Sinergi antar gerakan Islam akan mudah diwujudkan, jika masing-masing gerakan—kalangan elit maupun pengikutnya—memiliki modal akhlak yang sama, berdiri di atas landasan moral yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya.
Paling tidak ada 6 modal akhlak yang menjadi syarat terwujudnya sinergi antar gerakan Islam. DR. Yusuf Qaradawi menjelaskan hal ini dalam Fiqhul Ikhtilaf, berikut ringkasannya:
Pertama, ikhlas karena Allah dan terbebas dari hawa nafsu. Menurut beliau, seringkali perselisihan antar kelompok atau pribadi nampak secara lahiriah sebagai perselisihan ilmiah atau mengenai masalah-masalah pemikiran semata-mata. Tetapi sesungguhnya perselisihan tersebut timbul karena faktor egoisme dan memperturutkan hawa nafsu yang dapat menyesatkan seseorang dari jalan Allah.
Seringkali perselisihan itu terjadi karena faktor-faktor pribadi dan popularitas, sekalipun dibalut dengan kepentingan Islam atau jama’ah dan lain sebagainya yang tidak diketahui bahkan oleh manusia itu sendiri.
Banyak perselisihan timbul hanya karena si Zaid menjadi pemimpin atau karena si Umar menjadi komandan, kemudian para pengikut masing-masing mengira sebagai perselisihan mengenai prinsip dan pemahaman. Padahal ia merupakan perselisihan memperebutkan kepemimpinan atau jabatan.
Tarbiyah Islamiah senantiasa menempa agar setiap mu’min menjadikan tujuannya hanyalah mencari ridha Allah, bukan ridha makhluk, kebahagiaan akhirat, bukan kemaslahatan duniawi. Mengutamakan apa yang ada di sisi Allah, bukan apa yang ada di sisi manusia.
“Apa yang di sisimu akan lenyap, sedangkan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Sesungguhnya kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl, 16: 96).
Kedua, meninggalkan fanatisme terhadap individu, madzhab dan golongan. Seseorang bisa berlaku ikhlas sepoenuhnya kepada Allah dan berpihak hanya kepada kebenaran jika ia dapat membebaskan dirinya dari fanatisme terhadap pendapat orang, madzhab, dan golongan.
Dengan kata lain, ia tidak mengikat dirinya kecuali dengan dalil. Jika dilihatnya ada dalil yang menguatkan maka ia segera mengikutinya, sekalipun bertentangan dengan madzhab yang dianutnya atau perkataan seorang Imam yang dikaguminya atau golongan yang diikutinya. Sebab, kebenaran lebih berhak untuk diikuti daripada pendapat si Zaid atau si Umar. Allah tidak memerintahkan kita beribadah mengikuti perkataan seorang ulama atau Imam tertentu, tetapi Allah memerintahkan kita agar beribadah sesuai dengan apa yang terdapat di dalam kitab-Nya dan sunnah Nabi-Nya.
Seseorang harus melepaskan dirinya dari fanatisme terhadap pendapatnya sendiri, mazhab, kelompok, atau partai. Al-Qur’an menceritakan beberapa contoh dari orang-orang fanatik ini sebagai kecaman terhadap mereka dan peringatan kepada kaum muslimin agar tidak mengikuti jejak langkah mereka.
Firman Allah tentang Bani Israil:
Apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kepada Al Quran yang diturunkan Allah,” mereka berkata: “Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami”. Lalu mereka kafir kepada Al Quran yang diturunkan sesudahnya, sedang Al Quran itu adalah (Kitab) yang hak; yang membenarkan apa yang ada pada mereka. “ (QS. Al-Baqarah, 2: 91).
Firman Allah tentang orang-orang Musyrik:
Apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”. (QS. Al-Baqarah, 2: 170)
Diantara akhlak meninggalkan fanatisme terhadap individu, madzhab dan golongan ialah sikap melihat kepada perkataan bukan kepada orang yang mengatakannya. Hendaknya ia punya keberanian untuk mengkritik diri sendiri, mengakui kesalahan, menerima dengan lapang dada kritik orang lain. Ia tidak segan meminta nasehat dan evaluasi dari orang lain, memanfaatkan ilmu dan hikmah yang dimiliki orang lain, memuji orang yang tidak sependapat jika memang pendapatnya baik, dan membelanya apabila dia dituduh dengan tuduhan yang batil atau dilecehkan dengan tidak benar.
Ketiga, berprasangka baik kepada orang lain. Diantara akhlak dasar yang penting dalam pergaulan sesama aktivis Islam ialah berprasangka baik kepada orang lain dan mencopot kacamata hitam ketika melihat amal-amal dan sikap-sikap mereka. Akhlak dan pandangan seorang mu’min tidak boleh didasarkan pada prinsip memuji diri sendiri dan menyalahkan orang lain.
Allah melarang kita menganggap diri suci. Firman-Nya:
“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa. (QS. An-Najm, 53: 32)
Seorang mu’min—seperti dikatakan oleh para salaf—lebih keras mengadili diri sendiri ketimbang mengadili penguasa yang zalim atau teman yang bakhil. Ia senantiasa menuduh dirinya sendiri. Tidak memberikan toleransi kepada dirinya dan tidak mencari-cari dalih atas kesalahan-kesalahannya. Ia senantiasa dihantui rasa kurang melaksanakan perintah-perintah Allah dan menunaikan hak-hak hamba Allah.
Di samping itu ia senantiasa mencarikan alasan bagi kesalahan-kesalahan makhluk Allah, terutama para saudaranya dan orang-orang yang berjuang bersama-sama untuk membela agama Allah. Ia senantiasa mengatakan apa yang diucapkan oleh sebagian salaf yang shalih: “Aku mencarikan ‘udzur (alasan) bagi kesalahan saudaraku sampai tujuh puluh alas an, kenudian aku katakana lagi: barangkali dia punya alas an lain yang tidak aku ketahui”.
Diantara cabang iman yang terbesar ialah: Berprasangka baik kepada Allah dan manusia. Kebalikannya ialah: Berprasangka buruk kepada Allah dan hamba Allah.
Keempat, tidak menyakiti dan mencela. Diantara factor penyambung hubungan ialah sikap tidak menyakiti dan mencela orang yang berbeda pendapat serta meminta ma’af kepadanya sekalipun dia salah dalam anggapan Anda. Bisa jadi dia yang benar dan Anda yang salah, sebab dalam masalah ijtihad tidak ada kepastian tentang kebenaran salah satu dari kedua pendapat yang diperselisihkan. Dalam hal ini yang bisa dilakukan adalah tarjih. Sedangkan tarjih itu sendiri tidak berarti sebuah kepastian.
Orang yang keliru dalam masalah-masalah ijtihadiyah juga tidak boleh dicela sama sekali. Kesalahannya harus dimaafkan bahkan mungkin saja dia memperoleh pahala dari Allah sebagaimana ditegaskan dalam hadits Nabi.
Bagaimana mungkin kita mencela dan menyakiti orang yang melakukan ijtihad yang telah diberi pahala oleh Allah, sekalipun hanya satu pahala?
Demikianlah manhaj para salaf dalam berbeda pendapat menyangkut masalah ijtihadiyah. Mereka tidak saling mencela atau menyakiti, tetapi saling memuji, sekalipun tetap berbeda pendapat.
Kelima, menjauhi jidal dan permusuhan sengit. Di lapangan dakwah Islam kita saksikan adanya orang-orang yang tidak punya perhatian kecuali perbantahan dalam segala hal. Mereka tidak punya kesiapan untuk menerik pendapatnya sedikitpun. Mereka hanya menginginkan agar orang lain mengikuti pendapatnya. Mereka merasa selalu benar sedangkan orang lain senantiasa salah.
Diantara mereka ada yang mengecam fanatisme kepada madzhab tetapi mereka sendiri membuat madzhab baru dan menyerang orang lain yang tidak sepaham dan tidak mau mengikutinya.
Diantara mereka ada yang mengaharamkan taqlid tetapi mereka sendiri menuntut orang lain agar mengikutinya. Atau melarang taqlid kepada ulama terdahulu, sementara mereka sendiri bertaqlid kepada ulama sekarang.
Diantara mereka ada yang melakukan konfrontasi demi masalah-masalah furu’iyah (cabang) dan sektoral. Padahal para salaf sendiri pernah memperselisaihkannya, tetapi tidak sampai menimbulkan keruhnya hubungan sesama saudaranya.
Rasulullah SAW mengecam keras perbantahan dan menganjurkan ummatnya agar menjauhinya. Dari Abu Umamah ra bahwa Nabi SAW bersabda:
“Aku menjamnin istana di pinggir sorga bagi orang yang meninggalkan perbantahan sekalipun dia benar…” (HR. Abu Dawud).
“Tidaklah sesat suatu kaum setelah mendapatkan petunjuk, kecuali karena mereka melakukan perbantahan.” (HR. Turmudzi)
Perbantahan dan perdebatan yang paling dibenci ialah perbantahan di sekitar Al-Qur’an yang sesungguhnya diturunkan Allah untuk member kata putus terhadap apa yang diperselisihkan oleh manusia. Jika Al-Qur’an dijadikan sumber perselisihan maka ukuran dan pedoman apa lagi yang akan dijadikan rujukan oleh manusia?
Ibnu Amer berkata: “Aku dan saudaraku pernah duduk dalam sebuah majelis yang lebih aku sukai daripada onta merah. Saat itu aku dan saudaraku datang. Namun ada beberapa orang sahabat Rasulullah SAW duduk di salah satu pintunya. Kami ntidak ingin memisahkan tempat duduk mereka, sehingga kami duduk terpisah di sudut. Tiba-tiba mereka menyebutkan satu ayat Al-Qur’an dan memperdebatkannya sehingga suara mereka semakin keras. Mendengar ini Rasulullah SAW langsung keluar dalam keadaan marah dan merah mukanya. Seraya menaburkan pasir kepada mereka, Rasulullah SAW bersabda:
“Dengan inilah ummat-ummat sebelum kalian binasa. Mereka menentang para Nabi mereka dan mempertentangkan sebagian isi Al-Kitab dengan sebagian yang lain. Sesungguhnya Al-Qur’an tidak diturunkan sebagiannya mendustakan sebagian yang lain. Tetapi justru sebagiannya membenarkan sebagian yang lain. Apa yang telah kamu ketahui darinya hendaklah kamu amalkan dan apayang belum kamu ketahui hendaklah kamu kembalikan (tanyakan) kepada orang yang mengetahuinya.” (Hadits nomor 6702 dari Al-Musnad [1/174-175]. Syakir berkata: sanadnya shahih).
Keenam, dialog dengan cara yang lebih baik.
Allah SWT berfirman:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl, 16: 125).
Dalam ayat ini terdapat perbedaan ungkapan antara apa yang dituntut dalam melakukan nasehat (mau’izhah) dan apa yang dituntut dalam melakukan bantahan (jidal). Dalam melakukan mau’izhah cukup dengan cara yang baik (hasanah), tetapi dalam melakukan jidal tidak dibenarkan kecuali dengan cara yang lebih baik (ahsan).
Ada dua cara dalam jidal. Pertama, ialah cara yang baik dan yang kedua cara yang lebih baik. Kita diperintahkan untuk mengikuti yang lebih baik.
Mau’izhah—biasanya—ditujukan kepada orang-orang yang menerima dan sudah komit dengan prinsip dan fikrah. Mereka tidak memerlukan kecuali nasehat yang meningatkan, memperlembut hati, menjernihkan kekeruhan dan memperkuat tekad mereka. Sedangkan jidal—biasanya—ditujukan kepada orang-orang yang menentang, yang seringkali membuat orang yang berselisih pendapat dengan mereka tidak sabar sehingga mengeluarkan ungkapan kasar dan sikap kaku. Maka dengan bijaksana Al-Qur’an memerintahkan kita agar mengambil cara yang lebih baik dalam berdialog dengan mereka, agar memberikan hasil yang baik. Diantara caranya ialah berdialog dengan memilih ungkapan-ungkapan yang lembut dan sejuk. Al-Qur’an dalam menghadapi orang-orang Yahudi dan Nasrani menggunakan ungkapan yang menyiratkan makna pendekatan antara mereka dan kaum muslimin. Seperti ungkapan ‘Ahlul Kitab’ atau orang-orang yang diberi Al-Kitab.
Bahkan kepada orang-orang musyrik penyembah berhala, Al-Qur’an tidak menggunakan ungkapan, “Wahai orang-orang musyrik”, tetapi memanggil mereka dengan, “Wahai manusia”. Di dalam Al-Qur’an tidak terdapat seruan kepada orang-orang musyrik dengan menggunakan ungkapan kemusyrikan atau kekafiran kecuali di dalam surat Al-Kafirun. Itu pun karena tujuan khusus yaitu memupus harapan kaum musyrikin dalam merayu kaum muslimin agar bersedia mengalah sedikit dalam masalah aqidah mereka, aqidah tauhid. Oleh sebab itu ayat tersebut mengulang-ulang masalah tauhid dengan beberapa ungkapan sebagai peneguhan. Sekalipun demikian surat tersebut diakhiri dengan sebuah ayat yang mencerminkan, puncak toleransi: “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.”
Diantara cara dialog yang baik ialah menekankan pada ‘titik pertemuan’ dan ‘faktor kesepakatan’ antara Anda dan mitra dialog Anda. Cara ini adalah cara Qur’ani yang harus kita kenali dan terapkan. Perdebatan-perdebatan para Rasul dengan kaum mereka, sebagaimana diceritakan di dalam Al-Qur’an, memperjelas sikap ini. Sikap lembut, sopan, dan menggunakan ungkapan yang sejuk dalam dakwah dan dialog.
(M. Indra Kurniawan | Khadimud Da’wah FDTI)