Perpecahan Syiah
Pada masa Khalifah Al-Mu’tamid, Imam kesebelas Syiah Imamiyah, Abu Muhammad Al-Hasan Al-Askari bin Ali Al-Hadi wafat di Samarra (260 H / 873 M). Syiah Imamiyah kemudian mengalami perpecahan:
- Syiah Imamiyah yang mempercayai putra Al-Hasan Al-Askari sebagai Imam keduabelas. Mereka menamakannya: Al-Muntadhar, Al-Qaim, dan Al-Mahdi. Konon ibunya melihat ia masuk ke dalam lorong di rumah ayahnya, dan dipercaya ia akan muncul di akhir zaman untuk menegakkan keadilan.
- Sebagian berpendapat Hasan Al-Askari tidak memiliki keturunan, maka mata rantai imam syiah telah terputus.
- Sebagian mereka mengangkat Ja’far bin Ali;
- Sebagian lain telah mengangkat imam dari keturunan Ja’far As-Shadiq: Muhammad, Musa, atau Ismail.
Dari sekian banyak kelompok Syiah, ada dua besar Syiah yang muncul, yakni Syi’ah Ismaliliyah dan Syi’ah Itsna Asariyah.
Syiah Ismailiyah mengakui 7 Imam,
- Ali bin Abi Thalib
- Hasan bin Ali
- Husein bin Ali
- Ali Zainal Abidin
- Muhammad Al-Baqir
- Abdullah Ja’far al-Shadiq
- Ismail Ibn Ja’far
Sedangkan Syiah Itsna Asariyah mengakui 12 Imam,
- Ali bin Abi Thalib
- Hasan bin Ali
- Husain bin Ali
- Ali Zainal Abidin.
- Muhammad Al-Baqir
- Abdullah Ja’far al-Shadiq
- Musa al-Kadzim
- Ali Al-Ridha,
- Muhammad Al-Jawwad
- Ali Al-Hadi,
- Hasan Al-Askari
- Muhammad al-Mahdi
Ajaran Syiah Ismailiyah
Mereka berpendapat bahwa Al-Qur’an mempunyai aspek lahir dan batin dan menafsirkannya secara ta’wil dan majaz. Diantara takwilnya yang aneh-aneh dan menyimpang antara lain dalam menakwilkan makna ‘shalat’, ‘zakat’, ‘puasa’, ‘haji’, dan ‘ihram’. Menurut mereka ‘shalat’ ialah mengikuti seruan juru dakwah dan menaati imam; ‘Zakat’ adalah menyampaikan hikmah (pengetahuan) kepada yang berhak dan menunjuki orang ke jalan yang benar; ‘Puasa’ ialah menahan diri menyiarkan rahasia-rahasia imam; ‘Haji’ ialah berangkat untuk berteman dengan para imam dan ahlul bait; ‘Ihram’ ialah keluar dari mazhab-mazhab yang bertentangan.
Mengenai sifat Allah, Syiah Ismailiyah – sebagaimana paham Mu’tazilah – meniadakan sifat dari dzat Allah. Penetapan sifat menurut Ismailiyah merupakan penyerupaan dengan makhluk.
Dalam perekembangannya, Syiah Ismailiyah telah melahirkan beberapa cabang kelompok, antara lain Qaramithah, Fathimiah, Assasin (Hasyasyin), dan Druz.
Strategi Daulah Fathimiyah Melebarkan Pengaruh
Daulah Fathimiyah yang berawal dari Maghrib dan Mesir lalu meluas sampai Eufrat, terus berupaya melebarkan pengaruhnya. Strategi yang dilakukannya adalah dengan cara mengirim misionaris, Da’i Ad-Du’at, ke berbagai wilayah untuk berdakwah secara sembunyi-sembunyi. Da’i Ad-Du’at ini ditempatkan di bawah posisi Qadhi Al-Qudhat. Salah satu wilayah yang dimasukinya adalah wilayah kekuasaan Bani Abbasiyah.
Pada masa kekhalifahan Bani Abbasiyah dikendalikan oleh Bani Saljuk di bawah pimpinan Sultan Malik Syah, negara belum memiliki intelijen. Hal ini dianggap sebagai kelemahan oleh Nizhamul Mulk. Maka, pada masa Alp Arslan, Nizhamul Mulk mengusulkan pembentukan badan intelijen. Namun Alp Arslan tidak menyetujuinya karena tidak yakin terhadap independensi para intel nantinya.
Dengan gerakan sembunyi-sembunyi, Syiah Bathiniyah berhasil menguasai kastil di Isfahan yang dibangun Sultan Malik Syah. Da’i Ad-Du’at mereka, yakni Ahmad bin Abdil Malik bin Atthasy, mengangkat dirinya menjadi pemimpin dan menghimpun serta mengelola dana. Pemimpin lainnya adalah Al-Hasan bin As-Sabah, murid dari Ahmad bin Abdil Malik. Ia juga pernah bertemu dengan Khalifah Fathimiyah, Al-Mustanshir, dan pernah pergi ke Mesir sebagai pusat gerakan Syiah Ismailiyah. Al-Hasan bin As-Sabah adalah ahli arsitektur, ilmu ukur, matematika, perbintangan.
Benteng Perlindungan Kaum Bathiniyah
Lokasi benteng perlindungan kaum Bathiniyah berada dekat Qaen (antara Naisabur dan Isfahan), hal ini karena pemimpin wilayah tersebut telah menjadi pengikutnya. Suatu hari terjadi penyerangan kaum Bathiniyah terhadap kafilah dari Karman, semua anggota kafilah terbunuh kecuali hanya 1 orang yang selamat. Penduduk Qaen melakukan perlawanan kepada Kaum Bathiniyah, namun mereka tidak berhasil mengalahkannya.
Al-Hasan bin As-Sabah dan para pengikutnya juga berhasil menguasai benteng Alamout dan menjadikannya benteng pertahanan.
Berikutnya mereka melakukan aksi-aksi teror, diantaranya di Kota Saveh. 18 orang pengikut Bathiniyah berkumpul disana mendakwahi seorang muadzin di kota itu, namun ia menolaknya. Lalu mereka membunuhnya.
Peristiwa-peristiwa itu dilaporkan kepada Nizhamul Mulk, lalu ditangkaplah seorang tersangka dari kelompok ini yakni seorang tukang kayu.
Pembunuhan Nizhamul Mulk
Nizhamul Mulk bermaksud mengirim pasukan untuk menyerang benteng Alamout. Al-Hasan bin As-Sabah lalu mengirim anggotanya untuk membunuh Nizhamul Mulk pada tahun 485 H / 1092 M. 33 hari kemudian Sultan Malik Syah wafat yang menandai berakhirnya masa keemasan Bani saljuk.
Wilayah Kekuasaan Syiah Bathiniyah
Mereka menguasai sebagian Quhistan,Thabas, Benteng Wasnakuh, dan benteng-benteng lainnya. Mereka berhasil menanamkan doktrin-doktrin kepada para pengikutnya sehingga mereka begitu fanatik kepada kelompoknya.Sikap masyarakat ada yang terang-terangan menentang, dan adapula yang memilih berdamai dengan mereka.
Bathiniyah Pada Masa Khalifah Al-Mustahzir
Pada masa Khalifah Al-Mustahzir, Sultan Bani Saljuk saat itu Muhammad bin Malik Syah tidak memiliki pilihan lain kecuali menentang kaum Bathiniyah ini.
Ironisnya, keberadaan kelompok Bathiniyah ini malah dijadikan komoditas politik oleh para pejabat Bani Saljuk untuk menjatuhkan lawan politiknya dengan mengait-ngaitkan mereka kepada kelompok Bathiniyah.
Kelompok Bathiniyah melakukan aksi pembunuhan para pejabat yang pro kepada Sultan Muhammad bin Malik Syah. Mereka memanfaatkan situasi perang saudara antara Sultan Muhammad bin Malik Syah dengan Sultan Barkiyaruq.
Sultan Barkiyaruq terfitnah sebagai pelaku pembunuhan. Saat Barkiyaruq menang atas Sultan bin Malik Syah, orang Bathiniyah menyusup dan merekrut kalangan militer. Kekuatan mereka melonjak signifikan.
Para pejabat menjadi merasa tidak aman, sampai-sampai diantara mereka ada yang selalu memakai baju zirah dan membawa pedang saat keluar rumah. Mereka memita Sultan Barkiyaruq agar bersikap tegas. Sementara kalangan rival menjadikannya komoditas politik dan selalu memanggil pihak-pihak yang pro kepada Sultan Barkiyaruq dengan teraiakan: “Hai, Bathiniyyah!”
Penumpasan Besar-besaran
Sultan Barkiyaruq mengadakan penumpasan besar-besaran, sehingga orang-orang yang tidak terkait dengan kaum Bathiniyah pun terkena imbasnya. Salah satunya adalah Ilkiya Al-Harasi, guru madrasah An-Nidzamiyah sahabat dari Imam Al-Ghazali dan murid Imam Al-Haramain.
Tahun 494 H (1100 M) Sultan Sanjar melakukan serangan kepada kelompok Bathiniyah.
Kalangan Bathiniyah di Thabas mengirimkan uang suap sebagai perlindungan, mereka membangun kembali tempat dan persenjataan mereka.
Tahun 497 (1103 M) dilakukan kembali serangan untuk menghancurkan wilayah Thabas. Setelah itu rekan-rekan Sultan Sanjar mengusulkan untuk memberi jaminan keamanan dengan syarat: tidak boleh membangun benteng, tidak boleh membeli persenjataan, dan tidak boleh menyebarluaskan ajaran mereka. Akan tetapi, teror berlanjut. Kaum Bathiniyah melakukan penyerangan, pembalasan, penjarahan, penyerangan kafilah haji dari Transoxania (Uzbekistan, Kazakhstan, Tajikistan dan Turkmenistan), Khurasan, India, Syam, dan wilayah-wilayah dekat Rayy.
Tahun 500 H (1106 M), Sultan Muhammad bin Malik Syah menyerang benteng Isfahan. Kaum Bathiniyah terdesak. Mereka berupaya mengulur waktu dengan menyampaikan permintaan fatwa tentang, “Apakah Sultan boleh mengadakan perdamaian dengan kaum yang berbeda dalam masalah Imam?”
Para fuqaha berdebat. Lalu Abul Hasan Ali bin Abdurrahman As-Samjani As-Syafi’i menegaskan: “Mereka harus diperangi dan tidak boleh dibiarkan!” Hal ini karena mereka tetap tunduk, taat, dan mengikuti kepada imam yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Kaum Bathiniyah kemudian mengajak dialog. Namun Sultan Muhammad bin Malik Syah memutuskan untuk meneruskan blokade.
Kaum Bathiniyah mengajukan syarat. Mereka bersedia menyerah dengan syarat diberi kastil Khalanjar untuk mereka berlindung dan diberi waktu untuk pindah kesana. Sultan menerima syarat itu, bahkan memberikan kebutuhan pokok untuk mereka. Tapi, mereka kembali melakukan pembunuhan kepada para amir yang keras terhadap mereka.
Sultan Muhammad kembali memblokade mereka. Kaum Bathiniyah kembali menyerah dan mengajukan syarat untuk diberi waktu berpindah ke benteng An-Nazhir dan Thabas. Lalu mereka akan menyerahkan bukit yang masih ditempati oleh Ahmad bin Abdil Malik Atthasy.
Ahmad bin Abdil Malik At-Thasy Gugur
Mereka lagi-lagi mengingkari kesepakatan. Lalu Sultan Muhammad bin Malik Syah menyerang bukit itu. Saat itu ada satu orang dari kalangan Bathiniyah yang menyerahkan diri dan menunjukkan posisi strategis penyerangan yang paling tepat.
At-Thasy berhasil ditangkap, 80 orang lainnya berhasil dibunuh. Ia dan anaknya dieksekusi, sementara istrinya bunuh diri terjun dari atas benteng.
Kekacauan oleh kalangan Bathiniyah ini berlangsung 12 tahun.
Penyerangan Benteng Alamout
Selanjutnya Sultan Muhammad bin Malik Syah melakukan serangan ke benteng Alamout. Ia mengajak Anusytegin Syirkir, pemimpin wilayah Abah, Savah. Anusytegin berhasil menguasai beberapa benteng, sampai akhirnya memblokade benteng Alamout.
Di sekitar benteng dibangun pemukiman yang secara berkala ditinggali pasukan dan para amir di sekitar wilayah tersebut untuk berjaga-jaga. Kaum Bathiniyah kemudian menyuruh kaum perempuan dan anak-anak mereka menyerahkan diri dan meminta perlindungan.
Blokade Terhenti
Sultan Muhammad bin Malik Syah wafat pada 24 Dzulhijjah 511 H (24 Apr 1118 M). Mendengar kabar itu pasukan mengajak menghentikan pemblokadean benteng Alamout. Anusytegin bersikeras untuk bertahan. Namun pasukan tidak mentaatinya, mereka pulang dari tempat pemblokadean tanpa seizinnya.
Anusytegin pun akhirnya pulang. Situasi ini dimanfaatkan kaum Bathiniyah untuk mengambil perbekalan dari pemukiman pasukan blokade.