Ja’far Al-Mutawakil Alallah bin Al-Mu’tashim bin Ar-Rasyid. Lahir pada bulan Syawal tahun 206 H / Maret 822 M di Fam Ash-Shulh. Ibunya adalah seorang ummu walad dari Khawarizm bernama Syuja’.
Al-Mutawakil dibai’at menjadi khalifah setelah saudaranya, Al-Watsiq, wafat pada 24 Dzulhijjah 232 H/13 Agustus 847 M.
Masa kekhalifahan Al-Mutawakil berlangsung 14 tahun hingga ia wafat pada 4 Syawal 247 H / 14 Desember 861 M.
Sifat dan Perilaku Al-Mutawakil
Tidak seperti khalifah-khalifah sebelumnya, Al-Mutawakil tidak menyukai pemikiran dan debat. Ia cenderung bertaklid. Pada masa awal pemerintahannya ia menghentikan pemikiran, diskusi, dan debat. Bahkan disebutkan bahwa ia pernah mengganti pejabat yang memiliki pemahaman jahmiyah.[1]
Khalifah Al-Mutawakil tidak suka mempekerjakan ahlu dzimah dalam urusan administrasi. Pada tahun 235 H/849 M ia memerintahkan agar ahlu dzimah memakai pakaian khusus dan melarangnya menjadi pegawai administratif dan ikut belajar di madrasah-madrasah kaum muslimin.
Pemerintahan pada Masanya
- Abdurrahman bin Al-Hakam (206-238 H/821-852 M) di Andalusia kemudian putranya, Muhammad (852-896 M).
- Muhammad bin Ali bin Idris II (221-242 H/836-856 M) dari Daulah Adarisah di Maghrib, kemudian putranya Ahmad bin Muhammad bin Al-Aghlab (242-249 H/856-863 M)
- Muhammad bin Abdillah bin Abdillah bin Thahir (230-248 H/844-862 M) dari keluarga Thahir di Khurasan
- Michael III (842-867 M) dari Konstantinopel
- Charles (840-877 M) dari Perancis
Para Menteri Al-Mutawakil
Muhammad bin Abdul Malik Az-Zayyat
Ia telah menjadi menteri sejak masa Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq. Pada 233 H/848 M, Az-Zayyat ditangkap dan disita harta kekayaannya sejumlah 90.000 dinar. Hal ini karena dendam Al-Mutawakil kepadanya.
Lima bulan setelah itu ditangkap pula Umar bin Faraj Ar-Rakhaji yang merupakan Sekretaris dari Az-Zayyat, juga ditangkap saudaranya, Muhammad bin Faraj serta disita hartanya sejumlah 274.000 dinar dan 1.500 dirham. Setelah itu disepakati perdamaian dengan syarat ia membayar 10 juta dirham.
Abu Al-Wazir Ahmad bin Khalid
Pada masa Al-Watsiq ia bekerja bersama Umar bin Faraj Ar-Rakhaji. Ia tidak lama menjabat menteri, pada Dzulhijjah 233 H/Juli 848 M, ia ditangkap dan disita hartanya yang terdiri dari 60.000 dinar.
Muhammad Al-Fadhl Al-Jarjarai
Ia menjadi menteri hingga tahun 236 H/851 M. Hal ini karena Al-Mutawakil berkata, “Aku bosan dari orang-orang tua, dan aku ingin pemuda yang aku jadikan menteri.”
Ubaidullah bin Yahya bin Khaqan
Ia menjadi menteri hingga akhir hayatnya. Pada masanya, tepatnya pada 245 H/859 M, terjadi peristiwa yang menunjukkan perangai korup para pejabat pada masa itu. Ia melindungi Musa bin Abdul Malik dan Al-Hasan bin Mukhlad dari ‘ancaman’ Najah bin Salamah (Ketua Badan Pengawas Para Pejabat)
Suap Menyuap
Perkara paling aneh yang terjadi pada masa kekhalifahan Al-Mutawakil adalah terjadinya seorang pejabat yang merupakan kerabat khalifah harus menyuap petugas administrasi agar gajinya dicairkan. Karena itulah para pejabat administratif bisa hidup makmur.
Para pejabat saat itu ‘saling menjaga’, mereka sama-sama tahu kekayaan, tanah, dan harta benda yang mereka korupsi.
Putra Mahkota
Pada 27 Dzulhijjah 235 H/15 Juli 850 M, Al-Mutawakil melimpahkan kekuasaannya kepada ketiga putranya: Muhammad Al-Muntashir, Muhammad Al-Mu’taz, dan Ibrahim Al-Mu’ayyad. Al-Mutawakil membagi-bagi wilayah kekuasaannya kepada ketiga putranya itu.
Pemberontakan
Pada masa Al-Mutawakil terjadi beberapa pemberontakan yang berhasil dipadamkan:
- Pemberontakan Muhammad bin Al-Baits bin Jalis, yang mendasarinya adalah terjadinya kesengsaraan pada sebagaian masyarakat.
- Pemberontakan di Armenia yang dilakukan oleh Baqrath bin Asyuth (237 H/851 M)
Nasib Kaum Alawiyin
Al-Mutawakil berbeda dengan keluarganya dalam hal bersikap kepada Ali bin Abi Thalib dan Ahlul Bait. Ia berpaham Nashibi, paham yang bertolak belakang dengan Syi’ah. Orang yang mendukung Ali dan keluarganya pasti akan dihukumnya dengan cara dirampas hartanya atau dibunuhnya.
Al-Mutawakil membenci khalifah sebelumnya seperti Al-Makmun, Al-Mu’tashim, dan Al-Watsiq karena mereka mencintai Ali bin Abi Thalib dan keluarganya.
Menghancurkan Makam Al-Husain bin Ali
Pada tahun 237 H/851 M, Al-Mutawakil memerintahkan penghancuran makam Al-Husain bin Ali di Karbala. Rumah-rumah dan bangunan di sekitar makam diratakan, lalu dijadikan lahan pertanian. Orang-orang dilarang mendatanginya.
Perlakuan terhadap Imam Syi’ah Abul Hasan Ali[2]
Abu Hasan Ali dilaporkan kepada Al-Mutawakil. Ia didatangkan dari Madinah ke Samara (Al-Askar), dan tinggal disana selama 20 tahun, sehingga ia dijuluki Al-Askari. Ia memang sering dilaporkan kepada Al-Mutawakil dengan berbagai tuduhan, tapi tidak terbukti. Khalifah Al-Mutawakil memberinya 4.000 dinar yang digunakan untuk membayar hutang-hutangnya dan mengembalikan ke rumahnya dengan terhormat.
Konflik dengan Romawi
Pada tahun 238 H/852 M pasukan Romawi menyerang Mesir dari arah Dimyath. Kaum muslimin membalasnya di wilayah-wilayah Romawi yang berbatasan dengan daulah Islam.
Tahun 241 H/855 M terjadi pertukaran tawanan.
Tahun 242 H/856 M pasukan Romawi mendekati wilayah Amid dan keluar dari perbatasan Al-Jazariyah. Mereka melakukan perampasan di berbagai desa dan menawan penduduk
Pada bulan Rabi’ul Awwal 244 H/Juni 858 M, Al-Mutawakil memerintahkan Bugha yang berada di Damaskus agar melakukan penyerangan terhadap Romawi. Ia berhasil menaklukkan Shamlah.
Tahun 246 H/860 M terjadi pertukaran tawanan kembali.
Tumbuhnya Daulah Ya’fariyah
Di akhir masa pemerintahan Khalifah Al-Mutawakil, tahun 247 H/861 M, Daulah Ya’fariyah di Shana’a mulai tumbuh. Didirikan oleh Ya’far bin Abdurrahim. Abdurrahim adalah wakil dari Ja’far bin Sulaiman bin Ali Al-Hasyimi (Gubernur Al-Mu’tashim untuk wilayah Yaman, Nejed, dan Shan’a).
Tentara Pada Masa Al-Mutawakil
Al-Mutawakil tidak menyukai dominasi orang-orang Turki yang menurutnya sudah semakin jauh masuk ke urusan-urusan khalafah dan pasukannya.
Al-Mutawakil memulainya dari Itakh, pemimpin pasukan Magharibah. Diatur konspirasi sehingga ia pergi haji, sepulang dari haji ketika sampai di Irak, ia disekap di sebuah rumah. Kedua anaknya pun Manshur dan Muzhaffar, dua sekretarisnya, Sulaiman bin Wahab dan Qudamah bin Ziyad dipenjara.
Berniat Memindahkan Ibu Kota
Ketidaksukaan Al-Mutawakil kepada pasukan non Arab, menyebabkannya tidak suka pula pada Kota Samara. Pada tahun 243 H/ 857 M, ia berniat memindahkan ibu kota khilafah ke Damaskus. Hal ini mengundang reaksi orang-orang Turki yang mengira Al-Mutawakil ingin meminta bantuan orang-orang Arab dalam menyingkirkan mereka.
Setelah beberapa saat tinggal di Damaskus, Al-Mutawakil merasa tidak cocok dengan udara Damaskus yang dingin dan sulit mendapatkan air. Angin kencang bertiup pada waktu Ashar, salju-salju mengganggu pejalan kaki. Maka ia kembali lagi ke Samara.
Pembangunan Al-Makhurah
Tahun 245 H/859 M, Al-Mutawakil memerintahkan pembangunan kota Al-Makhurah yang ia namakan Al-Ja’fari. Istana Al-Mukhtar dan Al-Badi’ di Samara dirobohkan, lalu kayu-kayunya dibawa ke Al-Ja’fari.
Biaya pembangunan kota ini menghabiskan dana 2 juta dinar, dan tidak sempat rampung karena wafatnya Al-Mutawakil.
Pembunuhan Terhadap Al-Mutawakil
Para pembesar orang-orang Turki tidak tenang dengan keberadaan Al-Mutawakil. Menteri Al-Mutawakkil, Ubaidillah bin Khaqan dan Al-Fath bin Khaqan tidak mendukung Al-Muntashir sebagai putra mahkota dan lebih cenderung mendukung Al-Mu’taz. Sementara orang-orang Turki condong kepada Al-Muntashir.
Terungkap bahwa Al-Mutawakkil cenderung menuruti Ubaidillah dan Al-Fath yang memilih Al-Mu’taz, anak dari istri kesayangannya, Qabihah, dan berencana menyingkirkan Al-Muntashir serta membunuh para pemimpin Turki: Washif, Bugha, dan yang lainnya.
Maka, para panglima Turki sepakat melakukan pembunuhan terhadap Al-Mutawakil. Pelaksanaannya dipimpin oleh Bugha As-Shaghir yang dikenal dengan panggilan As-Syarabi. Ia ditemani 10 orang pasukan, memasuki istana dengan pedang-pedang terhunus. Saat itu konon Al-Mutawakil dalam keadaan mabuk, lalu salah seorang dari mereka menebasnya dan diikuti yang lainnya. Al-Fath bin Al-Khaqan yang menemani Al-Mutawakil ikut terbunuh. Peristiwa ini terjadi pada 4 Syawal 247 H/14 Desember 861 M
Catatan Kaki:
[1] Mazhab aqidah yang disandarkan kepada Jahm bin Shafwan. Dalam hal asma wa shifat mereka berfaham ta’thil (mengingkari adanya asma wa sifat bagi Allah). Dalam hal perbuatan manusia mereka berfaham Jabr (Jabariyah/fatalis). Dalam hal dosa dan iman mereka berfaham Irja’ (murji’ah), bahwa bagi mereka pelaku dosa besar tetaplah sempurna imannya, dan tidak berhak dimasukkan ke dalam neraka.
[2] Lengkapnya: Abu Hasan Ali Al-Hadi bin Muhammad Al-Jawad bin Ali Ridha bin Musa Al-Kazhim bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib.