Oleh: Abu Jenan
Munculnya tasawwuf, yang diklaim sebagai jalan menuju ma’rifah (salah satunya) dilatarbelakangi oleh perdebatan-perdebatan teologis di abad ke-3 H antara kelompok tradisionalis yang cenderung tekstualis yang diwakili oleh Imam Ahmad dan kaum rasionalis yang diwakili oleh kaum mu’tazilah secara umum. Setelahnya, lahirlah kelompok ketiga yang diwakili oleh Imam Haris Al-Muhasibi dimana mereka mengandalkan mujahadah dan penyucian jiwa terus menerus serta bashirah (mata hati) untuk mencapai ma’rifah.
Baik kelompok pertama dan ketiga, mereka sama-sama sepakat bahwa akal semata-mata tidak mampu menemukan jawaban dari semua permasalahan-permasalahan (pertanyaan-pertanyaan) teologis yang rumit, terutama yang menyangkut dengan metafisika (ma wara-a at-thabi’ah), berbeda dengan klaim kaum mu’tazilah. Benar, bahwa indra dan akal adalah jalan menuju ma’rifah/pengetahuan dalam medan/wilayahnya, dan bashirah juga jalan menuju ma’rifah di wilayah yang tak bisa dicapai oleh indera dan logika. Hanya saja, kelompok yang ketiga ini dalam menjelaskan jalan mereka menuju ma’rifah berdasarkan bashirah berbeda dengan apa yang mainstream dikenal oleh kaum tradisionalis waktu itu, hingga kelompok yang ketiga ini akhirnya ditahdzir oleh Imam Ahmad radhiyallahu ‘anhu.
Setelah Haris Al-Muhasibi, kelompok yang ketiga ini diwakili dengan baik oleh Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali. Sejatinya, Al-Ghazali adalah seorang tradisionalis ditinjau dari kapasitas fiqihnya sebagaimana umumnya para fuqaha. Dan diwaktu yang sama Al-Ghazali adalah seorang rasionalis. Kitabnya, Tahafutul Falasifah cukup untuk menjelaskan seberapa rasional Al-Ghazali. Hingga kemudian, setelah pencarian panjang demi sebuah kebenaran diantara firqah-firqah yang mengklaim sebagai firqah najiyah (mulai dari para mutakallimin, filosof dan sekte bathiniyah/ta’limiyah), Al-Ghazali memutuskan untuk mengkaji tasawwuf dan menempuh jalannya serta meyakini bahwa itulah jalan menuju ma’rifah sebagaimana ia catat dalam salah satu karya terakhirnya, Al-Munqidh Min Ad-Dholal.
Sebuah pencarian, biasanya diawali oleh sebuah keraguan, bahkan keraguan yang sangat mendalam sebagaimana pernah menimpa Al-Ghazali. Keraguan ini, tentang dimana dan di kelompok mana hakikat kebenaran ‘bersemayam’ pernah dirasakan oleh banyak orang yang berjiwa merdeka, jiwa-jiwa yang menolak menerima sebuah keyakinan berdasarkan taklid semata, meskipun mayoritas manusia justru merasa nyaman dengan doktrin-doktrin yang mereka dapatkan, tanpa ingin dan merasa perlu untuk dengan berani mencari lebih jauh hakikat kebenaran dari setiap kelompok dengan jujur dan kritis.
Tahun 2000-an, ketika mendalami Al-Munqidh Min Ad-Dholal, saya pernah gamang memutuskan apakah harus mengikuti Imam Al-Ghazali (yang merupakan sosok mumpuni dan berpengalaman dalam meneliti dengan kritis) dan hasil pencariannya berupa menekuni jalan tasawwuf? Atau sebaiknya saya memulai pencarian dari awal sebagaimana Al-Ghazali mencari kebenaran diantara kelompok-kelompok yang mendaku kebenaran? Tapi masalahnya, pencarian sendiri itu pasti membutuhkan waktu yang panjang dan kapasitas saya teramat jauh dari Al-Ghazali untuk memulai sendiri dari awal.
Belajar dan tumbuh dari lingkungan yang secara umum memandang negatif terhadap pemikiran Ibnu Taimiyah cs, saat itu saya sedikit merasa aneh ketika menemukan beberapa tokoh semisal Imam As-Suyuthi, Ibnu Katsir dan Ad-Zahabi dan lain-lain (yang dianggap sebagai ulama Syafi’iyah) bersikap lebih inshof kepada Ibnu Taimiyah cs. Waktu itu, saya juga tertarik dengan gerakan Islam dan tokoh-tokohnya. Lalu kemudian seorang teman mengajak saya untuk melakukan suluk/khalwat atau kaluet dengan dialek Aceh, mengambil tarekat selama 40 hari yang tepatnya dimulai 10 hari sebelum bulan Ramadhan. Setelah mempertimbangkan beberapa hal, akhirnya saya mengiyakan ajakannya.
Mursyid tarekat ini adalah kakek dari guru saya di pesantren, umurnya (seingat saya waktu itu) sudah melebihi 100 tahun, namun giginya masih utuh. Beliau punya beberapa pendapat unik yang berbeda dengan banyak ulama di Aceh waktu itu. Diantaranya adalah beliau mengharamkan rokok dan mengharamkan menggunakan microphone untuk azan dan khutbah Jum’at di mesjid beliau. Meskipun demikian, beliau tetap dihormati oleh ulama-ulama Aceh waktu itu. Saya ingat, saat beliau wafat, setidaknya Abu Kuta Krueng dan Abu Caleu hadir untuk menyolatkan jenazah beliau.
Dari hasil bacaan saya terhadap beberapa kitab tasawwuf, saya sedikit memahami beberapa hal terkait dengan tarekat seperti bahwa suluk berupa mujahadah, riyadhatun nafs dan penyucian jiwa yang benar adalah jalan berat yang tidak mungkin ditempuh kecuali oleh sekelompok kecil manusia. Untuk menjadi seorang salik yang benar haruslah memiliki beberapa syarat yang sulit terdapat pada masyarakat umum. Seorang salik harus melewati apa yang disebut dengan al-maqamat atau beberapa derajat dimana dia kemudian secara berjenjang naik ke derajat selanjutnya. Misalnya dari derajat taubat ke derajat wara’ lalu ke derajat zuhud dan seterusnya hingga sampai ke derajat mahabbah dan ridha.
Menempuh jalan tasawwuf tidak cukup dengan sekedar datang ke Syeikh tertentu dan diijazahi tarekat zikir lalu si mutasawwif rasm langsung memulai zikirnya dan mencukupkan dengan istighfar beberapa kali. Sekedar beristigfar berbeda dengan tobat yang merupakan Maqam pertama dari maqomat tasawwuf. Seorang salik harus menghiasi dirinya dan istiqomah dengan ibadah-ibadah lahir dan batin seperti (misalnya) yang telah Imam Ghazali sebutkan dalam Bidayatul Hidayah. Karenanya, Almarhum Al-Arif Billah Syeikh Abdul Halim Mahmud (yang dianggap sebagai Al-Ghazali Mesir di era modern) mengakui bahwa tasawwuf adalah aristokrasi.
Sebagaimana seorang salik punya syarat tertentu, seorang syeikh/mursyid juga punya syarat tertentu. Diantaranya adalah seorang mursyid harus pernah menempuh jalan tasawwuf dan bermujahadah melewati setiap tahapan al-maqomat hingga sampai pada al-ahwal. Sebab seorang mursyid adalah pembimbing bagi murid yang bisa jadi di tengah jalan akan menemukan hal-hal yang merusak hatinya bahkan akidahnya. Disini, sang mursyid harus benar-benar menjadi pembimbing yang baik. Dan tak mungkin menjadi pembimbing yang baik kecuali sang mursyid sebelumnya pernah bermujahadah melewati semua al-maqomat.
Seorang Mursyid juga harus punya silsilah yang benar, bahkan silsilah ini adalah salah satu inti dari tasawwuf dimana dengan ta’tsir ar-ruhi (keberkahan) silsilah tersebutlah zikir sebuah tarekat berbeda dengan zikir-zikir lain. Kalau bukan karena berkah dan silsilah yang benar ini, berzikir dengan zikir ma’tsur yang sudah disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits yang shoheh harusnya lebih utama untuk diikuti dan diamalkan. Karena lebih cocok untuk orang awam yang sehari-harinya sibuk dengan kegiatannya mencari penghidupan.
Singkat cerita, disuatu malam, kami dibai’at satu persatu dengan bai’at tertentu dan diberikan sebuah buku tulisan tangan yang diphotocopy sebai ijazah tarekat dan panduan zikir lengkap dengan doa rabithahnya. Di mukadimah buku tersebut dijelaskan bahwa seorang syeikh/mursyid ibarat seorang dokter yang meramu obat-obatan untuk seorang salik/pasien. Jika seorang syeikh tidak paham dengan dunia tasawwuf dan tidak pernah mengalami sendiri bagaimana melewati al-maqomat dan al-ahwal maka sama saja dia dengan membinasakan pasien/si salik. Karenanya, dalam dunia tasawwuf populer ungkapan: “Man La Syeikha Lahu, Fassyaithanu Syeikhuhu,orang yang tidak punya guru maka setanlah gurunya”. Dikemudian hari ungkapan ini digunakan juga diluar dunia tasawwuf untuk menyerang orang-orang yang belajar otodidak tanpa melalui guru.
Uniknya, malam itu, selain membaiat kami untuk mengikuti tarekat tersebut, sang mursyid juga memberikan ijazah tarekat tersebut kepada cucunya yang merupakan guru kami. Bahkan beliau memberikan ijazah kepada cucunya untuk mengijazahkan tarekat tersebut kepada orang lain, padahal sebelumnya sang cucu tidak pernah ‘bersuluk’ bahkan tidak ‘bersuluk’ bersama kami di Ramadhan tahun itu. Bagi saya, ini adalah sebuah keganjilan yang justru bertentangan dengan isi kitab/buku ijazah tarekat yang justru diberikan kepada kami. Orang mungkin akan berkata bahwa bisa jadi kita su’udzon dan belum paham serta belum sampai pada maqom sang mursyid yang mengetahui apa yang tidak kita diketahui. Namun bagi saya ini tetaplah sebuah keganjilan.
Kami bertiga kemudian suluk 40 hari di sebuah bangunan kurang lebih 10 x10 meter yang didalamnya terdapat kuburan seorang ulama yang namanya tercatat dalam silsilah tarekat tersebut. Selama 40 hari disana, kami tidak pernah berbicara dan melihat seorangpun, yang keluar dari mulut hanya zikir dan semacamnya. Kalau butuh sesuatu kepada teman biasanya kami akan menulis di secarik kertas dan memberikannya ke teman tersebut atau kepada beberapa anak-anak yang diminta untuk melayani kebutuhan kami. Jika shalat Jum’at, kami jalan kaki kurang lebih sejauh 2 km dengan mata menunduk ke tanah dan kain putih yang menutupi kepala dan muka. Pernah salah seorang teman saya tidak pergi ke mesjid untuk sholat Jum’at dengan alasan meninggalkan Jumat dibolehkan di zaman uzlah ketika zaman sudah rusak. Saya sendiri melihat tidak ada uzur yang membolehkan saya untuk meninggalkan sholat Jumat berjamaah.
Secara umum, saya ‘menerima’ dan ‘memaklumi’ tarekat tersebut kecuali doa rabithah/tawassulnya yang saya ingat sampai hari ini. Bunyinya, “Ya Ayyuhal Masyaikh…! Unshuruny ‘ala tho’atillah/wahai para masyeikh tolonglah kami untuk ta’at kepada Allah”. Andai khitob doa rabithah dan tawassulnya adalah kepada Allah dan dengan jah/berkah Rasulullah serta Masyaikh, waktu itu saya mungkin akan menerimanya. Akan tetapi khitob yang ditujukan kepada masyaikh tersebut kurang membuat saya tenang. Saya membuka kembali Syarah Arba’in Nawawi karangan Ibnu Daqiqil ‘Id tepatnya di penjelasan hadis “Idza ista’anta fasta’in billlah, dst” dan hati saya kemudian memilih untuk tidak membaca doa rabithah dengan lafal tersebut. Wallahu A’lam apakah sikap tersebut dianggap sebagai sikap angkuh yang tidak sami’na wa atho’na kepada mursyid, yang jelas saya tidak membacanya dan saya tidak juga mensyirikkan orang yang membacanya dan memang tidak berniat menghakimi orang lain. Tujuan saya hanya ingin menjelaskan sikap dan pengalaman saya. Selama 40 hari suluk tersebut kami tidak pernah ditanyakan tentang apa yang kami alami bahkan pertemuan malam bai’at menjadi pertemuan terakhir saya dengan sang mursyid sebelum beliau dipanggil Allah SWT. Rahimahullah.
Pasca suluk tersebut, saya memperhatikan baberapa mursyid tarekat banyak yang memberikan ijazah tarekat/zikir kepada orang awam. Terlepas antara boleh dan tidak, saya menganggapnya sebagai sebuah pergeseran makna dan orientasi. Tarekat yang sebelumnya adalah jalan untuk orang-orang khusus yang ingin menggapai ma’rifah kini justru dimasuki oleh orang yang sangat awam, termasuk nenek saya sendiri. Banyak para mursyid (tanpa menggeneralisasi) yang menjadikan anaknya atau keluarganya sebagai Khalifah Mursyid sebuah tarekat meskipun sang anak tersebut belum melakukan mujahadah dan melewati al-maqomat dan al-ahwal. Seolah tarekat adalah sebuah warisan.
Ala Kulli hal, tasawwuf yang berdasarkan Qur’an dan Sunnah adalah salah satu jalan yang benar, hal ini bahkan diakui oleh Ibnu Taimiyah cs. Sejatinya, tidak ada kontradiksi antara salafi dan sufisme. Bisa saja seorang ulama adalah salafi dan diwaktu yang sama ia adalah seorang sufi sebagaimana halnya Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dan Abu Ismail Al-Harawi dll. Jika Imam Ghazali (dalam Ihya-nya) dan Syeikh Al-Buthi dalam beberapa karya dan ceramahnya banyak mengkritik mutasawwif palsu dan mursyid palsu, maka sudah seharusnya kita juga berhati-hati dalam mengambil tarekat dari orang-orang yang justru memperburuk citra tasawwuf.
Wallahu A’lam.