Al-Muqtadir Billah, Abu Fadhl. Nama aslinya Ja’far bin Al-Mu’tadhid. Ia lahir pada bulan Ramadhan 282 H/895 M. Diceritakan, ibunya berasal dari keturunan Romawi. Ada pula yang mengatakan ibunya dari keturunan Turki. Tentang nama ibunya, para ahli sejarah juga berbeda pendapat. Ada yang mengatakan namanya Gharib. Ada juga yang mengatakan namanya Syaghab.
Saat kakaknya Al-Muktafi sakit parah, dia ditanya apakah sudah baligh atau belum. Menurutnya, ia sudah baligh karena pernah bermimpi junub. Karena itu ia pun diangkat sebagai putra mahkota.
Al-Muqtadir adalah khalifah termuda. Belum pernah ada seorang khalifah yang diangkat sebelumnya yang lebih muda darinya. Ia mulai memerintah sebagai khalifah sejak usia 13 tahun, yakni sejak 12 Dzulqa’dah 295 H / 17 Agustus 908 M sampai 28 Syawal 320 H/5 Nopember 932 H.
Pemerintahan Semasa
- Andalusia: Abdullah bin Muhammad (300 H/912 M), diteruskan Abdurrahman An-Nashir (w 350 H/961 M)
- Ifriqiya: Ubaidillah Al-Mahdi (297-322 H/909-934 M), Khalifah pertama Dinasti Fathimiyah.
- Romawi: Leon VI, kemudian saudaranya Alexander (911-912 M), kemudian Konstantin VII putra Leon VI, lalu Romans I dari Armenia yang merebut kekuasaan pada 919 M.
- Perancis: Charl III, kemudian Robert I (922-923 M), lalu Raul (923-962 M)
- Khurasan dan Transoxiana: Ahmad bin Ismail bin Ahmad As-Samani.
Upaya Pemakzulan Al-Muqtadir
Salah seorang menterinya yang bernama Abbas bin Hasan menganggapnya masih terlalu muda. Sang menteri berniat menurunkannya dari kursi kerajaan. Beberapa orang lainnya setuju dengan rencana itu. Mereka mempersiapkan Abdullah bin al-Mu’taz sebagai pengganti. Abdullah setuju dengan syarat peralihan kekuasaan itu berjalan damai.
Rencana tersebut sampai ke telinga Al-Muqtadir. Ia segera membujuk Abbas dan memberinya sejumlah uang agar tak meneruskan rencana itu. Akhirnya Abbas setuju dan menarik keinginannya. Sedangkan yang lain tetap saja melakukan pemakzulan. Mereka menyerang Al-Muqtadir pada 20 Rabiul Awwal 296 H/22 Desember 908 M.
Al-Muqtadir sendiri menangkap para fuqaha dan pemimpin yang menyatakan pencopotan dirinya. Kemudian diserahkan kepada Yunus bin Al-Khazin yang kemudian hampir membunuh semuanya. Hanya empat orang yang tidak dibunuh. Di antaranya adalah hakim Abu Umar. Abdullah bin Mu’taz sendiri dipenjarakan. Kemudian dia dikeluarkan dari penjara dalam keadaan menjadi mayat.
Kebijakan Al-Muqtadir Pada 296 H/908 M
Al-Muqtadir memerintahkan agar tidak memasukkan orang-orang Nashrani dan Yahudi dalam pemerintahannya, juga melarang untuk menggunakan kuda yang berpelana.
Terlepasnya Wilayah Maghribi
Ubaidillah Al-Mahdi mendapatkan simpati dari penduduk Maghrib dan mengangkatnya menjadi pemimpin. Sedangkan gubernur Afrika, Ziyadatullah bin al-Aghlab, segera melarikan diri ke Mesir kemudian menuju Irak. Sejak saat itulah Maghrib secara resmi keluar dari kekuasaan Bani Abbas. Peristiwa ini terjadi pada 296 H/908 M
Ali bin Isa
Pada 10 Muharam 301 H/20 Agustus 913 M, Ali bin Isa diangkat menjadi Menteri.Saat itu ia menemukan ketidakrapihan administrasi negara dimana kebijakan-kebijakan dikendalikan oleh Menteri sebelumnya, Muhammad bin Ubaidillah Khaqan, dengan mengatasnamakan khalifah. Ubaidillah dan para istri khalifah serta para pembatunya menjadi penentu kebijakan-kebijakan.
Ia berupaya melakukan efisiensi belanja negara, dimana hal ini menyebabkan beberapa pihak merasa terganggu dan berusaha mengadu domba antara dirinya dengan khalifah.
Ali bin Isa menghapus pajak di Makkah, Persia, Ahwaz, benteng Mahdi, dan sungai Sidra yang seharusnya dibayarkan ke negara. Ia mengembalikannya kepada rakyat. Ia pun mendorong khalifah agar mewakafkan barang-barang produktif sehingga menghasilkan laba.
Saat penduduk Makkah kekurangan air, ia membeli onta dan keledai dan mewakafkannya sebagai pengangkut air dari Jeddah ke Makkah. Digali pula sumur dan dibeli pula mata air sehingga air bagi penduduk melimpah.
Penangkapan Al-Hallaj pada Pada 301 H/913 M
Husain bin Manshur Al-Hallaj mengajarkan aqidah hulul dan ittihad (keyakinan tentang bersatunya Allah dengan makhluk-Nya). Ibnu Hauqal menuliskan, Al-Hallaj muncul dari Persia. Dia mendalami ibadah dan thariqat sufi. Fase demi fase ia alami, sampai akhirnya ia berpandangan: “Siapa saja yang membina raganya dalam ketaatan kepada Allah, menyibukkan hatinya dengan amalan-amalan, bersabar dari kenikmatan-kenikmatan, menahan diri dari syahwat, maka ia akan melaju ke tingkat kesucian, hingga dirinya akan lepas dari unsur kemanusiaannya. Bila ia telah suci, maka ruh Allah yang dulu masuk ke Isa akan menyatu pada dirinya, hingga ia pun menjadi manusia yang ditaati, mampu berkata kepada sesuatu, ‘jadilah’, maka terjadilah (kun fayakun).”
‘Amr bin ‘Ustman al Makki (salah satu guru Al-Hallaj) telah menyatakan bahwa al Hallaj seorang kafir. Ia menceritakan: “Aku pernah bersamanya. Ia pun mendengar seseorang sedang membaca Al Qur’an, maka ia berkomentar, ‘aku bisa mengarang (tulisan) seperti Al Qur’an’ , atau perkataan yang mirip dengan ini.”
Dia juga pernah menuliskan sebuah surat, yang ia awali dengan Minar-Rahmanir-Rahim, ila Fulan ibni Fulan (Dari Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang untuk Fulan bin Fulan).
Kabar yang tersiar, ia sanggup menghidupkan orang-orang yang sudah mati, jin menjadi pelayannya dan menyediakan apa saja yang diinginkan al Hallaj. Bahkan seseorang yang bernama Muhammad bin ‘Ali al Qana-i al Katib menyembahnya. Orang ini pun ditangkap di rumahnya dan mengaku termasuk pengikut al Hallaj. Di dalam rumahnya, dijumpai tulisan-tulisan al Hallaj yang dibuat dengan kemasan yang mewah, ditemukan pula barang-barang al Hallaj, termasuk juga kotorannya.
Al Hallaj dihadapkan kepada Qadhi Abu ‘Umar Muhammad bin Yusuf. Sebuah kitab karya al Hallaj, yang diambil dari salah satu rumah pengikutnya memuat pernyataan: “Siapa saja yang terlewatkan ibadah haji, hendaknya ia membangun rumah dan melakukan thawaf di sekelilingnya, sebagaimana Ka’bah, disertai bersedekah untuk 30 anak yatim dengan sedekah. Sungguh perbuatan ini telah mewakili kewajiban haji.”
Orang-orang bertanya tentang pendapatnya ini: “Dari mana engkau memperoleh pernyataan ini?” Al Hallaj menjawab: “Dari Hasanul Bashri dalam Kitabush-Shalah,” maka Qadhi Abu ‘Umar menampiknya: “Engkau berdusta, wahai zindiq! Aku telah membaca kitab itu dan (pernyataan yang kau sampaikan) tidak ada di sana.”
Al Muqtadir memerintahkan kepada kepala syurthah (kepolisian), Muhammad bin ‘Abdish-Shamad, agar mencambuk Al-Halaj seribu kali. Jika belum mati juga, maka dipenggal lehernya. Eksekusi itu dilaksanakan hari Selasa tanggal 24 Dzul Qa’dah 309 H/31 Maret 922 M.
Serangan Al-Mahdi ke Mesir
Pada tahun 301 H/913 M, Ubaidillah al-Mahdi al-Fathimi bermaksud menyerang Mesir dengan membawa tentara sebanyak 40 ribu orang dari orang-orang Barbar. Namun dia terhadang oleh meluapnya sungai Nil. Hingga akhirnya dia menuju Iskandariyah dan melakukan pengrusakan serta pembunuhan.
Pada saat itulah tentara Al-Muqtadir menuju Barqah sehingga terjadi pertempuran hebat antara kedua pasukan. Hingga tentara yang menyebut dirinya dengan Fathimiyyin dapat menguasai Iskandariyah dan al-Fayum.
Pada 306 H/918 M, Ubaidillah Al-Mahdi kembali ke Mesir dan berhasil menaklukkan sebagian besar daratan tinggi Mesir.
Menghadapi Romawi
Pada 303 H/ 915 M, Romawi menyerang wilayah perbatasan; menguasai benteng Manshur dan menawan orang-orang di dalamnya. Dua tahun kemudian, 305 H/917 M, utusan Romawi datang menemui Al-Muqtadir meminta gencatan senjata dan saling tukar menukar tawanan.
Pada 313 H/925 M, Romawi mengirim surat ke penduduk muslim di perbatasan wilayah untuk membayar pajak kepada mereka, dan pada 314 H/926 M, Romawi masuk ke wilayah Malta dan menguasainya. Penduduk muslim disana tidak mendapat bantuan dari Baghdad.
Pada 315 H/927 M, pasukan Islam keluar dari Tharsus namun dihadang oleh musuh. Pada 319 H/931 M, pasukan Islam berhasil menguasai Amuria dan Ankara.
Aksi Massa
Pada tahun 308 H/920 M, terjadi kenaikan harga-harga serta rakyat tertimpa kelaparan. Semua ini terjadi karena perbuatan Hamid bin al-Abbas yang melakukan kecurangan dan kezhaliman sehingga kondisi masyarakat dan negara menjadi tidak menentu. Bahkan sempat terjadi peperangan dalam tempo beberapa hari antara rakyat dan tentara khalifah. Rakyat berhasil membobol penjara dan tahanan. Pada tahun ini dinasti Bani Abbas mengalami kegoncangan yang tak terkira hingga kepercayaan masyarakat kepada pemerintah berkurang.
Pemberontakan Al-Muzhaffar
Pada tahun 317 H/929 M, Mu’nis yang bergelar al-Muzhaffar melakukan pemberontakan kepada al-Muqtadir. Pemberontakan tersebut muncul setelah Mu’nis mendengar berita pencopotan dirinya dan berencana menggantinya dengan Harun bin Gharib.
Para pengawal Al-Muqtadir banyak yang melarikan diri. Al-Mu’nis memaksa al-Muqtadir agar keluar istana. Ia juga memaksa ibu, serta bibi dan isteri-isteri Al-Muqtadir untuk meninggalkan istana. Kemudian Mu’nis merampas uang sebanyak 600 ribu dinar. Pada saat itulah al-Muqtadir mengundurkan diri dari jabatan khalifah.
Terjadilah pembaiatan yang dilakukan oleh Mu’nis dan pejabat negara lainnya kepada Muhammad bin Al-Mu’tadhid. Mereka memberi gelar kepada Muhammad dengan sebutan al-Qahir Billah, sedangkan yang diangkat menjadi menteri adalah Abu Ali bin Muqlat.
Beberapa waktu berikutnya, para tentara meminta bayaran terhadap baiat yang mereka lakukan. Mu’nis pada saat itu tidak ada di tempat. Maka terjadilah kerusuhan. Akhirnya tentara-tentara tersebut membunuh para penjaga istana. Kemudian mereka menuju rumah Mu’nis dan menuntut agar al-Muqtadir dikembalikan dari jabatannya sebagai khalifah.
Ulah Gerombolan Qaramithah
Pada 317 H/929 M al-Muqtadir memberangkatkan rombongan haji di bawah pimpinan Mansur ad-Dailami. Namun tiba-tiba saja pada hari tarwiyah mereka dihadang Abu Thahir al-Qaramithi. Dia membunuh rombongan haji tersebut dengan sangat keji. Kemudian mayat-mayat tersebut dia lemparkan ke sumur zam-zam. Kemudian dia memukul Hajar Aswad dengan paku-paku hingga hampir saja Hajar Aswad pecah. Kemudian dia membawanya kabur.
Hajar Aswad pernah berada di tangan pemberontak Qaramithah lebih dari 20 tahun. Al-Muqtadir meminta kepada para pemberontak untuk mengembalikan Hajar Aswad tersebut dengan tebusan uang sebesar 50 ribu dinar. Namun mereka menolaknya. Hingga Hajar Aswad baru bisa diambil kembali pada masa pemerintahan al-Muthi’.
Konflik Keagamaan
Pada tahun 317 H/929 M terjadi konflik terkait penafsiran kata: maqaman mahmuda yang disebutkan dalam firman Allah:
وَمِنَ ٱلَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِۦ نَافِلَةً لَّكَ عَسَىٰٓ أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا
“Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Isra, 17: 79)
Dalam menafsirkan ayat tersebut orang-orang bermadzhab Hanbali mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tempat terpuji adalah Allah dan meletakkan orang yang melakukan shalat tersebut pada Arsy-Nya, sedangkan yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud adalah syafaat. Dua kubu ini berseteru terus hingga akhirnya banyak memakan korban jiwa.
Qaramithah Lagi
Pada tahun 319 H/931 M, para pemberontak al-Qaramithah menyerbu Kufah hingga membuat penduduk Baghdad ketakutan.Kemudian mereka menghadap al-Muqtadir sambil berteriak dan mengangkat mushaf serta mencaci maki al-Muqtadir.
Pembunuhan Al-Muqtadir
Pada tahun 320 H/931 M, Mu’nis datang kembali dan menyerang khalifah. Seorang tentara Barbar melempar al-Muqtadir hingga terjatuh kebumi. Kemudian orang tersebut menyembelih al-Muqtadir dengan pedangnya. Kepalanya dipenggal dan ditancapkan pada ujung tombak, sedangkan pakaiannya dicopoti sehingga dia berada dalam keadaan telanjang.
Mereka menutupinya dengan rerumputan. Setelah itu dia dikuburkan ditempat itu. Peristiwa tersebut terjadi pada 28 Syawal 320 H/5 Nopember 932 M.