Majelis Hukum dan Ham (MHH) Pimpinan Pusat Muhammadiyah bersama tujuh lembaga profesi mengajukan catatan kritis terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang kini tengah digodok di Badan Legislasi DPR RI.
Tujuh lembaga profesi itu antara lain Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia (PP IBI), Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI), Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (PP IAI), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dan Forum Peduli Kesehatan.
Bertempat di Gedung PP Muhammadiyah Jakarta, catatan kritis yang disampaikan antara lain terkait proses penyusunan yang tidak transparan, tergesa-gesa, terkesan sembunyi-sembunyi dan tidak melibatkan partisipasi publik di sektor terkait.
Selain itu, dari draft RUU yang telah dipelajari secara seksama, didapati bahwa RUU Kesehatan sarat dengan nuansa industrialisasi, liberalisasi, oligarki, dan jauh dari pedoman filosofis Undang-Undang Dasar 1945.
“Kami sangat prihatin karena ini bidang yang menyangkut hidup matinya masyarakat. Lalu pasal-pasal yang ada di RUU Kesehatan ini setelah kami baca seksama, secara umum kami menyimpulkan bahwa RUU ini sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai fundamental yang menjadi komitmen bangsa ini sejak awal sampai akhir nanti yang ada dalam empat alinea pembukaan UUD 1945,” jelas Ketua PP Muhammadiyah, Busyro Muqoddas.
Busyro menyebut, RUU Kesehatan mengandung kolonialisme gaya baru dalam bidang politik dan hukum serta melabrak kedaulatan rakyat. Busyro menyayangkan fenomena dan pola perumusan berbagai perundang-undangan yang belakangan sering terjadi seperti ini. Misalnya pada perumusan UU Omnibus Law, UU Minerba, UU Revisi MK, dan beberapa yang lain.
“Tata krama dalam perumusan akademik ini tidak mencerminkan sopan santun prosedur yang tertib, misalnya melibatkan masyarakat secara prorporsional dan secara jujur,” kritiknya.
“Semuanya ini menggambarkan bahwa sopan santun, etika, tata krama politik dan hukum sekaligus justru ditunjukkan secara terang-terangan ditabrak Pemerintah bersama-sama DPR. Contoh-contoh itu sulit dibantah,” tegasnya.
Untuk diketahui, draft RUU Kesehatan telah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) sejak November 2022 dengan penyusunan mengadopsi metode Omnibus Law yang ditandai semua urusan kesehatan di negeri ini akan diatur dalam satu undang-undang, bahkan aturan-aturan yang bersinggungan dengan kesehatan di Indonesia.
Dalam konferensi Pers yang digelar bersama ini, ada 10 butir catatan kritis atas RUU Kesehatan. Muhammadiyah bersama tujuh lembaga profesi di atas menyatakan dua buah sikap.
Pertama, perlunya dilakukan kajian mendalam muatan materi RUU tentang Kesehatan dan mendorong Badan Legislasi DPR mengeluarkan RUU Kesehatan dari Proleknas 2023. Kedua, sebagai gantinya MHH bersama tujuh lembaga ini akan melakukan sophistikasi kajian tentang kesehatan yang lebih esensial dan sesuai dengan filosofi awalnya, yaitu pemenuhan hak dasar bidang kesehatan yang humanis.
“Terakhir, kami mengajak pemerintah, DPR, serta ketua-umum partai politik, kapan lagi kalau tidak sekarang untuk menunjukkan kejujuran yang tulus untuk kembali pada originalitas, otentisitas, genuinitas pembukaan UUD 1945 itu dan ini (RUU Kesehatan) agar ditinjau ulang atau dibatalkan,” tegas Busyro.
Sumber: https://muhammadiyah.or.id/jauh-dari-filosofi-uud-45-ruu-kesehatan-perlu-ditinjau-ulang-atau-dibatalkan/