Setelah mengulas materi-materi ushulud da’wah sebelumnya, dari materi Ghazwul Fikri sampai materi Fiqhud Da’wah, kita memahami kewajiban seorang muslim—terlebih lagi para da’i—untuk selalu beradaptasi dengan ajaran Islam; selalu berputar dan menyesuaikan diri dengan roda Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan hal ini dengan sangat indah sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu,
أَلَا إِنَّ رَحَى الْإِسْلَامِ دَائِرَةٌ ، فَدُورُوا مَعَ الْكِتَابِ حَيْثُ دَارَ ، أَلَا إِنَّ الْكِتَابَ وَالسُّلْطَانَ سَيَفْتَرِقَانِ ، فَلَا تُفَارِقُوا الْكِتَابَ ، أَلَا إِنَّهُ سَيَكُونُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ يَقْضُونَ لِأَنْفُسِهِمْ مَا لَا يَقْضُونَ لَكُمْ ، إِنْ عَصَيْتُمُوهُمْ قَتَلُوكُمْ ، وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ أَضَلُّوكُمْ ” قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، كَيْفَ نَصْنَعُ ؟ قَالَ : ” كَمَا صَنَعَ أَصْحَابُ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ، نُشِرُوا بِالْمَنَاشِيرَ ، وَحُمِلُوا عَلَى الْخَشَبِ ، مَوْتٌ فِي طَاعَةِ اللَّهِ خَيْرٌ مِنْ حَيَاةٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ “
“Sesungguhnya roda pengilingan Islam terus berputar, maka hendaklah kalian berputar bersama kitab Allah kemanapun ia berputar. Ketahuilah, sesungguhnya al-Qur’an akan berpisah dengan kekuasaan, maka janganlah kalian memisahkan diri dari Al-Qur’an. Ketahuilah, sesungguhnya akan datang kepada kalian para penguasa yang memutuskan perkara untuk kepentingan diri mereka sendiri dan tidak memutuskannya untuk kepentingan kalian. Jika kalian tidak menaati mereka, niscaya mereka akan membunuh kalian. Namun jika kalian menaati mereka, niscaya mereka akan menyesatkan kalian.”
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah yang harus kami lakukan?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Lakukanlah sebagaimana hal yang dilakukan oleh para pengikut setia nabi Isa bin Maryam. Mereka digergaji dengan gergaji besi dan disalib di atas sebatang kayu. Mati di atas ketaatan kepada Allah lebih baik daripada hidup dalam kemaksiatan kepada Allah.” [1]
Bagaimana Menyesuaikan Diri dengan Islam?
Penyesuaian diri kita dengan Islam diantaranya terefleksikan dalam tiga perkara:
Pertama, terefleksikan dalam perkara al-aqidah, ikatan ajaran Islam di dalam jiwa. Bagaimana ia menghujam dengan kokoh dan mempengaruhi i’tiqadan (keyakinan), syu’uran (perasaan), fikratan (pemikiran), dan sulukan (sikap) setiap kita. Dengan kata lain, penyesuain diri dengan Islam harus kita lakukan dengan cara menjaga kepribadian Islam, as-syakhshiyatul Islamiyah, mengupayakan agar terbentuk quwwatul fardhi (kekuatan individu) yang terwarnai dengan celupan Islam.
صِبْغَةَ اللَّهِ ۖ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ صِبْغَةً ۖ وَنَحْنُ لَهُ عَابِدُونَ
“Shibghah (celupan) Allah, dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah Kami menyembah.” (QS. Al-Baqarah, 2: 138)
Shibghatallah (celupan Allah) maknanya adalah dinullah (agama Allah).[2]
Kedua, terefleksikan dalam perkara al-ukhuwwah, ikatan persaudaraan Islam yang tumbuh dalam keseharian kita. Bagaimana suasana at-ta’aruf (saling mengenal), at-tafahum (saling memahami), dan at-takaful (saling menanggung) mewarnai gerak langkah kita. Lebih jauh lagi penyesuaian diri dengan Islam harus kita lakukan dengan cara turut serta dalam al-‘amalul jama’iy (amal kolektif) sehingga terwujud quwwatul jama’ah (kekuatan komunitas umat Islam).
Quwwatul fardi (kekuatan individu)—sebagaimana telah disebutkan dalam point pertama—harus berpadu dengan quwwatul jama’ah (kekuatan komunitas) ini, sehingga terbangun quwwatul anfus (kekuatan jiwa) pada setiap individu. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ للْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضاً وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ
“Seorang mu’min terhadap mu’min yang lain, ibarat sebuah bangunan yang sebagiannya mengokohkan bagian yang lain” (dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalinkan antara jari-jarinya)” (Muttafaq ‘alaih).
Jika perpaduan quwwatul fardi dan quwwatul jama’ah dapat diwujudkan, maka umat ini akan memiliki al-‘adad (kuantitas) yang dapat diandalkan.
Ketiga, terefleksikan dalam perkara al-‘uddah (materi), bagaimana kita menggenggam dan memanfaatkan material yang kita miliki. Selain untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarga, Islam mengarahkan agar kita menyalurkan az-zakah, al-infaq, dan as-shadaqah, atau al-mal (harta) yang kita punya di jalan Allah Ta’ala. Sehingga umat ini memiliki quwwatul ‘uddah (kekuatan materi) atau quwwatul mal (kekuatan harta), yakni memiliki al-‘udad (materi, sarana, dan prasarana).
إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَىٰ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka..” (QS. At-Taubah, 9: 111)
Gerakan dakwah Islam hari ini harus terus berjuang mengajak umat agar mereka mau beradaptasi dan menyesuaikan dirinya dengan Islam.
Bagaimana Bergerak Bersama Islam?
Yatakayyafu bil Islam, beradaptasi/menyesuaikan diri dengan Islam tidaklah akan sempurna tanpa yataharraku ma’al Islam, bergerak bersama Islam. Yakni, ‘ibadatun lillahi wahdah, beribadah kepada Allah semata dan tahqiqul iman, membuktikan keimanan dengan benar (as-sidq) di dalam hati (al-qalbu), lisan (al-lisan), dan amal (al-‘amal).
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah, 9: 119)
Berkenaan dengan ayat ini Syaikh Wahbah Zuhaili rahimahullah berkata, “Wahai orang-orang mukmin, takutlah kepada Allah dengan melaksanakan perintah–Nya dan menjauhi larangan–Nya serta teruslah beriman dengan benar baik dalam perkataan maupun perbuatan.”[3]
Allah Ta’ala pun mengungkapkan ciri orang-orang yang benar dalam keimanannya sebagai berikut,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujurat, 49: 15)
Al-Hasan al-Bashri berkata,
لَيْسَ الْإِيْمَانُ بِالتَّحَلِّي وَلَا باِلتَّمَنِّي وَلَكِنْ مَا وَقَرَ فِي الْقَلْبِ وَصَدَّقَتْهُ الْأَعْمَالُ
“Sesungguhnya iman bukanlah angan-angan atau pengakuan semata, namun iman adalah keyakinan yang tertancap dalam hati dan dibuktikan dengan amalan-amalan.” (Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam az-Zuhd dan al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman [1/80])
As-Sidq (kebenaran/kejujuran iman) di dalam diri akan menumbuhkan quwwatul indifa’ (kekuatan motivasi) di dalam al-qalbu (hati); menanamkan quwwatut ta’sir (kekuatan pengaruh) di lisan; dan mewujudkan quwwatul intaj (kekuatan produktifitas) di dalam amal. Dengan as-shidqu kita pun akan memperoleh at-tashdiq (pengakuan/pembenaran) dari manusia tanpa diminta. Orang-orang yang tulus dan bersih hatinya akan mendukung, mengakui dan membenarkan kita.
Pada akhirnya, Allah Ta’ala pun akan memberikan al-makanah (kedudukan yang mulia) sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,
وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ
“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa, (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. Al-Hajj, 22: 40 – 41)
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur, 24: 55)
Catatan Kaki:
[1] HR. Ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir dan Musnad asy-Syamiyin serta Abu Nu’aim al-Asbahani dalam Hilyah al-Awliya’. Imam Al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawaid, 5/231, berkata: Perawi Yazid bin Martsad tidak mendengar hadits dari Mu’adz. Perawi Wadhin bin ‘Atha’ dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Hibban dan lain-lain. Sementara seluruh perawi lainnya adalah para perawi yang tsiqah.
[2] Hal ini diungkapkan Ad-Dhahak dari Ibnu Abbas, diriwayatkan pula dari Mujahid, Abi ‘Aliyah, Ibrahim, Al-Hasan, Qatadah, Abdullah ibn Katsir, ‘Athiyah Al-‘Aufi, Ar-Rabi’ ibn Anas, dan lainnya (lihat: Tafsirul Qur’anil ‘Adzim, Ibnu Katsir, App Al-Bahitsul Qur’aniy).
[3] https://tafsirweb.com/3135-quran-surat-at-taubah-ayat-119.html