Dakwah yang Rabbaniyyah (Berorientasi Ketuhanan)
Salah satu karakter yang harus dijaga oleh gerakan dakwah Islam—dimana pun mereka berada—adalah karakter rabbaniyyatud da’wah (dakwah yang berorientasi Ketuhanan). Hal ini harus terus dijaga, dipelihara, dan ditumbuhkan dengan serius.
Ada tiga komponen yang harus dijaga oleh gerakan dakwah agar rabbaniyyatud da’wah ini dapat terwujud, yaitu dengan menjaga rabbaniyyatur risalah (misi yang tetap berorientasi Ketuhanan), rabbaniyyatur rijal (personal yang tetap berorientasi Ketuhanan), dan rabbaniyyatul jama’ah (jama’ah yang berorientasi Ketuhanan).
Rabbaniyyatur Risalah
Rabbaniyyatur risalah (misi dakwah yang berorientasi Ketuhanan) akan selalu kokoh, jika gerakan dakwah mampu menjaga hal-hal berikut:
Pertama, rabbaniyyatul mabda.
Memastikan bahwa prinsip dan kaidah-kaidah dasar yang dijadikan pijakan dalam dakwahnya selalu berorientasi Ketuhanan berlandaskan rabbaniyyatul mashdar (sumber yang berorientasi Ketuhanan) yaitu Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Renungkanlah hadits berikut ini,
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
“Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah RasulNya”. (Hadits Shahih Lighairihi, HR Malik; al Hakim, al Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm).
Kedua, rabbaniyyatul minhaj.
Memastikan bahwa sistem, pedoman, dan metode yang digunakan dalam dakwahnya selalu berorientasi Ketuhanan berlandaskan rabbaniyyatul khuthuwath (langkah-langkah yang berorientasi Ketuhanan) yaitu mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat—khususnya khulafaur rasyidin, para tabi’in, serta para tabi’ut tabi’in, dimana mereka telah mengimplementasikan dan mengaktualisasikan nash Al-Qur’an dan sunnah sesuai perkembangan zaman.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرَ أُمَّتِـي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik umatku adalah pada masaku. Kemudian orang-orang yang setelah mereka (generasi berikutnya), lalu orang-orang yang setelah mereka.” (HR. Bukhari)
Ketiga, rabbaniyyatul ghayah.
Memastikan bahwa tujuan dalam dakwahnya selalu berorientasi Ketuhanan berlandaskan rabbaniyyatut thariq (jalan yang berorientasi Ketuhanan) yaitu amal shalih yang ikhlash; dakwah dan jihad.
Allah Ta’ala berfirman,
وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُوا۟ فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلْمُحْسِنِينَ
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut, 29: 69)
Dalam Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah dijelaskan, “Dan orang-orang yang berjuang menegakkan hak Kami, demi tersebarnya agama Islam, maka sungguh Kami akan menunjukkan kepada mereka jalan-jalan kebaikan, dan akan mereka akan mendapat keridhaan Allah di dunia dan akhirat. Sungguh Allah bersama orang-orang yang membaguskan perkataan dan perbuatan mereka dengan pertolongan dan bantuan-Nya.” [1]
*****
Jika hal-hal yang telah diuraikan di atas dapat dijaga, maka akan menghujamlah kesadaran akan rabbaniyyatur risalah (misi yang berorientasi Ketuhanan) pada gerakan dakwah, tiada lain adalah li i’lai kalimatillah untuk meninggikan kalimat Allah.
Rabbaniyyatur Rijal
Seorang rijal (personil/kader gerakan dakwah) layak disebut sebagai seorang yang rabbani (berorientasi Ketuhanan) jika memiliki ciri-ciri sebagaimana telah disebutkan dalam dua ayat Al-Qur’an berikut,
كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
“Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Ali Imran, 3: 79)
وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ
“Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (QS. Ali Imran, 3: 146)
*****
Makna rabbani telah dijelaskan di materi-materi sebelumnya. Secara etimologis, rabbaniyyin adalah jamak dari kata rabbani. Kata rabbani adalah menisbatkan sesuatu kepada Rabb, yaitu Tuhan. Jika dikaitkan dengan orang, kata ini berarti orang yang telah mencapai derajat ma’rifat kepada Allah atau orang yang sangat menjiwai ajaran agamanya.[2]
Makna ar-rabbaniy adalah orang yang mengetahui agama Tuhan, yang memiliki keteguhan dalam perpegang dengan ketaatan kepada Allah, serta memiliki pemahaman, kelembutan, dan hikmah.[3] Mereka adalah faqih (orang yang memiliki pemahaman) dan ulama (berpengetahuan) sebagaimana disebutkan di dalam Tafsir At-Thabari. Disebutkan dalam Tafsir Al-Baghawi,
وَاخْتَلَفُوا فِيهِ قَالَ عَلِيٌّ وَابْنُ عَبَّاسٍ وَالْحَسَنُ: كُونُوا فُقَهَاءَ عُلَمَاءَ وَقَالَ قَتَادَةُ: حُكَمَاءَ وَعُلَمَاءَ وَقَالَ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ: الْعَالِمُ الَّذِي يَعْمَلُ بِعِلْمِهِ، وَعَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: فُقَهَاءَ مُعَلِّمِينَ.
وَقِيلَ: الرَّبَّانِيُّ الَّذِي يُرَبِّي النَّاسَ بِصِغَارِ الْعِلْمِ قَبْلَ كِبَارِهِ، وَقَالَ عَطَاءٌ: عُلَمَاءَ حُكَمَاءَ نُصَحَاءَ لِلَّهِ فِي خَلْقِهِ، قَالَ أَبُو عُبَيْدَةَ: سَمِعْتُ رَجُلًا عَالِمًا يَقُولُ: الرَّبَّانِيُّ الْعَالِمُ بِالْحَلَالِ وَالْحَرَامِ وَالْأَمْرِ وَالنَّهْيِ، الْعَالِمُ بِأَنْبَاءِ الْأُمَّةِ مَا كَانَ وَمَا يَكُونُ، وَقِيلَ: الرَّبَّانِيُّونَ فَوْقَ الْأَحْبَارِ، وَالْأَحْبَارُ: الْعُلَمَاءُ، وَالرَّبَّانِيُّونَ: الَّذِينَ جَمَعُوا مَعَ الْعِلْمِ الْبَصَارَةَ بِسِيَاسَةِ النَّاسِ
“(Para ulama) berbeda pendapat tentang maknanya (yakni makna kuunu rabbaniyyin, jadilah kalian orang-orang rabbani, red.), berkata ‘Ali, Ibnu Abbas, dan Al-Husain: ‘Jadilah kalian orang-orang yang faqih berilmu.’, berkata Qatadah: ‘Hukama dan ulama’, berkata Sa’id bin Jubair: ‘Seorang berilmu yang mengamalkan ilmunya.’, dan dari Sa’id bin Jubair juga, dari Ibnu Abbas: ‘Seorang faqih yang mengajarkan ilmu’. Dikatakan pula: ‘Ar-Rabbani adalah orang-orang yang membimbing manusia dengan ilmu-ilmu yang dasar terlebih dahulu sebelum mengajarkan ilmu-ilmu yang besar.’ Berkata ‘Atha: ‘Ulama hukama yang memberi nasihat/pengajaran tentang Allah dan makhluk ciptaan-Nya. Berkata Abu Ubaidah: ‘Saya mendengar seorang lelaki berilmu berkata: ‘Ar-Rabbani adalah seseorang yang mengetahui perkara halal dan haram serta perintah dan larangan’, seorang yang mengetahui perkara-perkara umat, jika tidak seperti itu maka bukanlah seorang rabbani.’ Dikatakan pula: ‘Orang-orang rabbani lebih tinggi kedudukannya dari al-ahbar yang bermakna ulama, sedangkan orang-orang rabbani adalah orang-orang yang sempurna dengan ilmu, memiliki pandangan dalam mengurus manusia.’” [4]
*****
Sedangkan ribbiyun dalam Ali Imran ayat 146 adalah jamak dari ribbi yang secara etimologis dinisbahkan kepada asal katanya atau masdar ar-rabb artinya orang-orang yang mengikuti syariat Allah, yang dimaksud dalam ayat ini adalah pengikut para rasul dan murid-murid para nabi.[5]
Diantara makna ribbiyyun adalah ulama dan fuqaha yang sabar, baik dan bertakwa[6]; juga bermakna jama’atun katsir (kelompok yang besar), al-ittiba’ (pengikut), atau al-qadatu wal walah (pemimpin dan pengikut)[7].
Maka, diantara ciri rabbaniyyatur rijal (personil/kader gerakan dakwah yang berorientasi Ketuhanan) adalah yu’allimunal kitab (mengajarkan kitab), yadrusunal kitab (mempelajari kitab), ma wahanu (tidak merasa hina), ma dho’ufu (tidak merasa lemah), wa mastakanu (tidak merasa berduka cita) dalam perjuangannya.
Rabbaniyyatul Jama’ah
Dakwah yang berorientasi Ketuhanan akan terwujud jika ada rabbaniyyatul jama’ah (orientasi Ketuhanan dalam organisasi dakwah). Ada rabbaniyyatul qiyadah (orientasi Ketuhanan pada pemimpin organisasi dakwah), rabbaniyyatul jundiyyah (orientasi Ketuhanan pada prajurit dakwah), dan rabbaniyyatul ukhuwah (orientasi Ketuhanan pada persaudaraan yang dijalin dalam dakwah); sehingga menjadi al-jama’atul matinah (organisasi yang kokoh).
Contoh nyata terwujudnya rabbaniyyatul jama’ah bisa kita lihat pada generasi terbaik umat ini, yakni Rasulullah dan para sahabatnya.
مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ ٱللَّهِ ۚ وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ أَشِدَّآءُ عَلَى ٱلْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ ۖ تَرَىٰهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضْوَٰنًا ۖ سِيمَاهُمْ فِى وُجُوهِهِم مِّنْ أَثَرِ ٱلسُّجُودِ ۚ ذَٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِى ٱلتَّوْرَىٰةِ ۚ وَمَثَلُهُمْ فِى ٱلْإِنجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْـَٔهُۥ فَـَٔازَرَهُۥ فَٱسْتَغْلَظَ فَٱسْتَوَىٰ عَلَىٰ سُوقِهِۦ يُعْجِبُ ٱلزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ ٱلْكُفَّارَ ۗ وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ مِنْهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًۢا
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Fath, 48: 29)
Dalam Tafsir Al-Mukhtashar dijelaskan, “Muhammad adalah utusan Allah, dan para sahabatnya yang bersama beliau keras terhadap orang-orang kafir yang memerangi Islam dan saling berkasih sayang di antara mereka, saling berlemah-lembut dan saling menyayangi. Engkau lihat -wahai orang yang memperhatikan- mereka rukuk dan sujud untuk Allah -Subḥānahu-, meminta kepada Allah agar menganugerahkan kepada mereka ampunan dan pahala yang baik serta meridai mereka. Tanda mereka terdapat di wajah mereka dari bekas sujud sebagai bentuk ketaatan kepada Allah. Demikian kriteria mereka sebagaimana yang disebutkan di dalam Taurat, satu kitab yang diturunkan kepada Musa -‘alaihissalām-. Adapun permisalan mereka di Injil, satu kitab yang diturunkan kepada Isa -‘alaihissalām- yaitu bahwa mereka dalam bekerja sama dan kesempurnaan seperti tanaman yang mengeluarkan tunas kecilnya, lalu menjadi kuat dan menjadi tegak di atas batangnya. Kekuatannya dan kesempurnaannya menyenangkan bagi orang-orang yang menanamnya, karena Allah ingin membuat orang-orang kafir jengkel dengan mereka tatkala melihat kekuatan, keteguhan dan kesempurnaan yang ada pada mereka. Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman kepada-Nya dan mengerjakan amal saleh dari kalangan para sahabat ampunan atas dosa-dosa mereka, sehingga mereka tidak dibalas karena dosa-dosa mereka, dan pahala yang besar dari sisi-Nya, yaitu Surga.” [8]
Wallahu A’lam.
Catatan Kaki:
[1] Diterbitkan oleh Markaz Ta’dzhim al-Qur’an di bawah pengawasan Syaikh Prof. Dr. Imad Zuhair Hafidz, professor fakultas al-Qur’an Universitas Islam Madinah, lihat: https://tafsirweb.com/7295-quran-surat-al-ankabut-ayat-69.html
[2] Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid I, hal. 542, Kementrian Agama RI.
[3] Zubdatut Tafsir min Fathil Qadir, Syaikh Muhammad Sulaiman Al-Asyqar, hal. 60, Darun Nafais, Yordania
[4] Ma’alimut Tanzil, Al-Baghawi, App Al-Bahitsul Qur’aniy.
[5] Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid II, hal. 52, Kementrian Agama RI.
[6] Lihat: Lubabut Tafsir Min Ibni Katsir (Tafsir Ibnu Katsir, tahqiq oleh Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh), Terjemah diterbitkan oleh Pustaka Imam Syafi’i; Al-Qur’anul Karim Tafsir wa Bayan lit Thullab, Syaikh Husain Muhammad Makhluf, Mirza Saudi Arabia.
[7] Mukhtashar min Tafsir Al-Imam At-Thabariy, Abi Yahya Muhammad bin Shamadaj At-Tujaibi, An-Nadwah Al-Alamiyah li Syababil Islamiyyah.
[8] https://tafsirweb.com/9741-quran-surat-al-fath-ayat-29.html