إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ، وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا، فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” (QS. An Nashr: 1-3)
Surat An-Nashr dinamakan juga surat At-Taudi’ (perpisahan); ia adalah surat Madaniyyah. Hal ini berdasarkan riwayat dari An-Nasa’i dari Ubaidillah bin Abdullah bin ‘Utbah, dia berkata: “Ibnu Abbas pernah berkata kepadaku: ‘Wahai Ibnu Utbah, apakah engkau tahu akhir surat Al-Qur’an yang diturunkan?’ ‘Ya, إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ ,’ jawabku. Dia pun berkata: ‘Engkau benar.’[1]
Abu Bakar Al-Bazzar dan Al-Baihaqi meriwayatkan dari Ibnu Umar, dia berkata: “Surat ini إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ, turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di pertengahan hari-hari tasyriq, sehingga beliau mengetahui bahwa ia merupakan surat yang terakhir. Kemudian beliau memerintahkan binatang tunggangannya, Al-Qushwa’, untuk melakukan perjalanan, maka unta beliau pun berangkat. Selanjutnya beliau berdiri dan berkhutbah kepada orang-orang.[2]
Di dalam Tafsir Al-Maraghi disebutkan bahwa Ibnu Umar mengatakan, surat ini diturunkan di Mina ketika Haji Wada’. Kemudian turun pula ayat: الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا. Setelah 80 hari dari turunnya ayat ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.[3]
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di mengatakan bahwa dalam surat yang mulia ini terdapat kabar gembira dan perintah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah mendapatkan kemenangan serta isyarat dan peringatan akan konsekuensi yang harus beliau kerjakan.
Kabar gembira tersebut berupa datangnya pertolongan Allah kepada Rasul-Nya, penaklukan kota Makkah, dan masuknya manusia ke dalam agama Allah dengan berbondong-bondong. Sehingga banyak di antara mereka menjadi pembela dan penolong yang sebelumnya mereka memusuhi beliau. Kabar gembira tersebut telah terbukti.
Sedangkan perintah kepada beliau setelah mendapatkan kemenangan adalah agar beliau mensyukuri kenikmatan tersebut, mensucikan Allah dengan cara memuji-Nya dan memohon ampunan kepada-Nya.
Juga terdapat dua isyarat dalam surat ini:
Pertama, isyarat bahwa kemenangan akan tetap berlanjut untuk agama ini. Dan kenikmatan itu akan bertambah jika Rasulullah mau bertasbih kepada-Nya dengan cara memuji-Nya dan memohon ampunan kepada-Nya. Karena hal itu merupakan bentuk syukur, sebagaimana tertera dalam firman Allah Ta’ala,
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ
“…Sesungguhnya jika kamu beryukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu…” (QS. Ibrahim: 7).
Hal tersebut terbukti pada zaman Khulafaur Rasyidin dan generasi sesudahnya dari umat ini. Pertolongan Allah terus berlanjut hingga agama Islam mencapai kawasan yang belum pernah dicapai oleh agama lain. Begitu banyak orang yang masuk ke dalam agama Islam yang belum pernah dialami agama lain. Sampai akhirnya terjadilah pelanggaran yang dilakukan oleh umat ini. Akhirnya Allah memberikan cobaan dengan terjadinya perpecahan sedemikian rupa, sehingga terjadilah apa yang telah terjadi. Meski demikian, karena rahmat dan kelembutan Allah, Dia masih menyelamatkan umat dan agama ini sampai batas yang belum pernah tebersit dalam hati dan terpikir dalam bayangan manusia.
Kedua, isyarat bahwa ajal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah dekat. Allah Ta’ala memerintahkan Rasul-Nya agar memuji Allah dan memohon ampunan kepada-Nya sebagai isyarat bahwa ajalnya sudah dekat. Hendaknya ia bersiap-siap untuk menghadap Rabbnya dan menutup umurnya dengan sesuatu yang mulia yang bisa beliau lakukan. Semoga shalawat dan salam terlimpah kepada beliau.
Beliau selalu berusaha untuk menerapkan makna Al-Qur’an dengan cara membaca surat tersebut ketika shalat. Beliau banyak membaca dalam ruku dan sujudnya:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي[4]
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ فِي رُكُوعِهِ وَسُجُودِهِ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي يَتَأَوَّلُ الْقُرْآنَ
“Saat rukuk dan sujud Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperbanyak membaca do’a: ‘Subhanakallahumma robbana wa bi hamdika, Allahummagh firlii (Maha suci Engkau wahai Tuhan kami, segala puji bagi-Mu, Ya Allah ampunilah aku) ‘, sebagai pengamalan perintah Al Qur’an.” (HR. Bukhari no. 4968 dan Muslim no. 484. An Nawawi rahimahullah membawakan hadits ini dalam Bab “Bacaan ketika ruku’ dan sujud”)[5]
Riwayat yang menjelaskan penafsiran surat ini sebagai isyarat telah dekatnya ajal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hadits yang diriwayatkan Bukhari bahwa Ibnu Abbas berkata,
“Dahulu ‘Umar memasukkan diriku bersama orang-orang tua yang ikut serta dalam perang Badar. Sepertinya sebagian mereka kurang menyukai kehadiranku. Ada yang berkata: ‘Kenapa (anak) ini masuk bersama kita. Padahal kita juga punya anak-anak seperti dia?’
‘Umar menjawab, ‘Sungguh, kalian mengetahui (siapa dia),’ maka suatu hari ‘Umar radhiyallahu ‘anhu memanggilku dan memasukkanku bersama mereka. Tidaklah aku berpikir alasan beliau mengundangku, selain ingin memperlihatkan kapasitasku kepada mereka.
Beliau berkata (kepada orang-orang): ‘Apakah pendapat kalian tentang firman Allah: ‘Idza ja`a nashrullahi wal fath?’
Mereka menjawab, ‘Allah memerintahkan kami untuk memuji dan memohon ampunan kepada-Nya manakala pertolongan Allah telah tiba dan sudah menaklukkan (daerah-daerah) bagi kita.’ Sebagian orang terdiam (tidak menjawab). Kemudian ‘Umar radhiyallahu ‘anhu beralih kepadaku: ‘Apakah demikian pendapatmu, wahai Ibnu ‘Abbas?’
Aku menjawab, ‘Tidak!’ ‘Umar bertanya, ‘Apa pendapatmu?’
Aku menjawab, ‘Itu adalah (kabar tentang) ajal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukannya kepada beliau. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ‘Idza ja`a nashrullahi wal fath’. Dalam keadaan seperti itu terdapat tanda ajalmu, maka bertasbihlah dan mintalah ampunan kepada-Nya, sesungguhnya Dia Maha Menerima taubat.’
‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkomentar: ‘Tidaklah yang kuketahui darinya (surat itu), kecuali seperti apa yang engkau sampaikan’.
Tadabbur Ayat 1:
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.”
Kata nashr, artinya al ‘aun (pertolongan).[6] Yang dimaksud dengan nashrullah dalam ayat ini, menurut Ibnu Rajab rahimahullah ialah pertolongan-Nya bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat berhadapan dengan musuh-musuhnya, sehingga berhasil beliau menundukkan bangsa ‘Arab semuanya dan berkuasa atas mereka, termasuk atas suku Quraisy, Hawazin dan suku-suku lainnya.
Adapun pengertian al fathu pada surat ini adalah fathu Makkah. Yakni penaklukan kota suci Mekkah. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Katsir rahimahullah, Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath Thabari rahimahullah, Imam Ibnul Jauzi rahimahullah dan Imam al Qurthubi rahimahullah.[7]
Syaikh ‘Aidh Al-Qarni menjelaskan ayat ini sebagai berikut: “Apabila kemenangan dan kejayaanmu atas orang-orang kafir telah sempurna, apabila manusia telah berbondong-bondong mengikuti agamamu, apabila Allah telah memenangkan kamu dengan berbagai penaklukkan, apabila Dia telah membukakan setiap hati, pendengaran, dan penglihatan untuk mengikuti ajaranmu, dan apabila Dia menaklukkan kota Makkah dan kota-kota lainnya untukmu…”[8]
Tadabbur Ayat 2:
وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا
“…dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong…”
Peristiwa ini terjadi ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan futuh Makkah; berkatalah orang-orang Arab: “Jika Muhammad berhasil menang atas penduduk al-haram (kota suci Makkah), padahal sebelumnya Allah telah menyelamatkannya dari pasukan Gajah, maka berarti ia (Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, red.) berada di atas kebenaran, karenanya kamu tidak akan memiliki kekuatan untuk melawannya.” Maka mereka masuk ke dalam Islam berkelompok-kelompok dalam jumlah yang banyak, padahal sebelumnya mereka masuk ke dalam Islam satu orang-satu orang atau dua orang-dua orang, maka berdatanganlah kabilah-kabilah dengan bersegera masuk ke dalam Islam.[9]
Disebutkan dalam Shahihul Bukhari, dari ‘Amr bin Salimah, ia berkata:
وَكَانَتْ الْعَرَبُ تَلَوَّمُ بِإِسْلَامِهِمْ الْفَتْحَ فَيَقُولُونَ اتْرُكُوهُ وَقَوْمَهُ فَإِنَّهُ إِنْ ظَهَرَ عَلَيْهِمْ فَهُوَ نَبِيٌّ صَادِقٌ فَلَمَّا كَانَتْ وَقْعَةُ أَهْلِ الْفَتْحِ بَادَرَ كُلُّ قَوْمٍ بِإِسْلَامِهِمْ وَبَدَرَ أَبِي قَوْمِي بِإِسْلَامِهِمْ
“(Dahulu) bangsa Arab menunggu-nunggu al Fathu (penaklukan kota Mekah) untuk memeluk Islam. Mereka berkata: ‘Biarkanlah dia (Rasulullah) dan kaumnya. Jika beliau menang atas mereka, berarti ia memang seorang nabi yang jujur’. Ketika telah terjadi penaklukan kota Mekkah, setiap kaum bersegera memeluk Islam, dan ayahku menyegerakan keIslaman kaumnya.” (HR. Bukhari di dalam al Maghazi, 4302, dan lainnya.)
Tadabbur Ayat 3:
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
“…maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.”
Syaikh Ahmad Musthafa Al-Maraghi menjelaskan ayat ini sebagai berikut:
“Jika semuanya sudah nyata bagimu, maka sucikanlah dan agungkanlah nama Tuhanmu. Sebab Tuhanmu tidak akan sekali-kali membiarkan kebenaran dan memenangkan kebatilan. Tuhanmu Maha Suci dan tidak akan melanggar janji kepadamu. Karenanya Allah menjadikan perkataanmu berada di atas segalanya, dan perkataan orang-orang kafir berada di bawah. Allah telah menyempurnakan nikmatnya kepadamu, sekalipun kaum kafir membencinya.
Dan hendaknya mensucikan Allah itu dengan memuji-Nya atas nikmat-nikmat yang telah dilimpahkan kepadamu. Bersyukurlah kepada-Nya atas segala kebaikan yang telah dilimpahkan kepadamu, dan pujilah Allah dengan sifat-sifat yang wajib bagi-Nya. Sesungguhnya Allah itu Maha Kuasa, tidak ada yang mengalahkan-Nya; dan Allah Maha Bijaksana yang tidak akan menyia-nyiakan amal perbuatan yang baik.”[10]
*****
Mengenai perintah Allah Ta’ala kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umatnya dalam ayat ini, yaitu kalimat: وَاسْتَغْفِرْهُ (mohonlah ampun kepada-Nya), menurut Syaikh Ahmad Musthafa Al-Maraghi, adalah meminta ampun atas kekhawatiran dan keresahan, kesusahan dan keputusasaan yang mencekam mereka akibat ‘terlambatnya’ pertolongan Allah.[11]
Sebagaimana kita ketahui, ketika kaum mu’minin masih minoritas dan dalam keadaan kekurangan—sedang pihak musuh adalah mayoritas dan mempunyai kekuatan yang besar—kaum muslimin merasa khawatir dan gelisah. Rasulullah pun merasa sedih dan tampak dadanya sesak karena banyak kaumnya yang menolak ajakan dakwahnya; sekalipun yang dibawa Nabi adalah kebenaran yang nyata, lengkap dengan dalil-dalilnya. Kenyataan seperti diungkapkan di dalam Al-Qur’an,
فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَفْسَكَ عَلَى آثَارِهِمْ إِنْ لَمْ يُؤْمِنُوا بِهَذَا الْحَدِيثِ أَسَفًا
“Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Qur’an).” (QS. Al-Kahfi: 6)
فَلَعَلَّكَ تَارِكٌ بَعْضَ مَا يُوحَى إِلَيْكَ وَضَائِقٌ بِهِ صَدْرُكَ أَنْ يَقُولُوا لَوْلَا أُنْزِلَ عَلَيْهِ كَنْزٌ أَوْ جَاءَ مَعَهُ مَلَكٌ إِنَّمَا أَنْتَ نَذِيرٌ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ
“Maka boleh jadi kamu hendak meninggalkan sebahagian dari apa yang diwahyukan kepadamu dan sempit karenanya dadamu, karena khawatir bahwa mereka akan mengatakan: ‘Mengapa tidak diturunkan kepadanya perbendaharaan (kekayaan) atau datang bersama-sama dengan dia seorang malaikat?’ Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan dan Allah Pemelihara segala sesuatu.” (QS. Hud: 12)
قَدْ نَعْلَمُ إِنَّهُ لَيَحْزُنُكَ الَّذِي يَقُولُونَ فَإِنَّهُمْ لَا يُكَذِّبُونَكَ وَلَكِنَّ الظَّالِمِينَ بِآيَاتِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ
“Sesungguhnya Kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.” (QS. Al-An’am: 33)
Dalam situasi kahawatir dan mencekam seperti itu, Rasulullah menganggap datangnya pertolongan Allah itu terlambat. Bahkan beliau sampai lupa akan janji Allah yang sepenuhnya akan mendukung agama-Nya, seperti disebutkan dalam ayat:
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS. Al-Baqarah: 214)
Perasaan geliasah yang ada pada Nabi ini pada dasarnya bukan merupakan sikap tercela. Sebab, beliau adalah hamba Allah yang paling dekat dengan-Nya. Seperti perkataan ulama: “Hasanatul Abrar; Sayyi’atul Muqarrabin.” (Kebaikan-kebaikan yang dilakukan oleh orang-orang yang baik itu masih merupakan hal yang tercela bagi orang-orang yang dekat dengan Allah).
Dan memang, hal ini juga dirasakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika kembali mengoreksi dirinya sendiri dan melupakan problema yang dihadapinya. Karenanya, turunlah perintah Allah agar selalu minta maaf kepada-Nya atas keresahan dan kesusahan yang dialami ketika masa-masa menegangkan, hingga datangnya janji Allah yang akan memberikan kemenangan dan pertolongan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[12]
إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
Maksudnya, Allah Maha menerima taubat orang-orang yang bertasbih dan memohon ampunan. Dia mengampuni, merahmati mereka dan menerima taubat mereka. Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja yang sudah ma’shum (terpelihara dari dosa-dosa) diperintahkan untuk beristighfar, maka bagaimanakah dengan orang selainnya?[13]
Maraji:
Faidah Tafsir Surat An-Nashr, Muhammad Abduh Tuasikal
Tafsir Al-Marghi, Syaikh Ahmad Musthofa Al-Maraghi, Penerbit CV. Toha Putra Semarang.
Tafsir Juz ‘Amma (terjemah Indonesia), Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Al-Qowam Publishing Solo
Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 10), Pustaka Imam Syafi’i Jakarta.
Tafsir Muyassar, Aidh Al-Qarni, Qisthi Press
Tafsir Surat An-Nashr, Ustadz Muhammad Ashim bin Musthofa
Zubdatut Tafsir, Syaikh Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar, Darun Nafais Yordania
Catatan Kaki:
[1] Sedangkan matan hadits menurut riwayat Muslim No. 3024 sebagai berikut:
عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ قَالَ قَالَ لِي ابْنُ عَبَّاسٍ تَعْلَمُ ( وفي لفظ: تَدْرِي ) آخِرَ سُورَةٍ نَزَلَتْ مِنْ الْقُرْآنِ نَزَلَتْ جَمِيعًا قُلْتُ : نَعَمْ . إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ قَالَ صَدَقْتَ
Dari ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah, ia berkata : Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bertanya kepadaku: “Engkau tahu surat terakhir dari al Qur`an yang turun secara keseluruhan?” Ia menjawab: “Ya, idza ja`a nashrullahi wal fath”. Beliau menjawab: “Engkau benar”
[2] Lubabut Tafsir Min Ibni Ibni Katsir, hal. 381 (erjemah Indonesia: Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 10), Pustaka Imam Syafi’i Jakarta.
[3] Tafsir Al-Maraghi, hal. 436, Penerbit CV. Toha Putra Semarang.
[4] Diringkas dari Tafsir Juz ‘Amma (terjemah Indonesia), Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, hal. 194 – 195, Al-Qowam Publishing Solo
[5] Hadits dikutip dari: https://rumaysho.com/1004-faedah-tafsir-surat-an-nashr.html
[6] Dikutip oleh Ustadz Muhammad Ashim bin Musthofa dalam Tafsir Surat An-Nashr dari Al Jami li Ahkamil-Qur`an (20/211)
[7] Lihat: Tafsir Surat An-Nashr, Ust. Muhammad Ashim bin Musthofa.
[8] Tafsir Muyassar, Aidh Al-Qarni, hal. 672.
[9] Lihat: Zubdatut Tafsir, Syaikh Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar, hal. 603.
[10] Lihat: Terjemah Tafsir Al-Maraghi Juz 30, hal. 435.
[11] Lihat: Ibid.
[12] Ibid.
[13] Al-Jami Li Ahkamil Qur’an (20/215)