinan. Demikian juga kewajiban Allah lainnya seperti jihad, menegakkan keadilan, haji, shalat Jumat hari raya, menolong orang tertindas, dan menegakkan hudud. Semua ini tidaklah sempurna kecuali dengan kekuatan dan imarah (kepemimpinan).” [18]
Dengan keberadaan amir atau qiyadah, barisan dan gerak dakwah akan lebih tersusun rapi bagaikan bangunan yang kokoh.
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (QS. As-Shaf, 61: 4)
Jelas, amir atau qiyadah yang dikehendaki adalah amir atau qiyadah yang mukhlishah (ikhlash dan tulus kepada Allah Ta’ala).
Al-Jundiyyatul Muthi’ah
Kalimat أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِى, mengisyaratkan pula bahwa dakwah adalah ‘amal jama’i (amal kolektif) sebagaimana jihad fi sabilillah yang membutuhkan keberadaan al-jundiyyatul muthi’ah (pasukan/kader yang taat/disiplin). Bukankah Nabi Isa ‘alaihis salam memiliki kaum hawariyyin dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kaum muhajirin dan anshar? Dakwah memang akan berjalan optimal jika didukung oleh al-jundiyyatul muthi’ah (pasukan/kader yang taat/disiplin). Maka, seorang muslim yang terlibat dalam gerakan dakwah hendaknya memahami urgensi ketaatan kepada qiyadah, kecuali dalam perkara maksiat atau hal-hal yang jelas-jelas melanggar syariat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ”.
“Tunduk dan patuh bagi seorang muslim adalah dalam semua hal yang disukainya dan yang dibencinya, selama ia tidak diperintahkan untuk maksiat. Apabila diperintahkan untuk maksiat, maka tidak boleh tunduk dan tidak boleh patuh.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Berkenaan dengan ketaatan jundi kepada qiyadah, amir, atau ulil amri, Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisa, 4: 59)
Ayat ini dapat diimplementasikan dalam skup kepemimpinan yang besar maupun yang kecil. Asbabun nuzul ayat di atas diantaranya dikaitkan dengan peristiwa perselisihan antara Khalid bin Walid sebagai pemimpin sariyyah (pasukan) dengan ‘Amar bin Yasir tentang seseorang yang telah masuk Islam dan mendapat jaminan keamanan dari ‘Amr bin Yasir—tanpa sepengetahuan Khalid sebagai pemimpin. Perselisihan itu dihadapkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau memperbolehkan tindakan Ammar, tetapi melarangnya mengulangi perbuatannya lagi, yakni memberikan perlindungan tanpa seizin pemimpin pasukan.[19]
Selain hadits-hadits di atas, masih banyak lagi hadits-hadits lainnya yang berbicara tentang ketaatan kepada pemimpin. Diantaranya adalah hadits-hadits berikut ini,
Dari Anas, disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا، وَإِنَّ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ»
“Tunduk dan patuhlah kalian, sekalipun yang memimpin kalian adalah seorang budak Habsyah yang kepalanya seperti zabibah (anggur kering).” (HR. Bukhari).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan,
أَوْصَانِي خَلِيلِي أَنْ أَسْمَعَ وَأُطِيعَ، وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا مُجَدَّع الْأَطْرَافِ
“Kekasihku (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah mewasiatkan kepadaku agar aku tunduk dan patuh (kepada pemimpin), sekalipun dia (si pemimpin) adalah budak Habsyah yang cacat anggota tubuhnya (tuna daksa).” (HR. Muslim).
Dari Ummul Husain, disebutkan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam khutbah haji wada’:
«وَلَوِ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبَدٌ يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ، اسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا»
“Seandainya seorang budak memimpin kalian dengan memakai pedoman Kitabullah, maka tunduk dan patuhlah kalian kepadanya.” (HR. Muslim).
Menurut lafaz lain yang juga dari Imam Muslim disebutkan:
«عَبْدًا حَبَشِيًّا مَجْدُوعًا»
“…budak Habsyah yang tuna daksa (cacat anggota tubuhnya).”
Konteks hadits-hadits di atas adalah dalam skup kepemimpinan besar (negara/daulah), namun kita dapat mengambil hikmah dan menerapkan nilai-nilai moralnya dalam skup kepemimpinan yang lebih kecil (kepemimpinan dalam perjalanan, kelompok, organisasi, dan lain-lain) secara proporsional dan kontekstual.
At-Tajarrud wat Tauhid
Selain memerintahkan untuk memproklamirkan adanya misi dakwah, melalui QS. Yusuf ayat 108 ini pun Allah Ta’ala memerintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memproklamirkan prinsip dan nilai utama dari dakwah yang diembannya yakni kemurnian atau totalitas (at-tajarrud) dalam mengesakan Allah Ta’ala (at-tauhid), وَسُبْحَٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ.
Ibnu Abi Zamanain berkata mengenai kalimat ini: “Amarahu an yunazzihallaha ‘amma qalal musyrikun, diperintahkan kepadanya agar memyucikan Allah dari apa-apa yang dikatakan musyrikin”. Hal senada disampaikan pula oleh Al-Baidhowi, An-Nasafi, Al-Ijay, dan yang lainnya.
Pemurnian dan implementasi tauhid adalah fondasi dakwah Islamiyah, karena ia adalah tempat berdirinya seluruh bangunan Islam. Dari awal hingga akhir, dakwah Islamiyah harus bergulir dalam rangka membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesama makhluk menjadi penghambaan kepada Al-Khaliq semata.
Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala,
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak diperintahkan melainkan supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ibadat kepadaNya, lagi tetap teguh diatas tauhid dan supaya mereka mendirikan shalat serta memberi zakat. Dan demikian itulah agama yang benar.” (QS. Al-Bayyinah, 98: 5).
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.’” (QS. Al-An’am, 6: 162)
Ingatlah apa yang yang diucapkan oleh Rib’i bin Amir radhiyallahu ‘anhu kepada Rustum, komandan perang Persia,
إن الله ابْتَعَثَنَا لِنُخْرِخَ مَنْ شَاءَ مِنْ عِبَادَةِ العِبَادِ إِلىَ عِبَادَةِ اللهِ وَمِنْ ضِيقِ الدُّنْياَ اِلىَ سَعَتِهَا وَمِنْ جُوْرِ الأَدْيَانِ إِلىَ عَدْلِ الإِسْلاَمِ
“Sesungguhnya Allah telah membangkitkan kami untuk mengeluarkan siapa pun yang mau, dari penghambaan kepada manusia menuju penghambaan kepada Allah semata; dari sempitnya dunia menuju luasnya dunia, dan dari keculasan agama-agama menuju keadilan Islam”.
Catatan Kaki:
[1] Miftah Dar As-Sa’adah, jilid 1 hal. 154
[2] Fath Al-Bari, jilid 6, hal. 575
[3] Al-Bahrul Muhith, Abu Hayyan, App: Al-Bahits Al-Qur’ani.
[4] At-tashilu li ‘Ulumit Tanzil, Ibnu Juzay, App: Al-Bahits Al-Qur’ani.
[5] Al-Muharrarul Wajiz, Ibnu ‘Athiyah, App: Al-Bahits Al-Qur’ani.
[6] Tafsirul Qur’an Al-Aziz, Ibnu Zamanain, App: Al-Bahits Al-Qur’ani.
[7] Tafsir Al-Baidhawiy, App: Al-Bahits Al-Qur’ani.
[8] An-Nudzumud Durar, Al-Biqa’iy, App: Al-Bahits Al-Qur’ani
[9] Lihat: Al-Bahrul Muhith, Abu Hayyan, App: Al-Bahits Al-Qur’ani.
[10] Lihat: Tafsirul Qur’an Al- ‘Adzim, Ibnu Abi Hatim; Ad-Durul Mantsur, Jalaluddin As-Suyuthi; An-Naktu wal ‘Uyun, Al-Mawardi, App: Al-Bahits Al-Qur’ani.
[11] Lihat: Tafsirul Qur’an Al-Aziz, Ibnu Abi Zamanain; Bahrul Ulum, As-Samarqandi; Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy; Ma’alimut Tanzil, Al-Baghawi; Al-Jami’u li Ahkamil Qur’an, Al-Qurtubi, App: Al-Bahits Al-Qur’ani.
[12] Lihat: Madarikut Tanzil, An-Nasafi; Tafsirul Jalalain; At-Tashilut Tanzil, Ibnu Juzay; Fathul Qadir, As-Syaukani; Mahasinut Ta’wil, Al-Qasimi, App: Al-Bahits Al-Qur’ani.
[13] Lihat: Ruhul Ma’ani, Al-Alusi, App: Al-Bahits Al-Qur’ani.
[14] Tafsirul Qur’an Al-Adzim, Ibnu Abi Hatim, App: Al-Bahits Al-Qur’ani.
[15] Tafsirul Qur’an Al-Karim, Ibnu ‘Utsaimin, App: Al-Bahits Al-Qur’ani
[16] Taisirul Karimir Rahman, As-Sa’di, App: Al-Bahits Al-Qur’ani.
[17] Al-Mukhtashar, Markazut Tafsir, App: Al-Bahits Al-Qur’ani
[18] As Siyasah Asy Syar’iyyah, Hal. 169, Mawqi’ Al Islam
[19] قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْمُفَضَّلِ حَدَّثَنَا أَسْبَاطٌ، عَنِ السُّدِّيِّ: {أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ} قَالَ: بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَرِيَّةً عَلَيْهَا خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ، وَفِيهَا عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ، فَسَارُوا قِبَلَ الْقَوْمِ الَّذِينَ يُرِيدُونَ، فَلَمَّا بَلَغُوا قَرِيبًا مِنْهُمْ عَرَّسوا، وَأَتَاهُمْ ذُو العُيَيْنَتَين فَأَخْبَرَهُمْ، فَأَصْبَحُوا قَدْ هَرَبُوا غَيْرَ رَجُلٍ. فَأَمَرَ أَهْلَهُ فَجَمَعُوا مَتَاعَهُمْ، ثُمَّ أَقْبَلَ يَمْشِي فِي ظُلْمَةِ اللَّيْلِ، حَتَّى أَتَى عَسْكَرَ خَالِدٍ، فَسَأَلَ عَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ، فَأَتَاهُ فَقَالَ: يَا أَبَا الْيَقْظَانِ، إِنِّي قَدْ أَسْلَمْتُ وَشَهِدْتُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَإِنَّ قَوْمِي لَمَّا سَمِعُوا بِكُمْ هَرَبُوا، وَإِنِّي بَقِيتُ، فَهَلْ إِسْلَامِي نَافِعِي غَدًا، وَإِلَّا هَرَبْتُ؟ قَالَ عَمَّارٌ: بَلْ هُوَ يَنْفَعُكَ، فَأَقِمْ. فَأَقَامَ، فَلَمَّا أَصْبَحُوا أَغَارَ خَالِدٌ فَلَمْ يَجِدْ أَحَدًا غَيْرَ الرَّجُلِ، فَأَخَذَهُ وَأَخَذَ مَالَهُ. فَبَلَغَ عَمَّارًا الْخَبَرُ، فَأَتَى خَالِدًا فَقَالَ: خَلِّ عَنِ الرَّجُلِ، فَإِنَّهُ قَدْ أَسْلَمَ، وَإِنَّهُ فِي أَمَانٍ مِنِّي. فقال خالد: وفيم أنت تُجِيرُ؟ فَاسْتَبَّا وَارْتَفَعَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَجَازَ أَمَانَ عَمَّارٍ، وَنَهَاهُ أَنْ يُجِيرَ الثَّانِيَةَ عَلَى أَمِيرٍ. فَاسْتَبَّا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ خَالِدٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَتَتْرُكُ هَذَا الْعَبْدَ الْأَجْدَعَ يَسُبُّني، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “يَا خَالِدُ، لَا تَسُبَّ عَمَّارًا، فَإِنَّهُ مَنْ يَسُبُّ عَمَّارًا يَسُبَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ يُبْغِضْهُ يُبْغِضْهُ اللَّهُ وَمَنْ يَلْعَنْ عَمَّارًا يَلْعَنْهُ اللَّهُ” فَغَضِبَ عَمَّارٌ فَقَامَ، فَتَبِعَهُ خَالِدٌ حَتَّى أَخَذَ بِثَوْبِهِ فَاعْتَذَرَ إِلَيْهِ، فَرَضِيَ عَنْهُ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ قَوْلَهُ: {أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ}
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Fadl, telah menceritakan kepada kami Asbat, dari As-Saddi sehubungan dengan firman-Nya: taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kalian. (An-Nisa: 59)
Bahwa Rasulullah pernah mengirimkan suatu pasukan khusus di bawah pimpinan Khalid ibnul Walid, di dalam pasukan itu terdapat Ammar ibnu Yasir. Mereka berjalan menuju tempat kaum yang dituju oleh mereka; dan ketika berada di dekat tempat tersebut, mereka turun beristirahat karena hari telah malam. Kemudian mereka diketahui oleh mata-mata kaum yang dituju mereka, lalu mata-mata itu memberitahukan kepada kaumnya akan kedatangan mereka. Maka kaumnya pergi melarikan diri meninggalkan tempat mereka kecuali seorang lelaki yang memerintahkan kepada keluarganya agar semua barang mereka dikemasi. Kemudian ia sendiri pergi dengan berjalan kaki di kegelapan malam hari menuju ke tempat pasukan Khalid ibnul Walid. Setelah ia sampai di tempat pasukan kaum muslim, maka ia menanyakan tentang Ammar ibnu Yasar, lalu ia datang kepadanya dan mengatakan, “Hai Abul Yaqzan, sesungguhnya sekarang aku masuk Islam dan bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Sesungguhnya kaumku setelah mendengar kedatangan kalian; mereka semuanya melarikan diri, tetapi aku tetap tinggal di tempat. Maka apakah Islamku ini dapat bermanfaat bagiku besok pagi nanti? Jika tidak, maka aku pun akan ikut lari.” Ammar menjawab, “Tidak, bahkan Islammu dapat bermanfaat untuk dirimu. Sekarang pulanglah, dan tetaplah di tempat tinggalmu!” Lalu lelaki itu pulang dan menetap di tempatnya.
Pada keesokan harinya Khalid ibnul Walid datang menyerang, dan ternyata ia tidak menemukan seorang pun dari musuhnya selain lelaki tadi, lalu Khalid menawannya dan mengambil semua hartanya. Ketika sampai berita itu kepada Ammar, maka Ammar datang kepada Khalid dan mengatakan kepadanya, “Lepaskanlah lelaki ini, karena sesungguhnya dia telah masuk Islam, dan sesungguhnya dia telah berada di bawah perlindunganku.” Khalid berkata, “Atas dasar apakah kamu memberi perlindungan?” Keduanya bertengkar, dan akhirnya keduanya melaporkan peristiwa itu kepada Rasulullah. Maka Rasulullah memperbolehkan tindakan Ammar, tetapi melarangnya mengulangi perbuatannya lagi, yakni memberikan perlindungan tanpa seizin pemimpin pasukan. Keduanya masih terus berbalas caci-maki di hadapan Rasulullah.
Maka Khalid berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau biarkan saja budak yang hina ini mencaciku?” Rasulullah menjawab: “Hai Khalid, janganlah engkau mencaci Ammar, karena sesungguhnya barang siapa yang mencaci Ammar, Allah membalas mencacinya; dan barang siapa yang membenci Ammar, Allah membalas membencinya; dan barang siapa yang melaknat Ammar, maka Allah membalas melaknatnya.”
Ammar masih dalam keadaan emosi. Maka ia bangkit dan pergi, lalu diikuti oleh Khalid. Kemudian Khalid menarik bajunya dan meminta maaf kepadanya. Akhirnya Ammar memaafkannya. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: “Taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kalian.” (An-Nisa: 59)