Oleh: KH. Hilmi Aminuddin
Menggerakkan potensi jama’ah dakwah kita, potensi umat, potensi bangsa, potensi manusia—bagi jama’ah dakwah bukan hanya bi ishdaril awamir (mengeluarkan perintah-perintah), tapi harus bi i’dadil ‘awamil (menyediakan sarana prasarana).
Harakah dakwah mustamirah, gerakan dakwah yang berkelanjutan,tidak mengandalkan ishdarul ‘awamir, tetapi mengandalkan i’dadul ‘awamil al-harakiyah (mempersiapkan faktor-faktor kokohnya pergerakan dakwah). Menggerakkan kader dengan menyediakan sarana prasarana bukan mengeluarkan perintah-perintah.
Jadi tugas kepemimpinan itu bukan memberikan perintah demi perintah. “Ini laksanakan! Tidak ada diskusi, ini instruksi, ayo jalan! Kalau tidak jalan ada ‘iqab (hukuman).” Ini melemahkan kader. Jadinya ada yang berkomentar: “Yah, begini berjama’ah ternyata, dibentak-bentak melulu. Padahal ayah ibu saya tidak pernah marah seperti itu. Padahal dia bukan siapa-siapa, tidak ada jasa apa-apa, marah-marah dan menyuruh-nyuruh.”
Jadi dalam menggerakkan kader dakwah, harus lebih mendahulukan i’dad awamil al-harakiyah. Faktor-faktor yang menggerakkan dakwah itu diantaranya:
Pertama, awamil ruhiyah wal ma’nawiyah, mempersiapkan faktor mental dan spiritual. Kebangkitan semangat, kebangkitan harga diri, kebangkitan optimisme.
Kedua, awamil fikriyah, mempersiapkan faktor idealita dan cita-cita. Cita-cita Islam ini sangat besar, shina’atul hadharah (mencipta peradaban), ustadziyatul ‘alam (menjadi guru dunia). Kita harus siapkan idealita untuk mencapai cita-cita besar itu. Kita hidupkan, kita gelorakan idealita itu. Sudah tentu dengan mengembangkan penguasaan nazhariyat, konsepsi-konsepsi di segala bidang. Sehingga kita mempunyai pakar ekonomi, budaya, ketatanegaraan, lingkungan hidup, tata kota, arsitektur, dan lainnya.
Kita membutuhkan qa’idah al-fikriyah sebagai salah satu usaha i’dadul awamil fikriyah. Sebab idealita tidak mungkin dibangun tanpa kekuatan intelektualitas, tanpa kecerdasan, tanpa dzaka’, agar ide kita terdepan di segala sector.
Kita harus terus mendorong awamil fikriyah sehingga ar-ru’yah al-mustaqbaliyah, visi ke depan kader-kader kita menonjol luar biasa; memahami risalah masiriyah, memahami misi perjuangan gerakan dakwah ini. Juga memahami dan membiasakan ijabiyatu ru’yah, pandangan positif.
Ketiga, awamil idariyah, faktor-faktor manajerial. Jangan sampai kita berjuang, berjihad, berdakwah tanpa manajemen; merasa cukup dengan: “tawakkal ‘ala-Llah.”
Ali radhiyallahu ‘anhu dalam kata-kata mutiaranya mengatakan bahwa al-haqqu bi la nizham yaghlibul bathilu binizham, kebenaran yang tidak terorganisir dapat dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir.
Salah satu syarat intizham (keteraturan) adalah adanya langkah-langkah yang termenej dengan baik: manajemen yang terkait dengan menghimpun potensi (idarah tasyji’iyah), manajemen koordinasi (idarah tansiqiyah), manajemen mobilisasi potensi (idarah ta’bawiyah), manajemen pengawasan (idarah riqabiyah), dan juga manajemen reward (idarah jazaiyah).
Keempat, awamil madiyah, sarana finansial atau materi. Dalam Fatawa Ibnu Taimiyah dikatakan, “La khaira fii man laa yuhibbul maala, ya’budu bihii rabbahu wa yuaddi bihii amaanatahu wa yashuunu bihii nafsahu ‘anil khalqi wa yastaghni bihi.” Tidak ada kebaikan pada diri orang yang tidak suka harta, yang dengannya ia menyembah Tuhannya, menjalankan amanahnya, menjaga kehormatan dirinya dari (meminta-minta) kepada orang lain, dan mencukupkan untuk (kebutuhan) dirinya.
Yang dilarang oleh Al-Qur’an adalah hubban jamman. Cinta yang sangat berlebih-lebihan kepada harta. Itu yang tidak boleh.
Kelima, awamil zharfiyah, faktor kondisi dan situasi. Hal ini bisa dipersiapkan dan dikelola, bisa dimenej, bisa direkayasa. Mempersiapkan situasi dan kondisi, baik zamaniyah, kondisi waktu, maupun makaniyah, kondisi tempat.
Ruang dan waktu diisi oleh manusia. Karena itu untuk mempersiapkan situasi dan kondisi kita harus pandai berkomunikasi dengan orang lain. Harus bisa bertawasul/bersilaturahim dengan orang. Kemudian berta’amul, bekerja sama, dan bertafa’ul, berinteraksi dengan orang. Yatakayyaf ma’annas. Kalau yang dihadapi petani, kaifa yatakayyaf ma’al muzari’in. Kalau yang dihadapi kaum buruh, kaifa yatakayyaf ma’al ‘umal.
Kemampuan tawasul (komunikasi), ta’amul (bekerjasama), dan tafa’ul (interaksi) harus dimiliki oleh setiap kader, ikhwan dan akhwat, agar bisa tahyiatu zhuruf, mempersiapkan situasi dan kondisi yang kondusif bagi kemenangan-kemenangan dakwah yang dijanjikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. [ ]