Oleh: KH. Hilmi Aminuddin rahimahullah
Dalam pelaksanaan tugas-tugas untuk memenuhi tuntutan konsepsional, struktural, dan operasional, peran organisasi dakwah adalah:
Pertama, dauru tabligh (peran menyampaikan), yang sudah barang tentu peran tablighin bukan hanya meningkatkan kualitas dan kuantitas informasi keislaman kepada umat sehingga wawasan keislaman semakin luas, tetapi juga harus menembus kantong-kantong daerah minoritas yang memeluk agama lain atau daerah-daerah yang terbelakang. Kita juga harus berperan meningkatkan kesadaran umat akan tanggungjawabnya sebagai muslim secara individu atau sebagai umat.
Kedua, dauru tau’iyah (peran menyadarkan). Yakni mengembangkan wa’yul Islami di lingkungan umat lslam sendiri. Karena betapa pun penduduk muslim di Indonesia ini merupakan mayoritas, tapi kalau kesadarannya rendah sudah tentu tidak akan mampu mengekspresikan dirinya sebagai muslim, mengaktualisasikan keislamannya. Oleh karena itu peran peningkatan kesadaran umat ini, peran tau’iyah ini merupakan tugas kedua yang harus kita tingkatkan. Semakin meningkat aktivitas tau’iyah kita di tengah-tengah umat, insya Allah semakin meningkat pula kesadaran umat. Peningkatan tau’iyah berefek langsung pada peningkatan kontribusi umat, semakin mereka sadar, semakin tinggi kontribusinya terhadap perjuangan umat, terhadap gerakan dakwah bahkan terhadap pembangunan bangsa dan negara, terhadap pemeliharaan integritas bangsa dan negara.
Ketiga, dauru taujih (peran pengarahan). Potensi umat Islam yang sudah sadar pun kadang-kadang dalam penyaluran potensinya, dalam penyaluran kafaah wal hibrah-nya, tidak terorientasi secara baik, terjadi tidak jelas arah orientasinya, tidak jelas sumbangsihnya, tidak jelas arah kontribusinya. Padahal potensi yang sedikit ini harus seefisien mungkin, harus seefektif mungkin digunakan untuk mencapai kinerja yang mempunyai produktivitas yang tinggi dan itu tidak mungkin, kalau keadaan penyaluran potensi umat secara acak, terjadi disorientasi penyaluran potensi umat. Oleh karena Itu Al-Qur’an sendiri memberikan tsawabit kepada kita agar umat ini menghasilkan produktivitas tinggi dalam kebajikan. Perlu ada orientasi yang jelas, wa likuli wijhatun huwa muwalliha, fastabiqul khairat.
Setelah umat mempunyai wijhah muwalliha (orientasi yang dituju) dalam pengerahan potensinya, insya Allah umat ini bisa dikerahkan, bisa dikonsolidasikan, bisa koordinasikan dan biisa dimobilisasikan untuk mencapai al-khairat , ”fastabiqul khaerat”, berlomba-lomba untuk rnencapai kebajikan-kebaikan. Kebajikan itu bisa dinikmati oleh umat Islam sendiri dan itu disalurkan kepada umat manusia dalarn rangka misi rahmatan lil alamin.
Keadaan disorientasi penyaluran potensi umat sampai sekarang masih terjadi. Betapa kita lihat potensi umat Islam sampai sekarang masih terakumulatif berhimpun di lembaga-lembaga yang justru tidak memperjuangkan Islam, yang bahkan mungkin program-programnya menghambat pertumbuhan dakwah Islam, atau bahkan tujuannya shoddun ‘an sabilillah. Di Indonesia ini seluruh lembaga-lembaga itu umumnya menggunakan kekuatan atau potensi umat Islam, akibat disorientasi umat.
Peran taujih mengarahkan orientasi umat ini salah satunya bertujuan agar potensi kita, potensi umat ini jangan mubazir akibat overlapping, keroyokan menangani bidang aktivitas tertentu yang mungkin diangap basah, sementara aktivitas-aktivitas yang dianggap kering ditinggalkan. Atau aktivitas yang paling aman, sementara yang berisiko ditinggalkan. Maka peran taujih ini adalah salah satu tugas utama dari dakwah kita.
Keempat, daurul irsyad (peran membimbing). Karena dalam penjalanan umat menyalurkan potensinya, banyak jebakan-jebakan, banyak hambatan-hambatan, banyak mun’aqafat ala thariqi dakwah, tikungan-tikungan yang bisa saja mengecoh yang disebutkan oleh Rasulullah SAW ketika menggambarkan shiratal mustaqim yang lurus. Di kiri kanan shiratal mustaqim itu ada subul yang bisa menjebak umat terpeleset, terperosok, dan menyimpang dari jalan yang lurus. Oleh karena itu peran para aktivis dakwah harus juga memerankan daurul irsyad untuk membimbing umat supaya jangan terjebak oleh tipuan-tipuan, oleh iming-iming, oleh tawaran-tawaran yang kadang-kadang demikian menggiurkan.
Dan berkatalah orang-orang kafir kepada orang-orang yang beriman: “Ikutilah jalan kami, dan nanti kami akan memikul dosa-dosamu”, dan mereka (sendiri) sedikitpun tidak (sanggup), memikul dosa-dosa mereka. Sesungguhnya mereka adalah benar-benar orang pendusta.
Oleh karena itu daurul irsyad yang membimbing umat secara tekun sepanjang perjalanan hidupnya adalah sangat penting, sangat urgent dilakukan oleh dakwah. Janganlah sampai dakwah kita berslogan Qul kalimataka wamsi (sampaikan saja pesan-pesanmu lalu tinggal pergi) lalu berdalih faman sya a’ fal yu’min waman sya-a fal yakfur (siapa yang hendak beriman berimanlah dan siapa hendak kufur kufurlah). Dakwah yang semacarn itu bukan dakwah yang bertanggungjawab.
Kelima, daurul himayah (peran advokasi). Sebagai muhami, sebagai pengacaranya umat yang melakukan advokasi terhadap umat, pertama-tama sudah barang tentu advokasi terhadap nilai-nilai ajarannya dulu. Advokasi terhadap nilai-nilai ajaran Islam tahrif yang menimbulkan ihtiraf, penyimpangan. Tahrif dalam ajaran Islam menimbulkan inhiraf min umatil Islamiyah.
Begitu juga kita melakukan himayah terhadap umat ini dari usaha-usaha tajziyah, sektoralisasi, parsialisasi dari ajaran Islam. Tajziyah ini berefek tafriqah di kalangan umat Islam, menimbulkan semangat kullu hizbin bimaa ladaihim farihuun (tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka masing-masing). Lembaga-lembaga, jamaah-jamaah, jam’iyah-jam’iyah, ikatan-ikatan dan himpunan-himpunan bukan menjadi lembaga manajemen administratif penataan potensi umat, tapi sudah menjadi ashabiyah.
Begitu juga kita melakukan himayah, melakukan advokasi terhadap ajaran Islam dan sisi tasywih (pengaburan). Tasywih ini memberikan label-label yang buruk, dimana doktrin-doktrin, ajaran-ajaran Islam dianggap sumber malapetaka di dunia ini.
Umat Islam akibat kampanye tasywih dimana-mana kehidupannya defensif, saya tidak melakukan itu, saya tidak melakukan ini bahkan saya tidak pergi ke situ dan saya tidak pergi ke sana, cenderung defensif. Padahal dakwah harus ofensif dan ofensif selalu. Akibat tasywih daya ofensif menjadi tumpul dan mandul.
Padahal kalau kita lihat ayat-ayat Qur’an yang mendorong penyaluran potensi umat Islam ini rata-rata perintah bersifat ofensif. Ayat-ayat yang menyebutkan fantasyiru fil ardh adalah ayat ofensif, wa saari-uu ilaa maghfiratin mirrabbikum adalah ayat ofensif. Fastabiqul khaerat adalah ayat ofensif. Wajahiduu biamwalihim adalah bagian dan ayat ofensif. Perintah-perintah adalah ofensif. Ud’u ila sabili rabikka bil hikmati wal mau’idzatil hasanah juga bagian dan ayat-ayat ofensif. Jika umat ini dibebani oleh tasywih, maka sifat ofensif ini menjadi tumpul dan mandul. Karena sibuk menolak ini dan itu, menolak keterlibatan di sana dan di situ, dan seterusnya. [ ]
1 comment
Syukron