Menegakkan Agama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kita bagaimana dakwah yang manhaji (sistematis). Jauh dari sikap dan tindakan emosional (infi’aliyah), reaksioner, nekad, ceroboh, atau sembrono (tahawwur); apalagi bertindak asal-asalan (‘afawiyyah), tanpa bashirah (ilmu/pandangan jauh ke depan), atau beramal secara tarqi’iyyah (tambal sulam).
Dalam perjuangannya menegakkan agama Islam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu sabar melangkah dan memperhatikan realita. Ada dua marhalah (fase) yang beliau lalui dalam gerak dakwahnya: marhalatut ta’sis (al-makkiyyah) dan marhalatut tamkin (al-madaniyyah). Di antara dua marhalah itu ada peristiwa al-hijrah (hijrah) sebagai nuqthatut tahwil (titik peralihan).
Marhalatut Ta’sis (Fase Peletakan Asas): Al-Makkiyah
Dakwah Sirriyyah
Fokus dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada fase ini adalah: Pertama, nasyrul mabadi-i wa ta’alimil Islam (menyebarkan prinsip-prinsip ajaran Islam). Kedua, bina-u syakhshiyyatil Islamiyyatid da’iyyah (melakukan pembinaan pribadi muslim da’i). Ketiga, bina-ul jama’ah (membentuk komunitas muslim). Keempat, seluruhnya beliau lakukan dengan sirriyyatut tandzim (merahasiakan wujud organ komunitasnya).
Dakwah sembunyi-sembunyi ini dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama tiga tahun. Hal ini karena situasi dan kondisi yang belum memungkinkan bagi beliau untuk berdakwah secara jahriyyah (terang-terangan).
Dakwah tidak dilakukan secara terbuka di pertemuan-pertemuan dan majelis-majelis umum. Tetapi dilakukan berdasarkan pilihan/seleksi. Pada tahapan ini gerak dakwah Nabi telah berhasil merekrut semua lapisan masyarakat: orang-orang merdeka, kaum budak, lelaki, wanita, pemuda, dan orang-orang tua. Bahkan telah bergabung ke dalam Islam ini orang-orang dari segenap suku bangsa Quraisy, sehingga hampir tidak ada keluarga di Makkah kecuali satu atau dua orang anggotanya telah masuk Islam.
Kelima, al-ibti’adu ‘anis shaddi. Pada fase ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berupaya menghindarkan dakwah dari konfrontasi. Keenam, al-ibti’adu ‘an sahatil ma’rakah, menghindarkan dakwah dari bentrokan di medan peperangan.
Dengan begitu orang-orang Quraisy tidak ambil pusing terhadap komunitas baru ini karena mengira komunitas kaum muslimin tidak berbeda dengan golongan hanif –yang dianut oleh Zaid bin Amr bin Naufal, Waraqah bin Naufal, dan Umaiyah bin Abu Shalt—yang sekedar menghindarkan diri dari menyembah berhala.
Bahkan, menurut Syaikh Munir Muhammad Al-Ghadban rahimahullah, boleh dikatakan pada periode sirriyah ini Quraisy lebih banyak memperhatikan golongan hanif daripada kaum muslimin. Hal ini disebabkan orang-orang hanif itu pernah mengatakan keraguan mereka terhadap berhala-berhala kaum Quraisy dan sesembahan orang-orang Arab, sementara kaum muslimin belum pernah menyatakan sikap seperti itu.
Di dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari disebutkan bahwa Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam—sebelum mendapatkan wahyu—sempat mengenal Zaid bin ‘Amr bin Naufal.
قَالَ مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ: أَخْبَرَنِي سَالِمٌ ، أَنَّهُ سَمِعَ أَبَاهُ يُحَدِّثُ ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَنَّهُ لَقِيَ زَيْدَ بْنَ عَمْرِو بْنِ نُفَيْلٍ أَسْفَلَ بَلْدَحٍ ، وَذَلِكَ قَبْلَ الْوَحْيِ ، فَقَدَّمَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُفْرَةً فِيهَا لَحْمٌ ، فَأَبَى أَنْ يَأْكُلَ ، وَقَالَ : ” لَا آكُلُ مِمَّا يَذْبَحُونَ عَلَى أَنْصَابِهِمْ ، أَنَا لَا آكُلُ إِلَّا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ ” ، رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ
“Berkata Musa bin ‘Uqbah: ‘Salim mengabarkan kepadaku bahwa dia mendengar bapaknya berkata dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau pernah bertemu dengan Zaid bin Amr bin Nufail di bawah bukit Baldah, dan ini terjadi sebelum wahyu turun, beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam lalu menyuguhkan kepada Zaid hidangan daging, tapi Zaid menolak untuk memakannya seraya berkata: ‘Aku tidak makan sesembelihan yang mereka kurbankan kepada berhala mereka, aku tidak makan kecuali dari sesembelihan yang disebut nama Allah padanya.’”
Pada marhalatut ta’sis ini ajaran Islam belum diumumkan selain kepada orang yang dipastikan mau masuk Islam. Di masa-masa inilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhasil menggembleng individu-individu yang siap memikul beban dakwah. Di pundak-pundak merekalah dakwah ini nantinya akan terus tumbuh berkembang ke seluruh penjuru bumi.
Dakwah Jahriyyah
Setelah tiga tahun berdakwah secara sirriyyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan perintah dari Allah Ta’ala untuk berdakwah secara jahriyyah (terang-terangan).
فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ
“Maka sampaikanlah (Muhammad) secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang yang musyrik.” (Q.S. Al-Hijr: 94)
وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الأقْرَبِينَ
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat.” (Q.S. Asy-Syu’ara: 214)
Mulailah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah secara terang-terangan. Hal pertama yang beliau lakukan adalah menyampaikan dakwahnya kepada kaum kerabatnya yang terdekat: Bani Hasyim dan Bani Abdul Mutahallib. Rasulullah mengumpulkan mereka lalu menyampaikan dan mengajak mereka kepada ajaran Islam.
Pada saat itu nabi langsung mendapat penentangan dari Abu Lahab. Meskipun begitu, kontak pertama ini telah berhasil meraih dukungan ‘perlindungan dan pembelaan’ dari Abu Thalib. Ia berkata di majelis itu, “Demi Allah, aku akan tetap melindungi dan membelamu, tetapi aku sendiri tidak dapat meninggalkan agama Abdul Muthallib.”
Setelah yakin akan mendapat pembelaan dari Abu Thalib inilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mulai melancarkan dakwah secara terang-terangan kepada khalayak yang lebih luas. Beliau memanfaatkan perlindungan dan pembelaan Abu Thalib itu untuk terus mengembangkan dakwahnya.
Dakwah memang sudah disampaikan secara terbuka, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap merahasiakan ‘organisasi’-nya demi melindungi perkembangan dakwah dan pengikutnya. Rasulullah mengadakan ‘pengajian rutin’ secara tersembunyi di rumah Arqam bin Abil Arqam. Seandainya markaz dakwah ini diumumkan, niscaya penduduk Makkah akan menyerbu, dan akan mengakibatkan terjadi kontak senjata antara kedua belah pihak.
Mengapa dipilih rumah Arqam? Menurut Syaikh Munir Muhammad Ghadban, pemilihan tempat itu untuk mengecoh orang-orang Quraisy. Pertama, karena Arqam tidak diketahui keislamannya. Kedua, karena Arqam berasal dari Bani Makhzum yang merupakan musuh bebuyutan Bani Hasyim—keluarga besar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketiga, karena Arqam saat itu masih berusia muda, sekitar 16 tahun, sehingga tidak terpikirkan oleh orang-orang Quraisy jika markaz dakwah itu bertempat di rumah ‘anak kecil’.
Mengiringi perkembangan dakwah, gelombang penentangan pun semakin membesar. Setiap kabilah Quraisy melancarkan berbagai penyiksaan terhadap putra-putra dan budak-budak mereka yang muslim.
Ketujuh, as-shabru ‘alal bala-i wal adzaa, sabar terhadap berbagai cobaan dan siksaan. Hantaman penyiksaan itu tidak dilawan oleh kaum muslimin kecuali dengan kesabaran. Imam Al-Bukhari meriwayatkan kisah yang dibawakan oleh Khabbab radhiyallahu anhu, ia berkata:
شَكَوْنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُتَوَسِّدٌ بُرْدَةً لَهُ فِي ظِلِّ الْكَعْبَةِ فَقُلْنَا أَلَا تَسْتَنْصِرُ لَنَا أَلَا تَدْعُو لَنَا فَقَالَ قَدْ كَانَ مَنْ قَبْلَكُمْ يُؤْخَذُ الرَّجُلُ فَيُحْفَرُ لَهُ فِي الْأَرْضِ فَيُجْعَلُ فِيهَا فَيُجَاءُ بِالْمِنْشَارِ فَيُوضَعُ عَلَى رَأْسِهِ فَيُجْعَلُ نِصْفَيْنِ وَيُمْشَطُ بِأَمْشَاطِ الْحَدِيدِ مَا دُونَ لَحْمِهِ وَعَظْمِهِ فَمَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ وَاللَّهِ لَيَتِمَّنَّ هَذَا الْأَمْرُ حَتَّى يَسِيرَ الرَّاكِبُ مِنْ صَنْعَاءَ إِلَى حَضْرَمَوْتَ لَا يَخَافُ إِلَّا اللَّهَ وَالذِّئْبَ عَلَى غَنَمِهِ وَلَكِنَّكُمْ تَسْتَعْجِلُونَ
“Kami mengeluh kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau sedang berbaring di bawah bayangan Ka’bah, berbantalkan kain yang beliau miliki, lalu kami berkata: ‘Tidakkah engkau memohon pertolongan untuk kami? Tidakkah engkau mendo’akan kami?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sungguh ada di antara orang-orang yang beriman sebelum kalian yang ditangkap, lalu digalikan tanah dan ditanam disana, kemudian dibawakan gergaji dan diletakkan di atas kepalanya, lalu orang itu dibelah dua, daging dan urat yang berada di bawah kulit disisir dengan sisir besi, namun itu semua tidak menghalanginya dari din (agama)nya. Demi Allah, agama ini akan sempurna, sehingga seorang pengendara bisa berjalan dari Shan’a sampai Hadramaut dalam keadaan tidak takut kecuali kepada Allah dan mengkhawatirkan (serangan) srigala pada kambingnya, akan tetapi kalian terlalu tergesa-gesa’”.
Bahkan, karena siksaan yang demikian keras, beberapa orang dari kalangan sahabat diizinkan oleh nabi untuk menampakkan seolah-olah mereka telah murtad. Said bin Jubair berkata, “Aku pernah bertanya kepada Abdullah bin Abbas, ‘Apakah orang-orang musyrikin melancarkan siksaan kepada para sahabat Rasulullah saw sampai siksaan itu membolehkan mereka untuk ‘meninggalkan’ agama mereka?’ Ibnu Abbas menjawab, ‘Ya demi Allah. Sesungguhnya orang-orang musyrik memukuli salah seorang mereka, setelah tidak diberi makan dan minum, sampai tidak bisa duduk akibat siksaan itu dan (terpaksa) memberikan apa yang mereka inginkan yaitu fitnah. Sampai mereka berkata kepadanya, ‘Lata dan Uzza adalah tuhanmu selain Allah?’ Ia menjawab, ‘Ya’ Sampai ketika ada kumbang melintas, mereka bertanya kepadanya, ‘Apakah kumbang ini ‘tuhanmu selain Allah?’ Ia menjawab, ‘Ya’.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermaksud melindungi para pengikutnya dari ancaman bahaya, maka beliau bersabda kepada kaum muslimin, “Sebaiknya kalian pergi ke Habasyah karena di sana ada seorang raja yang adil sekali. Di dalam kekuasaannya tidak seorang pun boleh dianiaya, disana adalah bumi kejujuran. Sampai Allah memberikan jalan keluar kepada kalian.”[1]
Guna melindungi jama’ah, Rasulullah dan para sahabatnya memanfaatkan tradisi jaminan keamanan dalam masyarakat jahiliyyah di mana mereka sangat menghargai ‘undang-undang’ perlindungan pihak yang kuat kepada pihak yang lemah; jika seorang yang lemah masuk ke dalam jaminan keamanan orang yang kuat, maka orang tersebut dapat menikmati perlindungan kebebasan bergerak dan berpikir, sehingga pihak musuh tidak akan dapat mengganggunya sama sekali. Jika ada pihak yang mengganggunya maka ini berarti tantangan perang kepada pihak yang memberi jaminan keamanan.
Contoh perlindungan musyrikin sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya adalah jaminan kemanan dari Abu Thalib kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengomentari hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Quraisy tidak dapat melancarkan suatu tindakan yang tidak aku sukai, sampai Abu Thalib meninggal dunia.”[2]
Sedangkan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu mendapatkan jaminan keamanan dari Ibnu Daghnah. Semula Abu Bakar bermaksud berhijrah, tetapi kemudian dicegah oleh Ibnu Daghnah dan memberikan perlindungan kepadanya sehingga ia dapat bebas melaksanakan shalat dan membaca Al-Qur’an di rumahnya.
Puncak serangan kaum Quraisy terhadap Islam adalah pemboikotan. Mereka bersepakat memboikot Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthallib, baik yang muslim maupun yang kafir sehingga mengalami kesengsaraan tidak ada bahan makanan. Boikot ini berlangsung sekitar 3 tahun. Tidak lama setelah pemboikotan berakhir, Abu Thalib wafat disusul kemudian oleh wafatnya Khadijah radhiyallahu ‘anha.
Kedelapan, talammusul quwwatil qudrati ‘alal jama’ah (mencari potensi kekuatan yang dapat melindungi jama’ah).
Kesembilan, talammusul qa’idatul ardhiyyatil hamiyah (mencari basis territorial/wilayah yang dapat melindungi jama’ah)
Dakwah di Makkah benar-benar menghadapi jalan buntu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengarahkan dakwahnya ke tempat lain, yakni Thaif. Beliau datang ke sana untuk mencari pembelaan dan menyebarkan Islam. Tetapi beliau ditolak mentah-mentah dan malah dianiaya.
Beliau kemudian kembali lagi ke Makkah setelah mendapatkan jaminan keamanan dari Muth’am bin Adiy. Sebelumnya beliau pun meminta jaminan keamanan kepada Akhnas bin Syuraiq dan Suhail bin Amer, namun mereka berdua menolak secara halus.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mencari pembelaan dan perlindungan dari kabilah-kabilah Arab agar dapat menyampaikan dakwah dan melindunginya. Beliau mendatangi Bani Amir, Ghassan, Bani Fazarah, Bani Murrah, Bani Hanifah, Bani Sulaim, Bani Abbas, Bani Nasher, Tsa’labah bin Ukabah, Kindah, Kalb, Bani Al-Harits bin Ka’ab, Bani Udzarah, Qais bin Al-Khathim, dan Abul Haisar Anas bin Abu Rafi’.
Kepada mereka Rasulullah mengatakan, “Adakah seseorang yang sudi membawaku kepada kaumnya kemudian melindungiku sehingga aku dapat menyampaikan risalah Rabbku. Sesungguhnya Quraisy telah melarangku untuk menyampaikan risalah Rabbku.”[3]
Pada kali yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berkata kepada mereka: “Aku tidak membenci kalian sedikitpun. Barangsiapa yang ridha dengan apa yang aku dakwahkan, maka itulah dakwahku. Dan barangsiapa yang tidak menyukainya, aku tidak akan memaksanya. Aku hanya ingin kalian mau melindungiku dari orang yang ingin membunuhku, sehingga aku dapat menyampaikan risalah Rabbku, sehingga Allah putuskan padaku dan para pengikutku seperti yang dikehendakiNya.”[4]
Dalam setiap dialognya dengan kabilah-kabilah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menanyakan tentang silsilah, tanah tinggal, jumlah kekuatan, sejarah, budaya, dan nilai-nilai akhlak mereka. Ini merupakan salah satu upaya beliau untuk mengetahui dan mengenal dengan benar situasi dan kondisi social masing-masing kabilah secara lebih dekat. Pada sisi lain, dengan pengenalan itu beliau berharap dapat menangkap celah dan sisi kehidupan mereka yang dapat dimanfaatkan untuk menopang dakwahnya.[5]
Akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhasil mendapatkan dukungan orang-orang Aus dan Khazraj dari Yatsrib. Mereka inilah kaum Anshar (penolong dan pembela), dimana negeri mereka, Yatsrib, kelak berubah nama menjadi Madinah Al-Munawarah, negeri pusat perkembangan Islam ke seluruh penjuru bumi.
Al-Hijrah: Nuqthatut Tahwil (Hijrah: Titik Tolak Perubahan)
Setelah menemukan basis massa dan basis teritorial yang akan dijadikan penopang dan pendukung dakwah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin diperintahkan oleh Allah Ta’ala untuk berhijrah.
Hijrah memiliki dua bentuk, yaitu hijrah al-ma’nawiyah (maknawi) dan hijrah al-makaniyyah (tempat).
Hijrah al-ma’nawiyah yaitu perubahan minal jahiliyyati ilal Islam (dari jahiliyyah kepada Islam), minal kufri ilal iman (dari kufur kepada iman), minas syirki ilat tauhid (dari syirik kepada tauhid), minal bathil ilal haq (dari kebatilan kepada kebenaran), minan nifaq ilal istiqamah (dari nifaq kepada istiqamah), minal ma’shiyati ilat tha’ah (dari maksiat kepada taat), minal harami ilal halal (dari haram kepada halal), dan minal infiradiyah ilal jama’atil Islamiyah (dari menyendiri kepada jama’ah muslim).
Sedangkan hijrah al-makaniyyah yaitu perubahan tempat lil iltija-i mu-aqqatatan (untuk berpijak sementara) atau lit ta’bi-ah (untuk berpijak secara permanen) dikarenakan adanya al-qa’idatul ijtima’iyyah (basis sosial pendukung) dan al-qa’idatul ardhiyyah (basis teritorial).
Marhalatut Tamkin (Fase Memiliki Kekuasaan): Al-Madaniyyah
Pada fase ini fokus dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah melakukan pengokohan kekuatan.
Pertama, pengokohan al-qa’idatul ijtima’iyyah (basis sosial pendukung). Kedua, pengokohan al-qa’idatul ardhiyyah (basis teritorial). Ketiga, pengokohan al-quwwatul qudratu ‘alal hamiyah (kekuatan potensi untuk perlindungan dakwah). Keempat, tandzimud daulah (mengelola negara). Kelima, melaksanakan ad-da’watus syamilah (melakukan dakwah secara menyeluruh).
Disebutkan oleh Muhammad Al-Ghazaly dalam Fiqhus Sirah, ada tiga hal yang dibangun oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka penegakan negara Madinah:
- Memperkokoh hubungan umat Islam dengan Allah, hal ini ditandai dengan membangun masjid.
- Memperkokoh hubungan internal umat Islam, yakni dengan mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar.
- Mengatur hubungan umat Islam dengan non muslim. Untuk itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan penandatanganan Piagam Madinah (sulhul Madinah).
Hal lain yang perlu dicatat adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mendirikan pasar di Madinah sebagai pembangunan basis perekonomian. Selain itu, guna menjaga keamanan daulah Islamiyah, Rasulullah mengirim sariyyah (satuan militer) yang bertugas patroli mengawasi lalu lintas kafilah yang bergerak dari Makkah ke Syam dan sebaliknya. Hal ini menurut Muhammad Al-Ghazaly rahimahullah adalah untuk memperlihatkan kekuatan kaum muslimin dan memberi peringatan kepada musyrikin Quraisy.[6]
Untuk pendalaman materi tentang dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di periode Makkah dan Madinah, saya rekomendasikan para pembaca untuk membaca buku yang berjudul Manhajun Nabiy fid Da’wah min Khilalis Sirah As-Shahihah: Al-Ma’rifah, At-Tarbiyah, At-Takhthith, At-Tandzhim karya Prof. Muhammad Amahzun.[7]
Catatan Kaki:
[1] Manhaj Haraki, Syaikh Muhammad Munir Ghadban, hal. 73
[2] Ibid, hal. 83
[3] Ibid, hal. 176.
[4] lihat: Al-Bidayah, Juz III, Hal. 140
[5] Manhaj Dakwah Rasulullah, Muhammad Amahzun, hal. 137.
[6] Lihat: Fiqhus Sirah, Syaikh Muhammad Al-Ghazaly.
[7] Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Manhaj Dakwah Rasulullah, diterbitkan oleh Qisthi Press.
1 comment
Assalamu’alaikum wr. wbt.
Content yang sangat bagus.. Mohon share.