Dunia Barat era modern memiliki serpihan wajah ekstrem anti-Tuhan dan agama. Tren ini merupakan untaian akibat dari agama Kristen yang begitu hegemonik pada Abad Pertengahan. Ketika Era Pencerahan datang pada abad ke-17, lahirlah humanisme sekuler yang bernafsu besar mengakhiri era teisme dengan ateisme serta menggeser agama dengan agnotisme. Tren ini telah menyebar dan berkembang, bahkan kini telah sampai di negeri-negeri muslim.
“Bagi orang-orang Barat, agama punya dosa. Banyak praktek-praktek manipulasi atas nama Tuhan dan agama. Lalu juga agama tidak memberikan perspektif baru untuk hidup di Zaman Baru. Nah, ternyata arus ini terus hidup di negara-negara muslim yang pandangan tauhidnya tidak bisa mencegah pandangan ateisme dan agnotisme,” terang Haedar Nashir dalam acara pembukaan Musyawarah Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur pada Sabtu (27/08).
Tren pemikiran agonistitisme dan ateisme telah masuk pada pemuda-pemuda muslim di Timur Tengah. Haedar menyinggung fenomena seorang pria Palestina bernama Waleed al-Husseini yang akun facebooknya diberi nama “Ana Allah”, yang artinya Saya Allah. Di akunnya ini, Waleed menulis sejumlah opini satir, dari membuat lelucon kelakuan orang-orang beragama hingga berani memparodikan Tuhan, agama, para nabi, dan Kitab Suci.
“Saya pikir pencegahan Timur Tengah melalui facebooknya Waleed al Husseini tentang gerakan ateisme di Timur Tengah, seorang warga Palestina itu suatu contoh bahwa aliran ateisme telah masuk ke negara-negara muslim,” ucap Haedar.
Selain di Timur Tengah, tren pemikiran agonistitisme dan ateisme juga telah masuk Tanah Air. Menurut Haedar, pada awal reformasi sekitar satu persen secara terbuka menyatakan anti Tuhan. Hingga Januari 2014, terdapat 961 orang yang mengaku ateis di negeri ini, yang terdaftar dalam Atheist Alliance International. Jumlah ini nampaknya terus mengalami penambahan setiap tahunnya.
Menyikapi fenomena ini, kata Haedar, tidak bisa bila masih menggunakan cara-cara lama. Cara paling tepat mengantisipasi tren agnotisme dan ateisme sesungguhnya telah dirumuskan dalam dokumen Keputusan Muktamar Seabad Muhammadiyah tahun 2010. Di sana tertulis bahwa Umat Islam dalam berhadapan dengan berbagai permasalahan dan tantangan kehidupan yang kompleks dituntut untuk melakukan perubahan strategi dari perjuangan melawan sesuatu (al-jihad li-al-muaradhah) kepada perjuangan menghadapi sesuatu (al-jihad li-al-Muwajahah) dalam wujud memberikan jawaban-jawaban alternatif yang terbaik untuk mewujudkan kehidupan yang lebih utama.
“Apa yang ada dalam perspektif Islam Berkemajuan pada Muktamar 2010 bahwa strategi perjuangannya adalah mengubah pendekatan lil muaradhah pada lil muwajahah dari yang serba menentang konfrontasi anti ini dan itu menjadi menghadapi dengan cara konstruktif dan alternatif,” terang Haedar.
Karenanya, jika Muhammadiyah mampu menekan penetrasi agama Kristen di Indonesia dengan menghadirkan peradaban tandingan, maka menghadapi arus pemikiran agnotisme, ateisme, liberalisme dan lain sebagainya tidak cukup membuktikan mereka salah, tapi juga dilakukan dengan kerja-kerja peradaban sambil berlomba-lomba dalam menebar manfaat bagi kemanusiaan semesta. Dengan cara ini, kewibawaan Islam akan terbangun karena lebih memilih berjuang di ranah sosial-kemanusiaan yang menghadirkan solusi nyata bagi kehidupan bukan pada wilayah konfrontasi membabi-buta yang merusak tenun perdamaian.
“Jadi menghadapi agnotisme, ateisme, sekularisme, liberalisme, tidak cukup hanya dengan bahwa itu salah, tetapi kita memberi tahu bahwa Islam itu melampaui, beyond. Jika itu yang dilakukan maka bisa shalihul likulli zaman wal makan dan itukan etos pembaharuan. Muhammadiyah paling siap sebenarnya jadi kita menampilkan alternatif, maka para mubaligh saya pikir juga perguruan tinggi perlu membantu agar konstruksi ini terus dibangun,” ajak Haedar.